Setop Relokasi Tragedi Sumatera ke Kalimantan

Penulis : Yosep Suprayogi, PEMIMPIN REDAKSI BETAHITA.ID

EDITORIAL

Senin, 15 Desember 2025

Editor : Aryo Bhawono

PULAU Sumatera telah menjadi saksi bisu bagaimana eksploitasi sumber daya alam berujung pada bencana hidrometeorologi yang mengerikan. Hutan di punggung Bukit Barisan yang gundul, atau berubah menjadi hamparan tanaman homogen, akibat ekspansi perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), tambang, dan proyek PLTA telah mengubah hujan menjadi teror longsor dan banjir bandang.

Harganya sangat mahal. Hampir seribu orang meninggal, 225 masih hilang, dan 157,9 ribu rumah rusak. Sekitar 1,5 juta jiwa terdampak, dan setengah juta di antaranya harus mengungsi di 52 kabupaten lingkar Bukit Barisan itu (BNPB, 11/12).

Kini, sebuah pola menakutkan sedang terbentuk: tragedi ekologis serupa sedang direlokasi secara sistematis ke Kalimantan.

Temuan terbaru dari Trase, sebuah inisiatif internasional untuk mendorong transparansi dalam rantai pasok komoditas agrikultur bagi keberlanjutan, memberikan sinyal bahaya itu--dan ini tak bisa diabaikan. Data Trase menunjukkan, ketika laju deforestasi untuk HTI secara nasional tampak menurun, ada pergeseran geografis yang mematikan. Trase mengungkap bahwa 81% deforestasi untuk pulpwood antara tahun 2015 hingga 2024 justru terjadi di luar area pemasok aktif, dan mayoritas penghancuran ini terjadi di Kalimantan.

Pantauan lapangan oleh tim Auriga Nusantara memverifikasi deforestasi yang terjadi di areal konsesi PT Kayan Kaltara Coal di Kalimantan Utara. Foto ini diambil pada 27 Desember 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Sementara laju pembukaan hutan untuk bahan baku bubur kertas (pulp) di Sumatera menurun drastis, Kalimantan justru menjadi pusat pertumbuhan baru. Data menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, produksi pulp Indonesia melonjak 70%, dan mesin-mesin industri ini membutuhkan makan berupa kayu yang masif. Kalimantan Utara, misalnya, kini menjadi sasaran empuk dengan hadirnya pabrik baru (Phoenix Resources) yang mulai beroperasi pada 2025, mengancam sisa hutan alam terbesar di wilayah tersebut.

Yang lebih mengkhawatirkan, nafsu industri ini tidak hanya terbatas pada bubur kertas, tetapi juga merambah ke wood chips (serpihan kayu) untuk biomassa dan ekspor. Trase menyoroti kasus PT Balikpapan Chip Lestari di Kalimantan Timur yang secara eksklusif memasok serpihan kayu ke pabrik raksasa di Tiongkok, yang terhubung dengan deforestasi ribuan hektare. Ini adalah bukti nyata bahwa Kalimantan sedang dikeruk untuk melayani pasar global dengan biaya lingkungan yang ditanggung warga lokal.

Namun, pulp hanyalah satu sisi dari mata uang kehancuran. Jika kita melihat gambaran lebih luas, Kalimantan sedang dikepung dari segala penjuru. Di komoditas perkebunan ada sawit. Ekspansi perkebunan sawit bergeser masif ke Kalimantan sejak satu dekade lalu. Izin-izin pelepasan kawasan hutan untuk sawit mendominasi Kalimantan Tengah dan Barat, mengubah bentang alam hutan hujan menjadi monokultur yang seragam.

Di bidang energi, profil Kalimantan berbeda dengan Sumatera, namun karena itu tingkat kerusakannya lebih hebat. Kalimantan adalah lumbung batubara terbesar. Kini lubang-lubang tambang menganga di Kalimantan Timur dan Selatan. Ada pula ambisi pembangunan PLTA skala raksasa (seperti di Kaltara) demi menopang Kawasan Industri Hijau namun berpotensi menenggelamkan hutan adat dan memutus alur hidrologi alami sungai-sungai besar.

Hasil akhirnya sama: perubahan tutupan lahan yang radikal menjadi tanaman homogen atau tanah tandus. Namun, ada perbedaan fundamental yang membuat skenario tragedi Kalimantan bisa lebih mengerikan—dan lebih sunyi—dibanding Sumatera.

Tragedi Sumatera mayoritas berlangsung di tanah mineral di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Bencananya berupa tanah yang meluncur ke bawah (longsor) dan banjir bandang. Sebaliknya, industri di Kalimantan kebanyakan berpijak di atas lahan gambut dengan kontur yang relatif datar.

Data Trase menunjukkan lebih dari 1 juta hektare kebun kayu pulp produktif berada di lahan gambut. Bahkan, luas kebun kayu di lahan gambut meningkat sekitar 60% sejak 2015. Ketika gambut ini dikeringkan untuk akasia atau sawit, ia mengalami subsidence (penurunan muka tanah) yang permanen.

Di sinilah letak bom waktu itu. Bencana di Kalimantan bukan sekadar banjir lewat, melainkan banjir yang tak mau surut karena permukaan tanah yang terus amblas hingga bisa lebih rendah dari permukaan sungai atau laut. Selain itu, gambut kering adalah bahan bakar sempurna. Emisi dari subsidensi gambut saja sudah mencapai 76 juta ton CO2e pada 2024. Jika terbakar?

Kita punya preseden mengerikan. Pada 2015, kebakaran hutan dan lahan hebat melanda Sumatera dan Kalimantan. Menurut studi World Bank dan data Global Fire Emissions Database (GFED), total emisi karbon dari bencana 2015 mencapai angka fantastis 1,75 miliar ton CO2e—lebih besar dari total emisi tahunan negara industri maju seperti Jepang atau Jerman.

Kala itu, arah angin monsun bertiup dari Tenggara ke Barat Laut, mengekspor asap tebal dari Sumatera langsung ke jantung Singapura dan Kuala Lumpur. Kedua jiran protes keras.

Namun, ada fakta yang luput dari perhatian global. Studi ilmiah Wooster dkk. (Remote Sens. 2018) atas kebakaran hutan dan lahan pada September-Oktober 2015 mengungkap, pusat emisi terbesar saat itu sebenarnya bukan Sumatera, melainkan Kalimantan. Mereka menemukan, dua per tiga emisi PM2.5 justru dilepaskan dari Kalimantan, sepertiga dari Sumatera, dan 95% dari kebakaran di lahan gambut. Hanya karena pola angin di Kalimantan menahan asapnya berputar di wilayah sendiri atau meniupnya ke laut lepas, dampak geopolitik Kalimantan tidak seheboh asap Sumatera.

Alhasil, jika tragedi ini direlokasi sepenuhnya ke Kalimantan, bencana bisa menghebat namun jauh lebih sunyi. Bencana yang diam-diam, tanpa perlu repot-repot disangkal oleh pemerintah dan korporasi. Sementara miliaran ton karbon diam-diam membubung ke atmosfer, mempercepat kiamat iklim yang tak memandang batas negara.

Oleh karena itu relokasi industri pulp ke Kalimantan harus disetop, jika kita tidak memindahkan bencana dari barat ke tengah Indonesia. Bayangkanlah kemungkinannya: Bahwa kita sedang menciptakan bencana jenis baru, yakni kebakaran abadi di musim kering dan tenggelam permanen di musim hujan. Jangan biarkan Kalimantan mewarisi air mata Sumatera. 

SHARE