Banjir Rob Pesisir Jawa, Walhi: Bukti Gagal Kebijakan Pemerintah

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Senin, 22 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Banjir akibat naiknya air laut ke daratan (rob) yang terus berulang di pesisir utara Jawa dianggap bukan semata persoalan teknis pasang air laut. Melainkan dampak langsung dari gagalnya kebijakan pemerintah pusat dalam penataan ruang dan mitigasi krisis iklim yang selama ini terlalu mengandalkan betonisasi, reklamasi, dan pembangunan infrastruktur besar sebagai solusi. Demikian menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Walhi menguraikan, pada Desember 2025, rob meluas seiring puncak fenomena pasang anomali 18,6 tahunan (highest anomaly tides) yang menyebabkan air laut lebih tinggi, deras, dan bertahan lebih lama. Persoalan pasang ekstrem bukan akar persoalan utama. Rob terjadi akibat kombinasi salah urus tata ruang, hilangnya kawasan hijau pesisir, eksploitasi air tanah yang memicu penurunan muka tanah, serta tekanan krisis iklim.

“Jakarta, Semarang, dan Surabaya menjadi wilayah paling rentan (rob). Dalam satu dekade terakhir, Jakarta dan Semarang telah menjadi langganan rob, bahkan menyebabkan kampung-kampung pesisir perlahan tenggelam. Surabaya pun menghadapi ancaman serupa, ditandai dengan abrasi pesisir dan semakin seringnya genangan rob di kampung nelayan sepanjang Selat Madura,” kata Wahyu Eka Styawan, Manajer Kampanye Perkotaan Berkeadilan Walhi, dalam sebuah keterangan tertulis, Selasa (16/12/2025).

Berdasarkan temuan Walhi, lanjut Wahyu, menunjukkan bahwa dalam sebulan terakhir krisis rob di kota-kota pesisir semakin serius. Jakarta kembali tergenang pada awal Desember 2025 ketika puluhan RT di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu terdampak, seiring penurunan muka tanah yang membuat sebagian wilayah kini berada 1-1,5 meter di bawah permukaan laut dan melemahkan efektivitas infrastruktur pertahanan pantai.

BPBD menyebut genangan banjir yang terjadi di Semarang bervariasi antara 20 hingga 70 sentimeter. Foto: BPBD Semarang

Kondisi yang lebih mengkhawatirkan terjadi di Semarang, yang mana penurunan tanah yang sangat cepat telah mendorong pergeseran garis pantai Semarang–Demak lebih dari lima kilometer ke arah daratan sejak akhir 1990-an, menjadikan rob tidak lagi bersifat musiman, tetapi permanen di sejumlah kawasan.

Surabaya pun juga begitu, terutama di kawasan industri dan pelabuhan, akibat penurunan permukaan tanah dan ketergantungan tinggi pada air tanah, yang memperbesar risiko rob saat muka laut sedikit melampaui pasang normal.

Wahyu bilang, pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dalam upaya mengatasi rob di pantai utara Jawa merekomendasikan percepatan pembangunan infrastruktur seperti tanggul, sistem drainase terpadu, serta normalisasi sungai, termasuk mendukung rencana pembangunan giant sea wall.

“Rekomendasi pemerintah pusat terkait percepatan pembangunan tanggul, normalisasi sungai, dan giant sea wall tidak menyentuh akar persoalan,” kata Wahyu.

Wahyu berpendapat, krisis rob menunjukkan gagalnya kebijakan tata ruang yang tidak berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta, Semarang, dan Surabaya juga belum secara memadai membahas rob sebagai persoalan struktural akibat penurunan tanah dan pembangunan masif.

Karena itu, imbuh Wahyu, Walhi mendesak pemerintah pusat untuk segera mengevaluasi kebijakan penataan ruang, termasuk dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang mendorong sentralisasi tata ruang. Revisi Perda RTRW harus menitikberatkan pada perlindungan dan pemulihan kawasan pesisir, pengendalian air tanah secara ketat, penghentian pembangunan yang memperparah subsiden (penurunan permukaan tanah), serta pemulihan ekosistem pesisir.

“Walhi juga menegaskan perlunya menghentikan proyek giant sea wall dan reklamasi yang berisiko memperburuk kondisi pesisir, alih-alih menjadi solusi menghadapi kenaikan muka air laut,” ucap Wahyu.

SHARE