Bubur Kayu masih Potensial Bikin Deforestasi, Waspadai Kalimantan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Deforestasi

Rabu, 10 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Temuan terbaru dari Trase.Earth menunjukkan bahwa meskipun laju deforestasi industri pulpwood atau bubur kayu menurun pada 2024, risiko kerusakan hutan alam tetap sangat tinggi. Analisis rantai pasok terbaru mengungkap bahwa sebagian besar kehilangan hutan terjadi di konsesi hutan tanaman industri (kebun kayu) yang belum memasok kayu ke pabrik, sehingga berada di luar komitmen keberlanjutan perusahaan besar.

Sebagai gambaran, sektor pulpwood Indonesia merupakan salah satu kontributor penting bagi perekonomian nasional, menyumbang sekitar 4% dari PDB non-migas dan menyediakan 1,5 juta lapangan kerja langsung dan tidak langsung. Dalam satu dekade terakhir (2015–2024), sektor ini mengalami ekspansi produksi sebesar 70% dari 6,7 juta ton pada 2015 menjadi 11,3 juta ton pada 2024.

Dari total produksi pada 2024 hampir 45% pulpwood yang diproduksi digunakan untuk konsumsi dalam negeri, sisanya diekspor ke pasar global. Sekitar 75% pulpwood yang diekspor pada 2024 dikirim ke China, di mana sebagian besar diolah di pabrik-pabrik yang berafiliasi dengan Royal Golden Eagle dan Sinar Mas (kedua kelompok korporasi tersebut termasuk di antara produsen kertas, tisu, kemasan, dan viscose terkemuka di China).

Deforestasi di PT IFP. Foto: Auriga Nusantara

Tapi perkembangan industri pulpwood di Indonesia ini juga membawa dampak pada isu lingkungan yang signifikan, terutama terkait deforestasi dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Kajian terbaru dari Trase mengenai data pulpwood 2023 dan 2024 mengungkap tren, kesenjangan kebijakan, dan risiko keberlanjutan masa depan di sektor ini, termasuk temuan mengenai deforestasi yang terkait dengan pemasok aktif dan non-aktif, serta emisi yang didorong oleh perluasan perkebunan di lahan gambut.

Berdasarkan data 2024, deforestasi tahunan yang disebabkan industri pulpwood Indonesia mencapai 13.630 hektare, menurun 55% dibandingkan pada 2023 sebesar 30.345 hektare. Meskipun terjadi penurunan deforestasi dan merupakan penurunan pertama setelah peningkatan tahunan berturut-turut sejak 2021, risiko deforestasi tetap tinggi.

Analisis menunjukkan bahwa 81% dari deforestasi, sejak 2015 hingga 2024, terjadi di konsesi non-aktif supplier, yaitu konsesi yang teridentifikasi sebagai konsesi pulpwood tetapi tidak memasok kayu ke pabrik manapun. Mayoritas deforestasi terjadi di wilayah Kalimantan.

Deforestasi tersebut termasuk terjadi di konsesi yang membuka ribuan hektare hutan alam dan habitat satwa dilindungi. Kondisi ini menggambarkan bahwa banyak konsesi kebun kayu Indonesia berada di luar jangkauan kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) yang diterapkan oleh produsen besar.

Risiko ini meningkat dengan beroperasinya pabrik pulpwood baru di Kalimantan Utara, yang berpotensi menyerap kayu dari area berisiko tinggi yang masih memiliki hutan alam. Meskipun tren deforestasi untuk kebun kayu menunjukkan penurunan, lonjakan deforestasi pada awal 2000-an dan celah dalam komitmen keberlanjutan itu meninggalkan jejak kerusakan yang mendalam terhadap hutan alam Indonesia.

Di Sumatera, hilangnya tutupan hutan terjadi dalam skala besar dan berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pemulihan yang sepadan. Banjir bandang dan longsor di Sumatera pada akhir tahun ini merupakan hasil dari proses panjang kerusakan lingkungan.

Selain deforestasi, masalah lingkungan utama lainnya yang dihadapi sektor pulp Indonesia adalah emisi gas rumah kaca (GRK). Lebih dari satu juta hektare lahan perkebunan sektor pulpwood, atau sekitar 43%, terletak di lahan gambut. Ketika dikeringkan untuk perkebunan kayu skala industri, lahan gambut melepaskan jumlah emisi GRK yang signifikan dan sangat rentan terhadap kebakaran yang tidak terkendali selama periode kering yang berkepanjangan.

Ketergantungan sektor ini pada lahan gambut yang dikeringkan menjadi isu politik besar pada 2015, ketika kebakaran yang tidak terkendali memicu kabut asap selama berbulan-bulan di Indonesia, Singapura, dan Malaysia, menyebabkan krisis kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi yang parah. Hampir 350.000 hektare kebun kayu terbakar di dalam konsesi pemasok aktif, lebih dari setengahnya berada di lahan gambut.

Trase menganalisis bahwa perkebunan kayu produktif di lahan gambut meningkat sekitar 60%, dari kurang dari 650.000 hektare pada 2015 menjadi lebih dari satu juta hektare pada 2024 di dalam konsesi pemasok aktif. Emisi gas rumah kaca (GRK) dari subsidensi gambut naik dari 47 juta ton CO₂-eq pada 2015 menjadi 76 juta ton CO₂-eq pada 2024 atau 6% dari total nasional Indonesia.

Emisi dari subsidensi gambut menyumbang 95% dari emisi bruto dari perubahan penggunaan lahan tahunan di seluruh basis perkebunan sektor ini pada 2024. Konflik sosial juga terus terjadi, termasuk sengketa lahan, intimidasi, dan kriminalisasi masyarakat adat dan lokal.

Keberlanjutan pada sektor kayu pulpwood di Indonesia masih terus dibayang-bayangi ancaman negatif terhadap lingkungan. Semisal seperti ancaman yang semakin meningkat terhadap komitmen NDPE secara sektoral, yaitu pembangunan pabrik pulpwood baru yang beroperasi di Kalimantan Utara, di mana lokasi pabrik lebih dekat dengan konsesi kehutanan yang mengancam hutan alam tersisa terbesar di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Menurut Adelina Chandra, Data Scientist Trase, perlindungan hutan membutuhkan komitmen dan pengawasan yang lebih kuat, terutama melalui transparansi rantai pasok. Ia mengatakan, sektor pulpwood Indonesia menunjukkan kemajuan, namun aksi yang lebih kuat masih dibutuhkan dalam implementasi NDPE.

Dalam hal ini, imbuh Adelina, data terbuka dan transparansi memainkan peran penting, dalam membantu mengidentifikasi peluang bagi sektor ini untuk memprioritaskan upaya pencegahan kehilangan hutan lebih lanjut.

“Data terbaru kami menunjukkan lokasi-lokasi kritis tempat deforestasi terkonsentrasi, mengungkap munculnya risiko-risiko baru, dan membantu memantau kemajuan yang dicapai,” ujarnya dalam sebuah keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).

Auriga Nusantara menganggap keberlanjutan masa depan sektor pulpwood Indonesia akan bergantung pada penutupan celah dalam cakupan NDPE, pemulihan lahan gambut yang terdegradasi, dan memastikan bahwa perluasan kapasitas pabrik di masa depan serta konsesi yang mengandung hutan primer signifikan dikelola tanpa deforestasi lebih lanjut.

Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara, mengatakan pemerintah dan industri harus menutup celah kebijakan yang masih memungkinkan pembukaan hutan di luar pengawasan. Menurut Hilman, selama ada konsesi berizin yang masih bebas membuka hutan alam, termasuk yang merupakan areal dengan nilai konservasi tinggi, komitmen NDPE tidak akan cukup.

“Pemerintah dan perusahaan harus bertindak lebih tegas, memastikan perlindungan hutan tersisa, pemulihan gambut, dan penghormatan hak-hak masyarakat,” katanya.

Trase dan Auriga Nusantara menyerukan tindakan segera untuk memperluas kewajiban NDPE bagi seluruh konsesi kebun kayu, memperketat pengawasan di wilayah rawan, serta memastikan pabrik baru tidak memicu deforestasi tambahan. Keduanya menegaskan bahwa keberlanjutan sektor pulp Indonesia hanya dapat tercapai jika praktik yang memicu kehilangan hutan dihentikan sekarang.

SHARE