Ironi Jakarta: Berkembang, Tapi Ruang Aman Menyempit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Minggu, 21 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menobatkan Jakarta Raya (DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan dan Bekasi) resmi dinobatkan sebagai megacity terbesar dan populasi terpadat di dunia, melampaui Dhaka dan Tokyo, dengan populasi fantastis mencapai 42 juta jiwa.

Namun di balik status tersebut, terdapat kenyataan yang cukup ironis. Warganya menanggung dampak terberat dari krisis iklim, ketidakpastian ruang hidup, dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.

Realita ini dibahas Greenpeace Indonesia bersama The SMERU Research Institute dalam riset terbaru mereka tentang kondisi warga di tiga wilayah yaitu Bantar Gebang, Marunda, dan Pulau Pari. Tiga wilayah ini menjadi cermin kontras megacity: Kota terus berkembang, sementara ruang aman bagi sebagian warganya semakin menyempit.

Ketiga lokasi dipilih karena karakteristiknya yang merepresentasikan spektrum kerentanan terhadap krisis iklim, lingkungan, dan sosial-ekonomi sehingga memberikan gambaran yang komprehensif mengenai variasi tantangan yang dihadapi masyarakat perkotaan, khususnya di kawasan Jakarta.

Warga Pulau Pari saat menggelar aksi protes di depan gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Mereka mendesak Kementerian untuk mencabut izin reklamasi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan di Pulau Pari. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace.

Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait,  mengatakan ketiga wilayah ini menghadapi masalah yang hampir serupa, di antaranya dominasi kepentingan ekonomi besar atas ruang hidup warganya, serta lemahnya tata kelola dan layanan dasar dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta yang belum optimal. 

“Masalah-masalah ini pun diperparah dengan krisis iklim dan lingkungan yang memperburuk kerentanan sosial dan ekonomi warga di ketiga wilayah ini,” ujarnya dalam konferensi pers tentang solusi iklim berbasis komunitas, yang digelar pada Senin (15/12/2025).

Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, misalnya, krisis iklim memicu abrasi dan menggerus 7 hingga 10 meter garis pantai. Di sisi lain, warga Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, masih harus menanggung efek domino dari pencemaran udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri ekstraktif besar yang mengepung kawasan permukiman tersebut.

Sementara di Bantar Gebang, meski secara administratif tidak berada di wilayah Jakarta, namun volume sampah dari Jakarta yang terus meningkat semakin memperburuk kondisi lingkungan dan kehidupan warga sekitar, termasuk pemulung, yang tinggal di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. 

“Krisis iklim dan lingkungan yang terjadi di ketiga wilayah ini pun semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi warga yang jadi kelompok rentan akibat kemiskinan struktural serta minimnya partisipasi warga dalam kebijakan iklim dan perkotaan dari Pemprov Jakarta,” ujar Jeanny. 

Jeanny mengatakan, meski kerap dilupakan dan dilibatkan dalam pembuatan kebijakan, warga Pulau Pari, Marunda, dan Bantar Gebang terus beradaptasi dengan mengembangkan solusi berbasis komunitas yang mampu menjawab kebutuhan lokal di daerah mereka. 

Warga Pulau Pari, lanjut Jeanny, menginisiasi penanaman mangrove sebagai upaya untuk mengatasi abrasi, banjir rob, serta pemulihan habitat ikan dan ekosistem laut. Para nelayan juga melakukan adaptasi perikanan tangkap dan budidaya untuk mengatasi turunnya volume tangkapan di tengah suhu laut yang semakin tinggi. 

Jeanny bilang, sulitnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan mendorong warga Bantar Gebang untuk mendirikan pusat pendidikan khusus bagi anak pemulung. Di tengah timbunan sampah yang semakin menumpuk, warga Bantar Gebang yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung juga memegang peran penting dalam memilah dan mengurangi volume sampah.

Warga di sekitar TPST Bantar Gebang pun mengembangkan budidaya maggot untuk mengolah sampah organik, serta mengelola tempat pengelolaan sampah reducereuserecycle (TPS3R) sebagai upaya pengelolaan sampah plastik dan material lain yang masih memiliki nilai ekonomi. 

Jeanny menambahkan, bagi warga Rusunawa Marunda yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan, inisiasi program pengelolaan greenhouse untuk memenuhi kebutuhan pangan serta pemberdayaan ekonomi perempuan membantu memperkuat ketahanan ekonomi warga di tengah keterbatasan lapangan kerja dan kemiskinan struktural yang terjadi di Marunda. 

Peneliti SMERU Annabel Noor Asyah menuturkan, penelitian yang menggunakan pendekatan campuran dengan dominasi metode kualitatif ini juga menemukan perlunya reformasi struktural di tingkat pemerintah provinsi untuk mendorong adaptasi iklim, sosial, dan ekonomi di tiga lokasi tersebut. 

Pemprov Jakarta, imbuh Abel, harus meningkatkan kualitas tata kelola yang partisipatif dan transparan, khususnya dalam kebijakan iklim, untuk mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik spesifik kelompok marjinal dan rentan seperti di Pulau Pari, Marunda, dan Bantar Gebang.

“Pemprov juga harus kembali menggiatkan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), memperbanyak dialog dengan warga, serta memperbanyak kajian krisis iklim,” katanya. 

Di samping itu, perlindungan sosial adaptif, penguatan layanan dasar yang memadai, dan transformasi kebijakan yang berpihak kepada komunitas perlu dilakukan untuk menjamin keberlangsungan berbagai inisiatif berbasis komunitas tersebut, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Peningkatan skala solusi berbasis komunitas juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikannya di lokasi lain di Jakarta, bahkan wilayah lain di Indonesia untuk membantu masyarakat beradaptasi di tengah dampak krisis iklim yang semakin nyata.

“Sayangnya, berbagai solusi berbasis komunitas ini kerap diabaikan dan tidak mendapat dukungan sistemik dari Pemprov Jakarta. Padahal, ketahanan iklim serta manfaat sosial dan ekonomi, hanya dapat dicapai melalui kombinasi solusi komunitas dan dukungan regulasi yang kuat,” ujar Jeanny. 

Jeanny bilang, Pemprov DKI Jakarta telah memiliki rujukan kebijakan seperti Pergub No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon dan Perda No. 4 tahun 2019 tentang pelibatan masyarakat dalam berbagai tahapan pengolahan sampah. Namun, praktik kebijakan ini tidak berjalan optimal.

Menurut Jeanny, dukungan regulasi di tingkat nasional sangat dibutuhkan, RUU Keadilan Iklim yang saat ini masih terparkir di DPR perlu segera disahkan agar pelibatan warga dalam mengatasi krisis iklim dapat dimaksimalkan. 

SHARE