Mengusut Tragedi Sumatera: Jangan Paksa Mayat Bicara
Penulis : Yosep Suprayogi, PEMIMPIN REDAKSI BETAHITA.ID
EDITORIAL
Senin, 08 Desember 2025
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
Sembilan ratus enam puluh satu.
Itu bukan sekadar angka statistik dalam laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sembilan ratus enam puluh satu itu adalah nyawa yang hilang hingga Senin siang (8/12/2025) di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Itu adalah pelukan yang hilang di rumah, kursi yang kosong di sekolah, dan masa depan yang telah dirampas paksa.
Sembilan ratus enam puluh satu jenazah telah dihitung, dua ratus tiga puluh empat lagi masih hilang. Namun, dari Istana Negara, kita hanya mendengar keheningan yang memekakkan telinga. Tidak ada status "Bencana Nasional"—mungkin demi menjaga citra stabilitas investasi—yang terasa seolah-olah kematian ini hanyalah statistik gangguan cuaca.
Bencana itu membawa serta barang bukti dari hulu, berupa pokok kayu dengan potongan rapi, panjang seragam, yang menghilir sambil menyapu 147,3 ribu rumah, 1.300 fasilitas umum, 405 jembatan di 52 kabupaten. Pokok pohon yang tak terhitung jumlahnya itu sudah pasti tidak berasal dari sembarang tempat di punggung Bukit Barisan. Diduga kuat asalnya dari lahan konsesi korporasi yang beroperasi di sana.
Tak sukar menunjuk hidung mereka. Buka saja wilayah terdampak di peta satelit, overlay dengan peta daerah aliran sungainya, lihat ke bukit-bukit di bagian hulu. “Siapa ada di mana” segera bisa diduga, terlihat dari citra tanah yang mengelupas. Ini karena air dan kayu tak pernah melawan hukum fisika, akan selalu mengalir ke area yang lebih bawah, dari area mereka.
Mereka adalah perusahaan logging, sawit, kebun kertas, tambang, hingga proyek pembangkit listrik yang diklaim “hijau”. Namun, seperti biasa, perusahaan-perusahaan itu berlindung di balik narasi klasik. "Ini takdir alam. Ini curah hujan ekstrem," kata mereka.
Bagaimana mungkin meminta pertanggungjawaban pada takdir? Maka, sembilan ratus enam puluh satu jenazah, memang hanya angka.
Padahal, hanya di negeri otoritarian warga negara boleh mati dalam ketidaktahuan. Adapun kita adalah negara yang menjunjung tinggi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Oleh karena itu, sudah seharusnya negara menyeret mereka yang bertanggung jawab dalam banjir bandang ini, demi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya, dan untuk pelajaran di masa depan.
Tetapi, menyeret mereka tak akan semudah menemukannya di peta. Akan sangat sukar, bahkan mungkin tidak akan berhasil, jika penegakkannya menggunakan hukum konvensional.
Kegagalan strict liability
Selama ini, kita dininabobokan oleh UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), hanya karena di dalamnya ada asas Strict Liability atau Tanggung Jawab Mutlak. Di atas kertas, asas ini terdengar garang: Perusahaan perusak lingkungan wajib membayar ganti rugi tanpa perlu membuktikan unsur kesalahannya.
Namun, terbukti sanksi perdata ini gagal menjadi pencegah (deterrent). Bagi korporasi ekstraktif dengan omset triliunan, membayar denda lingkungan hanyalah cost of doing business—biaya operasional yang jauh lebih murah dibandingkan harus membangun infrastruktur mitigasi bencana yang layak. Mereka membayar denda, lalu kembali mengeruk laba.
Ketika kerugian bukan lagi soal pohon yang tumbang, melainkan ratusan nyawa manusia, pendekatan perdata ini tak lagi memadai. Hukum tak boleh membiarkan nyawa manusia dikalkulasi dalam neraca rugi-laba perusahaan.
Kita membutuhkan instrumen yang lebih tajam dari sekadar denda. Kita butuh pidana penjara, yang mekanismenya menggunakan Pembuktian Terbalik. Korporasi di hulu sungai, alih-alih Jaksa, yang harus membuktikan mereka tidak bersalah. Jika mereka gagal memberikan alibi yang ilmiah, negara berhak—dan wajib—menuntut pertanggungjawaban.
Analogi kaca jendela
Pembuktian terbalik mutlak diperlukan di sana. Penyebabnya adalah karena di wilayah ini ada ketimpangan epistemik (Epistemic Inequality) dalam informasi, ada asimetri informasi, antara korporasi dan rakyat.
Bayangkan analogi sederhana ini: Ada kaca jendela rumah pecah dilempar batu. Di depan rumah itu, berdiri Tuan A memegang batu. Dalam hukum pidana biasa, Jaksa harus bersusah payah mencari CCTV atau saksi mata yang melihat Tuan A melempar. Jika tidak ada, Tuan A bebas.
Padahal, dalam kasus Sumatera hari ini, korporasi di hulu memegang monopoli informasi. Mereka punya data satelit real-time, ahli geologi, dan log operasional alat berat. Sementara rakyat di hilir hanya punya lumpur di ruang tamu mereka.
Ada distribusi informasi yang tak adil. Memaksa Jaksa atau korban untuk membuktikan kausalitas ilmiah di "kandang" korporasi yang tertutup rapat adalah hal yang mustahil.
Negara juga tidak boleh mensubsidi ketidakefisienan dan kesalahan korporasi, yang berujung bencana, dengan membebankan pembuktian pada publik. Maka logikanya harus dibalik. Karena "kaca jendela"—di sini adalah ekosistem Sumatera—sudah pecah dan korporasi memegang "batu" (konsesi lahan), maka merekalah yang wajib membuktikan di pengadilan bahwa batu itu tidak mereka lempar.
Hukum Harus Berevolusi
Para puritan hukum pasti akan menolak gagasan ini. Mereka akan berlindung di balik asas Presumption of Innocence (Praduga Tak Bersalah) dan Hak Asasi Manusia. Mereka ini kemungkinan besar juga akan mengingatkan bahwa asas Praduga Tak Bersalah adalah batu penjuru demokrasi, dan menggesernya bisa membuka kotak pandora penyalahgunaan kekuasaan.
Tentu saja ada bagian yang mereka sembunyikan rapat-rapat tentang asas ini. Tanpa bermaksud menjadikan isu ini sebagai perang kelas, namun sudah lama korporasi berlindung di balik tameng “praduga tak bersalah”, sementara "praduga bersalah" selalu ditimpakan pada rakyat kecil yang dituduh menghambat investasi.
Dalam situasi di mana sistem hukum telah dijadikan cara untuk melanggengkan ketidakadilan, membalikkan beban pembuktian bukanlah pelanggaran HAM seperti yang nanti dituduhkan kaum puritan hukum. Ini semata-mata upaya menyeimbangkan timbangan keadilan yang perlu ditera ulang.
Sementara hukum bukan dogma mati. Hukum adalah organisme hidup yang harus berevolusi merespons ancaman zaman. Indonesia memiliki preseden kuat untuk ini. Kita telah lama membuang asas praduga tak bersalah dalam kasus Korupsi dan Pencucian Uang. Mengapa? Karena kita sepakat bahwa korupsi adalah Extraordinary Crime (Kejahatan Luar Biasa) yang merusak sendi negara.
Pertanyaan moralnya hari ini adalah apakah tewasnya 921 manusia akibat keserakahan pengelolaan lahan bukan Kejahatan Luar Biasa? Apakah mencuri uang negara lebih jahat daripada "mencuri" nyawa rakyat lewat banjir bandang yang dibuat-buat?
Jika kita bisa memaksa koruptor membuktikan hartanya sah, kita harus bisa memaksa perusak lingkungan membuktikan operasinya bersih. Tanpa perubahan mekanisme hukum, deforestasi akan tetap menjadi model bisnis yang rasional di Indonesia. Dan itu adalah ekonomi yang mematikan.
Kejaksaan harus berani menyeret korporasi ke pengadilan dengan beban pembuktian terbalik. Biarkan para direktur korporasi itu berkeringat dingin menjelaskan mengapa tutupan hutan di wilayah konsesi mereka mengelupas dan ke mana kayu-kayunya itu pergi.
Jangan memaksa mayat untuk bicara dan menuntut keadilan. Kini giliran hukum yang harus memihak pada mereka yang tak lagi bisa bersuara.
SHARE

Share

