Hari HAM: Prabowo-Gibran Dinilai Gagal Lindungi Hak Dasar rakyat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
HAM
Jumat, 12 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dalam momentum Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, yang diperingati tiap 10 Desember, kelompok masyarakat sipil memberikan penilaian negatif kepada pemerintahan Prabowo-Gibran dalam melindungi hak-hak dasar rakyat, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Indonesia. Sebab, selain melahirkan kebijakan-kebijakan yang melanggar HAM, pemerintah juga terkesan membiarkan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat terus terjadi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran justru memperlihatkan wajah yang semakin gelap, yakni kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap warga serta pembela lingkungan hidup semakin marak, sementara militerisme kembali menguat dalam ruang-ruang sipil.
Data pemantauan menunjukkan bahwa sepanjang satu dekade terakhir, 1.131 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi ketika memperjuangkan ruang hidup mereka. Dari jumlah itu, 544 kasus berlanjut hingga proses pidana, menjerat masyarakat adat, petani, aktivis, hingga jurnalis lingkungan.
Tren ini tidak mereda di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Angka-angka ini menegaskan bahwa negara bukan hanya gagal melindungi, tetapi aktif menggunakan instrumen hukum dan aparat keamanan untuk membungkam suara rakyat.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan kasus-kasus konkret sepanjang 2025 memperlihatkan pola represi yang semakin sistematis. Di Semarang, dua aktivis lingkungan, Dera dan Munif, yang ditangkap oleh Polrestabes Semarang, Jawa Tengah karena dituduh melakukan penghasutan demonstrasi pada Agustus 2025.
“Di Sulawesi Tengah, Christian Toibo, seorang pembela masyarakat adat, dikriminalisasi karena menolak klaim Badan Bank Tanah yang merampas tanah adat dan mengalami kriminalisasi serta ditahan oleh Kejaksaan Negeri Poso,” kata Boy, dalam keterangan tertulis, Kamis (11/12/2025).
Di Kalimantan Barat, lanjut Boy, kriminalisasi juga menimpa Tarsisius Fendy Sesupi, Kepala Adat Dusun Lelayang, Ketapang. Fendy merupakan kepala adat yang konsisten melindungi dan mempertahankan tanah adat dari ancaman PT Mayawana Persada. Sementara di Bengkulu, tragedi lebih memilukan terjadi ketika 5 petani Pino Raya ditembak aparat Keamanan PT Agro Bengkulu Selatan saat mempertahankan lahan dari klaim perusahaan, sekarang para petani Pino Raya dihinggapi bayang-bayang kriminalisasi dari Polres Bengkulu Selatan.
“Kasus-kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kekerasan dan kriminalisasi bukan sekadar angka, melainkan pengalaman pahit sehari-hari yang dialami langsung oleh rakyat di berbagai daerah dan bentuk nyata kegagalan negara menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi dan menghormati pejuang lingkungan dan pembela HAM,” ujar Boy.
Ironisnya, lanjut Boy, kriminalisasi dan kekerasan ini terjadi ketika bencana ekologis melanda, pemerintah justru terkesan lepas tangan. Banjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat sepanjang 2025 menelan korban jiwa, menghancurkan rumah warga, dan memutus akses jalan serta jembatan.
Namun, alih-alih segera menutup atau mencabut izin industri ekstraktif yang terbukti menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di kawasan tersebut, pemerintah memilih diam dan membiarkan perusahaan tetap beroperasi.
Menurut Boy, sikap pemerintah ini menunjukkan standar ganda yang mencolok, yakni rakyat yang mempertahankan lingkungan dikriminalisasi, sementara korporasi yang merusak lingkungan dibiarkan bebas dari tanggung jawab. Ketidakadilan ini memperlihatkan bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada keselamatan rakyat.
Perubahan Undang-Undang TNI dan lahirnya Perpres 5/2025 serta berbagai Nota Kesepahaman TNI dengan Kementerian terkait dengan tata kelola kehutanan semakin memperkuat pola militerisasi ruang sipil. Dengan dalih penertiban kawasan hutan, aparat militer kini hadir di ruang yang seharusnya menjadi domain otoritas sipil.
Praktik ini tidak hanya menimbulkan ketakutan, tetapi juga mengakibatkan pengusiran masyarakat adat dari wilayahnya, memperparah konflik agraria, dan mengancam keselamatan komunitas yang selama ini berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah terbukti lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibanding pada rakyat dan mengabaikan pemulihan lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas korporasi. Kondisi ini memperdalam luka sosial dan ekologis.
“Dalam momentum Hari HAM Sedunia ini, Walhi menegaskan bahwa kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, dan militerisme yang semakin menguat di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran adalah ancaman serius bagi demokrasi dan hak asasi manusia serta lingkungan hidup,” ucap Boy.
Boy bilang, hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa dipisahkan dari hak untuk bebas dari represi dan ketakutan. Ia berpendapat, negara harus segera menghentikan praktik militerisasi ruang sipil, mengakhiri kriminalisasi terhadap pembela lingkungan, dan mengambil langkah tegas untuk mencabut izin-izin industri ekstraktif yang terbukti menjadi penyebab bencana ekologis.
“Tanpa langkah berani untuk menempatkan keadilan ekologis dan hak asasi manusia di atas kepentingan korporasi maupun oligarki, Indonesia akan terus melanggengkan krisis yang mengancam keselamatan rakyat dan masa depan bangsa,” kata Boy.
Lahirkan kebijakan yang melanggar HAM
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran bahwa pemerintah adalah pemangku tanggung jawab untuk menegakkan HAM, bukan justru menjadi aktor pelanggar HAM. Dalam catatan YLBHI, dalam satu tahun berkuasa pemerintahan Prabowo-Gibran telah gagal menunjukkan komitmennya terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
“Bahkan sampai dengan saat ini Prabowo-Gibran justru terus melahirkan berbagai kebijakan dan tindakan pemerintahan yang berpotensi bahkan telah berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia warga negara,” kata Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI, dalam keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).
Kebijakan-kebijakan dimaksud, lanjut Isnur, di antaranya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% yang membebani rakyat, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang banyak melahirkan deforestasi, perampasan tanah-tanah warga dan pelanggaran HAM. Kemudian Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang inkonstitusional dan menyerap anggaran negara tanpa pengelolaan yang transparan dan akuntabel, hingga manipulasi partisipasi bermakna warga dalam penyusunan regulasi otoriter (autocratic legalism) seperti dalam revisi UU TNI, UU KUHAP dan lain-lain.
Hitung pula praktik represi kemerdekaan pers maupun kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang terus terjadi melalui perburuan aktivis juga praktik penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, terkini dialami ribuan orang dalam aksi demonstrasi Agustus-September oleh aparat kepolisian yang memakan korban jiwa maupun luka-luka.
Tidak berhenti di sana, Isnur menambahkan, manipulasi sejarah melalui pengingkaran fakta pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998, penulisan ulang narasi sejarah yang menghilangkan fakta-fakta penting kejahatan HAM berat dan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto, menjadi penanda putar balik demokrasi menuju rezim otoriter yang tidak berpihak pada HAM.
“Berbagai tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Prabowo-Gibran juga menunjukkan pengabaian terhadap prinsip demokrasi dan HAM,” ujar Isnur.
Isnur mengatakan, saat ini polisi dan militer aktif dibiarkan rangkap jabatan dan menduduki jabatan-jabatan sipil, impunitas pelaku kejahatan HAM juga terus dipelihara termasuk aparat kepolisian dan militer yang menjadi pelaku tindak pidana. Sementara itu, politisi dan pejabat pelaku korupsi justru diberikan grasi, amnesti dan rehabilitasi tanpa dasar yang jelas.
YLBHI, imbuh Isnur, melihat adanya pembiaran terhadap mangkraknya penegakan hukum atas kasus kejahatan HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM yang semestinya segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Bahkan ironisnya, justru ada upaya penghentian pengusutan kasus munir sebagai kejahatan hak asasi manusia.
Isnur mengatakan, keengganan mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan masalah krisis kemanusiaan seperti dalam penanggulangan bencana di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, juga menunjukkan kegagalan pemerintahan dalam pemenuhan HAM warga negara yang berada dalam situasi krisis bencana akibat kebijakan pembalakan hutan dan penambangan yang selama ini dibiarkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, YLBHI menuntut, yang pertama, pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menjadikan prinsip HAM, demokrasi dan negara hukum menjadi dasar fundamental bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan negara maupun tindakan pemerintah sebagaimana mandat konstitusi.
“Kedua, melakukan audit menyeluruh dan menghentikan berbagai kebijakan yang justru berpotensi dan menjadikan negara cq. pemerintah menjadi aktor utama pelanggaran HAM,” kata Isnur.
SHARE

Share

