Konsultasi AMDAL Tambang Nikel BUMN Asal-asalan: Salawaku

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Rabu, 17 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Proses pembahasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas rencana peningkatan kapasitas produksi perusahaan tambang nikel PT Nusa Karya Arindo (PT NKA) pada 10 Desember 2025 lalu dinilai asal-asalan. Warga Halmahera Timur disuguhi pembicaraan tanpa memegang dokumen dan tak semua kelompok, terutama nelayan terdampak, turut diundang.

Koordinator Salawaku Institute sekaligus Warga Teluk Buli-Maba di Halmahera Timur, Said Marsaoly, mengungkapkan konsultasi Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) serta Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL–RPL) dalam rangka penyusunan AMDAL yang digelar PT Nusa Karya Arindo (NKA) dirasa patut ditolak. Forum yang digelar secara virtual pada (10/12/2025) itu tak memenuhi syarat representatif dan hanya bersifat formalitas. 

“Saya bergabung pada pertemuan itu. Warga yang turut bergabung berada di satu kamera dan mereka sama sekali tidak dibekali dokumen, sampai-sampai banyak yang walk out karena substansi yang menjadi permasalahan warga sama sekali tidak dibahas,” ujarnya ketika dihubungi pada Senin (15/12/2025), 

Menurutnya, alih-alih menjadi instrumen kehati-hatian dengan menempatkan keselamatan lingkungan dan warga, pembahasan yang digelar secara daring oleh Komisi Penilai AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup (LH)  itu justru menunjukkan gejala jika pelaksanaannya sekadar menggugurkan kewajiban. 

Alat berat milik PT Nusa Karya Arindo (PT NKA) di kosnesinya di Halmahera Timur, Maluku Utara. Foto: Jatam

Artinya, kata dia, yang berlangsung hanya formalitas administratif belaka, dengan mengabaikan substansi, transparansi, dan hak warga terdampak.

PT NKA sendiri memiliki konsesi seluas 20.763 hektare. Perusahaan ini merupakan anak usaha dari PT Antam Tbk dan mendapatkan konsesi melalui proses spin-off, pengalihan sebagian wilayah izin usaha pertambangan yang berlokasi di Halmahera Timur, Maluku Utara pada 2022 lalu.

Selama ini konsesi tersebut digarap oleh PT Antam dan telah menyebabkan tercemarnya kawasan pesisir. Sehingga nelayan kehilangan wilayah tangkap akibat lumpur tambang. 

PT NKA berencana meningkatkan kapasitas produksi bijih nikel di Blok Moronopo dari 4 juta ton menjadi 7,5 juta ton per tahun, membuka 206,65 hektare lahan baru, membangun infrastruktur tambang tambahan, serta membangun terminal khusus (dermaga) di Sangaji Selatan. 

Skala ekspansi ini bukan sekadar peningkatan produksi, melainkan lonjakan tekanan ekologis serius terhadap daratan, sungai, dan pesisir Halmahera Timur.

Ekspansi dengan risiko kerusakan lingkungan ini justru tak diimbangi dengan proses pembahasan AMDAL secara terbuka dan cenderung tidak partisipatif. Dokumen tidak dibuka secara luas, undangan forum terbatas, dan masyarakat Kecamatan Kota Maba — yang hidup paling dekat dengan wilayah tambang—tidak dilibatkan secara bermakna. 

“Pelaksanaan sidang ANDAL dan RKL–RPL secara daring semakin memperparah ketimpangan partisipasi: warga tidak memegang dokumen secara utuh, tidak memiliki akses memadai terhadap peta dan data teknis, serta tidak diberi ruang setara untuk menyampaikan keberatan. Ini bertentangan dengan prinsip partisipasi publik dan mencederai tanggung jawab negara dalam pengelolaan sumber daya alam,” ucap Said.

Menurutnya usulan strategis warga yang disampaikan dalam Konsultasi Publik sebelumnya sama sekali tidak dibahas. Padahal warga telah menegaskan area yang harus dilindungi dari aktivitas tambang, termasuk kebun pala, damar, dan gaharu milik warga Mabapura, wilayah tangkap nelayan, serta perlindungan ruang hidup masyarakat adat O’Hongana Manyawa. 

Tidak adanya bukti penerapan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak masyarakat adat—terlebih dilakukan oleh perusahaan milik negara.

Sementara kondisi wilayah konsesi PT NKA sangat rentan. Sebanyak 35 persen tapak proyek (7.339,21 ha) berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tingkat Tinggi yang meliputi wilayah dengan potensi longsor sebesar 6.203,36 ha, potensi kebakaran hutan seluas 1.115,31 ha, dan wilayah dengan potensi banjir dan banjir bandang lebih dari 20,54 ha. Risiko besar ini pun tidak didukung oleh dokumen mitigasi yang memadai. 

Di dalam IUP PT NKA terdapat 5.777,31 ha hutan lindung, seluas 111,74 ha telah dibuka melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), sedangkan sisanya seluas 5.665,57 haktare masih relatif utuh. 

Hutan lindung ini merupakan benteng terakhir penahan bencana. Pembukaan lanjutan akan memperbesar resiko longsor, banjir lumpur, dan sedimentasi pesisir Moronopo. telah merusak terumbu karang, mangrove, dan wilayah tangkap nelayan. Karena itu, seluruh sisa hutan lindung wajib ditetapkan sebagai zona larangan tambang secara permanen.

Said dan warga pun mendesak Kementerian Lingkungan Hidup segera menghentikan proses penilaian ANDAL dan RKL–RPL PT NKA, serta mengulang seluruh pembahasan secara tatap muka, inklusif, dan transparan, dengan membuka akses dokumen secara penuh kepada publik. Kementerian ESDM juga harus menunda seluruh persetujuan teknis dan rencana peningkatan kapasitas produksi PT NKA.

Selain itu Ombudsman Republik Indonesia perlu melakukan pemeriksaan atas dugaan maladministrasi dan pengabaian hak publik dalam proses AMDAL PT NKA.

SHARE