Bencana Ekologi di Jambi di Depan Mata: Walhi Jambi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Sabtu, 20 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sumatera telah membayar harga tinggi atas kerusakan lingkungan. Hingga Rabu (17/12/2025) siang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 1053 jiwa melayang dan jutaan warga mengungsi di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Tapi selain tiga provinsi tersebut, bencana ekologis serupa juga mengancam wilayah provinsi lain, termasuk Jambi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menganggap tragedi di Sumatera bagian utara ini bukanlah kebetulan. Bencana itu adalah produk dari perusakan secara sistematis terhadap hutan, benteng alami yang dirobohkan untuk kepentingan jangka pendek. Sebab pohon-pohon tinggi penahan air telah lenyap, meninggalkan masyarakat tanpa perlindungan di hadapan debit air yang brutal.
Berdasarkan olah data yang dilakukan Walhi Jambi, Provinsi Jambi berada di ambang bencana ekologis yang serupa. Walhi Jambi telah mendokumentasikan kehilangan tutupan lahan seluas 993.453 hektare, yang terjadi pada 2001-2024, di Provinsi Jambi. Angka tersebut setara dengan luasnya satu negara kecil, terutama di zona vital hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari dan Pengabuan Lagan.
“Kerusakan masif ini bukan semata-mata dilakukan oleh alam, melainkan oleh tangan-tangan serakah tak terlihat yang bersembunyi di balik legalitas dan pembiaran,” kata Oscar Anugrah, Direktur Walhi Jambi, Rabu (17/12/2025).
Oscar menyebut, penyumbang terbesar kerusakan tutupan lahan ini adalah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang memegang menguasai lahan seluas 530 ribu hektare. Luasan tersebut bahkan lebih besar dari luas Kabupaten Muaro Jambi yang seluas 526.400 hektare. Jika dipersentasekan, 53,35% dari total kerusakan tutupan lahan, diakibatkan oleh PBPH.
Menurut Oscar, kondisi ini adalah krisis terstruktur, di mana negara secara legal memberikan karpet merah kepada korporasi untuk mengubah hutan menjadi lahan terbuka, menukarkan fungsi ekologis dengan keuntungan sesaat. Ratusan ribu hektare lahan kritis di hulu DAS telah dikuasai konsesi-konsesi itu, menjamin bahwa risiko banjir di hilir akan terus meningkat.
Kontribusi brutal lainnya datang dari pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang menghancurkan lebih dari 44.387 hektare. Kabupaten Sarolangun, lanjut Oscar, merupakan wilayah kabupaten terparah dengan luas PETI mencapai 14.900 hektare. PETI ini mengakibatkan hulu Sungai Batanghari kini dialiri lumpur dan merkuri beracun, hingga mencemari sumber kehidupan masyarakat.
“PETI adalah kejahatan terorganisir yang beroperasi di bawah hidung aparat, menuntut adanya keterlibatan cukong besar yang harus diungkap,” kata Oscar.
Tapi, imbuh Oscar, ada hal yang ironis sekaligus tragis. Wilayah yang diharapkan dan dijanjikan sebagai harapan terakhir, yakni taman nasional, juga menjadi korban.
Menurut hitungan Walhi Jambi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) telah mengalami kehilangan tutupan hutan sleuas 39.000 hektare dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) kehilangan 890 hektare. Angka deforestasi ini, menurut Oscar, adalah bukti bahwa tidak ada satu jengkal pun tanah di Jambi yang aman dari nafsu eksploitasi.
“Provinsi Jambi saat ini sedang berada di ujung tebing jurang yang sama dengan provinsi tetangga yang baru berduka. Kehilangan tutupan lahan ini adalah akumulasi ekologis yang telah ditandatangani,” katanya.
“Transaksi kerusakan lingkungan ini diperkirakan akan terus berlanjut, mengingat saat ini terdapat 3 perusahaan yang telah mengajukan PBPH baru di Provinsi Jambi dengan total luasan 32.661,95 hektare,” imbuhnya.
Oscar mengatakan, Pemerintah Provinsi Jambi harus sadar, PBPH seharusnya dievaluasi bukan justru dibiarkan ditambah. Kemudian pembiaran PETI, dan rencana WPR, juga akan menjadi bom waktu yang menjamin banjir dan penderitaan.
“Kami menuntut tindakan nyata, audit, cabut izin perusak, dan penjarakan para penjahat lingkungan. Jangan tunggu Jambi menjadi korban bencana ekologis berikutnya,” ucap Oscar.
Melihat data ini, sambung Oscar, pilihan Pemerintah Provinsi Jambi sudah jelas. Berpihak pada kelestarian atau pada kehancuran, tentunya keselamatan rakyat adalah yang terutama.
Oscar bilang, Walhi Jambi menuntut pertanggungjawaban dan langkah pemulihan kerusakan lingkungan Jambi secepatnya. Ia meminta agar dilakukan pembekuan dan evaluasi ulang semua perizinan PBPH. Termasuk mencabut izin yang terbukti menghilangkan tutupan hutan dan menjadi dalang bencana ekologis.
Kemudian, ia juga menyarankan agar Pemerintah Jambi membatalkan rencana kebijakan penerbitan wilayah pertambangan rakyat (WPR), karena itu hanya akan melegitimasi kerusakan lebih lanjut di DAS Batanghari dan Pengabuan Lagan. Selain itu, ia juga menuntut dilakukannya penegakan hukum yang berani dan transparan, dengan menargetkan otak, modal, dan oknum di balik operasi PETI, bukan hanya pekerja lapangan.
SHARE

Share

