Industri Ekstraktif Jadi Alasan Sumatera Rentan Krisis Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Senin, 08 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Trend Asia menilai menjamurnya industri ekstraktif, termasuk 31 unit izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 1 juta hektare, menjadi salah satu alasan Sumatera rentan terhadap dampak krisis iklim. Hingga 6 Desember 2025, Siklon Senyar yang melanda Asia Tenggara telah memakan setidaknya 883 warga tewas, 4.200 warga luka-luka, 520 warga hilang, dan lebih dari 3,2 juta jiwa terdampak akibat banjir dan longsor di Sumatera, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Dalam sebuah keterangan tertulis, Trend Asia mengkritik pembingkaian pemerintah terhadap Siklon Senyar sebagai ‘bencana alam’ atau ‘anomali cuaca’. Buruknya dampak bencana merupakan konsekuensi dari diizinkannya industri ekstraktif padat modal yang melemahkan daya tampung dan daya dukung ekosistem, sehingga Sumatera rentan banjir dan longsor.

Laporan Trend Asia, Jatam, dan Bersihkan Indonesia bertajuk “Bencana yang Diundang” pada 2021 telah mengangkat minimnya sensitivitas risiko bencana dalam kebijakan pengeluaran izin industri ekstraktif di daerah rawan bencana Indonesia. Di Sumatera sendiri, 704 konsesi perusahaan pertambangan berada di kawasan berisiko tinggi banjir seluas 1.491.263 hektare, yaitu setara 3 kali luas Pulau Bali. Sementara 187 konsesi seluas 886.752 hektare berada di kawasan risiko tanah longsor.

Data terbaru Trend Asia (2025) menunjukkan bahwa selama satu dekade ke belakang, sepanjang rezim Joko Widodo, tiga provinsi yang terdampak bencana, yaitu Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat telah kehilangan hutan alam seluas 3.678.411 hektare. Aceh kehilangan hutan seluas 1.019.749 hektare, Sumatera Barat seluas 1.049.833 hektare, dan Sumatera Utara kehilangan hutan alam paling luas yaitu 1.608.827 hektare. Deforestasi ini terkait erat dengan keberadaan industri ekstraktif.

Tampak dari ketinggian sebuah desa yang terdampak banjir bandang di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 1 Desember 2025. Foto: AP Photo/Binsar Bakkara.

Di tiga provinsi yang terdampak bencana ekologis tersebut, ada 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang beroperasi di lahan seluas 1.019.287 hektare. Lagi-lagi dengan Sumatera Utara sebagai wilayah yang paling padat PBPH, yaitu 15 izin dengan luas 592.607 hektare. Hal ini konsisten dengan Sumatera Utara sebagai wilayah terdampak paling parah dari badai siklon.

Izin PBPH yang dimaksud secara keseluruhan keluar di 2021, diikuti dengan pelonjakan angka deforestasi antara 2021 ke 2022, yaitu dari 414.295 hektare ke 635.481 hektare. Anehnya, Kementerian Kehutanan dalam pernyataan ke publik malahan mengecilkan data-data deforestasi seolah terjadi penurunan.

Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, merasa heran dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang membanggakan angka deforestasi yang turun di daerah bencana sepanjang setahun belakangan. “Padahal penurunannya tidak signifikan dibanding tren peningkatan angka deforestasi sepanjang 10 tahun terakhir di tiga provinsi tersebut. Dampak kumulatifnya terasa hari ini,” ujar Amalya, Jumat (5/12/2025).

Hal ini tertaut erat dengan deregulasi dalam berbagai peraturan pemerintah, mulai dari pengesahan revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) hingga Omnibus Law UU Cipta Kerja, yang didorong untuk memudahkan investasi dengan mengabaikan kerusakan lingkungan dan hak masyarakat.

Bencana yang terjadi adalah konsekuensi dari kebijakan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek, mulai dari kerentanan akibat aturan investasi yang sangat longgar, hingga krisis iklim yang membuat fase La Niña dan Siklon Senyar yang terjadi bersamaan pada puncak musim hujan di Selat Malaka.

Selain harus berjibaku memburu aktor perusak lingkungan yang bertanggung jawab atas bencana banjir, pemerintah harus fokus juga terhadap kebutuhan dasar masyarakat. Ada banyak laporan dari lapangan seperti bantuan yang tidak merata, kekurangan personel untuk mencari orang hilang yang dimungkinkan terkubur dalam lumpur, dan kelangkaan bahan pokok.

Oleh karena itu, Zakki Amali, Manager Riset Trend Asia, menganggap pemerintah harus tegas untuk mencari penyebab bencana ekologis dengan mengevaluasi semua perizinan serta mencabut izin perusahaan bermasalah dan terbukti melanggar serta memicu banjir. “Pemerintah pusat juga harus menetapkan bencana banjir di Sumatera sebagai bencana nasional. Keselamatan rakyat harus diutamakan,” ujarnya.

SHARE