Satya Bumi Tunjuk Hidung Biang Banjir di Batang Toru

Penulis : Aryo Bhawono

Ekologi

Selasa, 16 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah didesak mencabut izin tiga perusahaan di kawasan hulu Batang Toru. Analisis citra satelit membuktikan dua di antara tiga perusahaan tersebut berkontribusi memperparah banjir dan longsor. Tak hanya itu temuan kematian orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) di Batang Toru menunjukkan telah terjadi ekosida. 

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah memerintahkan penghentian sementara operasi tiga perusahaan di kawasan hulu Batang Toru, yakni, PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), dan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pengembang PLTA Batang Toru. Namun langkah ini dinilai tak cukup. 

Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidattihayaa Afra, menyebutkan dampak lingkungan dan sosial yang terjadi menunjukkan kerusakan yang diakibatkan perusahaan-perusahaan itu seharusnya diganjar dengan pencabutan izin permanen. Pasal 48 Peraturan Menteri LHK No 14/2024 menyatakan pencabutan izin usaha diterapkan terhadap kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan.

Pantauan citra satelit oleh Satya Bumi menemukan jejak gelondongan kayu yang dibiarkan di sepanjang sempadan Sungai Batang Toru, lokasi proyek PLTA milik PT NSHE. 

Citra satelit menunjukkan bahwa terdapat pohon-pohon yang diduga berasal dari tebangan tergeletak di sepanjang sempadan sungai. Data: Staya Bumi

“Kami menduga kuat, kayu-kayu tersebut yang terbawa sampai ke hilir DAS Batang Toru sebagaimana yang diperlihatkan video-video yang tersebar,” ucah Haya.

Sejak PT NSHE mulai membuka hutan pada tahun 2017, total deforestasi sampai 2024 mencapai 535,25 hektare. Pembangunan infrastruktur PLTA di sekitar sempadan sungai ini dinilai sangat berisiko, terutama karena area hutan yang telah dibuka berada pada daerah dengan kemiringan curam dan rawan longsor. 

Citra  satelit menunjukkan bahwa terdapat pohon-pohon yang diduga berasal dari tebangan tergeletak di sepanjang sempadan sungai. Data: Satya Bumi

Apalagi ekosistem Batang Toru berada di sepanjang Patahan Sumatera yang merupakan zona rawan gempa. Selain itu, meski proyek ini memiliki izin lingkungan (sebelum 2018), izin tersebut kontroversial karena pembangunan dilakukan di kawasan dengan kepadatan keanekaragaman hayati yang tinggi. 

Hal ini diperkuat dengan penemuan bayi Orangutan Tapanuli yang mati di area sekitar proyek PLTA pada Agustus 2024 lalu.

Sementara perilaku Agincourt Resources mengelola tambang emas Martabe, diduga memicu longsor dan banjir. Mereka melakukan ekspansi hingga 603,21 ha. Tambang ini beroperasi di area curam dan berada lebih tinggi dari pemukiman, sehingga potensi dampak longsor terhadap pemukiman warga semakin besar. 

Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi, menyebutkan analisis citra satelit menunjukkan terdapat bukaan lahan di atas konsesi PT Agincourt Resources yang diduga terlibat sebagai pemicu banjir bandang dan longsor di Desa Garoga. Limpasan air dari bukaan tersebut terlihat mengalir ke anak sungai Garoga yang bermuara ke sejumlah titik banjir terparah yakni di Desa Garoga, Aek Ngadol dan Huta Godang.

Pembukaan kawasan ini dilakukan oleh PT Sago Nauli di dalam peta konsesi PT Agincourt Resources. Tidak ada informasi terbuka yang mengindikasikan adanya peralihan perizinan antara kedua perusahaan tersebut namun juga belum ada informasi peralihan izin. Makanya PT Agincourt Resources tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas deforestasi yang terjadi. Namun jika telah terdapat peralihan izin, maka Menteri Hanif harus jeli untuk tidak luput mencabut izin PT Sago Nauli. 

Pengakuan PT Agincourt Resources yang membantah keterlibatan mereka dalam penyumbatan Sungai Aek Garoga memunculkan pertanyaan besar, terutama karena area banjir di Desa Garoga masih berada dalam konsesi mereka.

“Bantahan tersebut sulit diterima, mengingat PT Agincourt Resources selama ini melakukan kegiatan konservasi di Sungai Garoga dan Sungai Aek Ngadol. Pertanyaannya, mengapa mereka perlu melakukan konservasi di sungai tersebut jika saat bencana terjadi mereka menyatakan tidak memiliki keterlibatan?” terang Riezcy.

Bukaan lahan di sebelah atas (utara) dari bukaan tambang PT Agincourt Resources yang diduga kuat milik PT Sago Nauli, perusahaan perkebunan sawit. Data: Satya Bumi

Perusahaan itu tak membantah keterkaitannya dengan banjir yang terjadi di daerah hilir Sungai Batang Toru. Secara hidrologis, area tambang yang telah dibuka masuk dalam dua DAS sekaligus, DAS Batang Toru dan DAS Nabirong. Walaupun perusahaan menolak dikaitkan dengan Sungai Aek Garoga di DAS Nabirong, mereka belum memberi penjelasan mengenai dampak pembukaan hutan terhadap Sungai Batang Toru. 

Pantauan citra satelit yang dilakukan Satya Bumi menemukan diduga jejak aliran banjir dan longsor dari tailing konsesi Agincourt yang meluber ke anak sungai Batang Toru.

Pemulihan kerusakan pada hulu sungai serta DAS Nabirong dan Batangtoru diperkirakan membutuhkan waktu puluhan tahun. Makanya setiap industri yang beroperasi di sekitar ekosistem Batang Toru harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.

“Hal ini memperlihatkan tidak perlu lagi ada ruang negosiasi sanksi bagi perusahaan. Tindakan tegas Menteri Hanif bukan pilihan melainkan keharusan. Peringatan yang diberikan oleh masyarakat sipil sejak tahun 2022 dihiraukan perusahaan-perusahaan di Batangtoru hingga kejadian malang menimpa manusia, orangutan, gajah, dan penduduk lain dari bioma ini,” ucap Hayaa.

Anak-anak sungai di dekat area tambang Martabe yang masih berada dalam DAS Batang Toru mengalir dan bermuara ke Sungai Batang Toru. Data: Satya Bumi

Ekosida di Batang Toru

Riezcy menyebutkan pembangunan proyek PLTA Batang Toru telah menimbulkan dampak ekologis yang parah, terutama bagi konservasi Orangutan Tapanuli. Sebelum pembukaan hutan untuk proyek, populasi individu Orangutan Tapanuli di blok barat dan blok timur secara alami terhubung melalui kanopi pohon yang utuh di sepanjang sempadan sungai. Sungai seringkali menjadi batas alami, dan pohon di tepi sungai adalah satu-satunya jembatan yang memungkinkan pergerakan individu antar blok populasi.

Perlakuan korporasi terhadap ekosistem Batang Toru sendiri juga berdampak parah bagi biodiversitas. Terbukti pada bencana banjir dan longsor akibat siklon tropis Senyar kemarin juga ditemukan bangkai orangutan tapanuli di Desa Pulo Pakkat, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyebutkan temuan ini menjadi kabar duka yang kembali menegaskan parahnya krisis ekologis di Sumatera Utara. 

Lokasi temuan berada di wilayah perbatasan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan, kawasan yang selama ini terus mengalami tekanan akibat alih fungsi hutan. Mereka menyebutkan ekspansi tambang emas, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, logging, dan proyek energi telah mempersempit dan memecah habitat satwa liar dilindungi, termasuk Orangutan Tapanuli. 

“Temuan ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah harus menghentikan secara permanen seluruh aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru. Segala bentuk perizinan yang merusak harus dicabut,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba pada Minggu (14/12/2025)..

Menurutnya ekosistem Batang Toru berada dalam kondisi darurat ekologis yang mengarah pada ekosida. 

Ekosida adalah praktik kejahatan lingkungan secara terstruktur dan sistematis yang mengakibatkan kerusakan luar biasa dan tidak dapat dipulihkan pada ekosistem suatu wilayah. 

Mereka mengidentifikasi alih fungsi hutan seluas 10.795,31 ha yang dikaitkan dengan aktivitas tujuh perusahaan. Dengan asumsi kerja 500 pohon per ha, luasan tersebut diperkirakan setara dengan lebih kurang 4 juta pohon yang hilang atau tertebang akibat alih fungsi.

Ekosistem Batang Toru bukan sekadar hamparan hijau yang bisa ditukar dengan proyek dan konsesi. Kawasan ini merupakan bentang alam kunci bagi Sumatera Utara: penyangga tata air, pengendali erosi, dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang sangat penting. Batang Toru dikenal sebagai habitat utama spesies endemik dan terancam punah seperti Orangutan Tapanuli, selain berbagai mamalia, burung, dan herpetofauna khas hutan hujan Bukit Barisan.

“Pembukaan hutan di Batang Toru tidak hanya berarti kehilangan pohon. Ia memecah habitat, memutus koridor jelajah satwa, meningkatkan konflik satwa–manusia, dan mendorong kerusakan ekologis yang dampaknya meluas jauh melampaui batas konsesi,” tegas Rianda.

Walhi Sumatera Utara dan Satya Bumi mendesak penghentian permanen industri ekstraktif, audit lingkungan, hingga penegakan hukum atas industri ekstraktif di sekitar Bentang Alam Batang Toru.

“Tanpa audit menyeluruh, pencabutan izin, dan sanksi yang nyata, bencana ekologis di Tapanuli akan terus berulang. Warga dan kekayaan keanekaragaman hayati akan terus menjadi korban dari perusakan ruang hidup yang dibiarkan berlangsung,” ucap Rianda.

SHARE