Kebun Sawit di Sumatera Kehabisan Daya Dukung dan Daya Tampung
Penulis : Aryo Bhawono
Sawit
Jumat, 05 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perkebunan sawit di tiga provinsi di Sumatera, terutama pada daerah terdampak banjir dan longsor yang dipicu Siklon Tropis Senyar, terdeteksi melebihi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH). Sawit Watch mendesak pemerintah menghentikan perizinan baru (moratorium) perkebunan sawit demi keselamatan dan ekonomi.
Sawit Watch bersama koalisi masyarakat sipil telah melakukan kajian nilai batas atas (cap) sawit di Indonesia yang menggunakan pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH). Hasilnya menunjukkan Pulau Sumatera telah mengalami defisit ekologis.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebutkan luas tutupan sawit di pulau itu mencapai 10,70 juta hektare, nilai ini secara faktual telah melampaui nilai batas atas (cap) sawit Pulau Sumatera sebesar 10,69 juta ha. Padahal kebutuhan lahan sawit di Sumatera hanya seluas 1,53 juta ha.
Menurutnya meski kelebihan luasan (surplus) terlihat kecil, permasalahan utamanya terletak pada distribusi spasial penanaman.
“Riset menemukan fakta bahwa merujuk pada Peta Penggunaan Lahan (PPL) terdapat 5,97 juta ha perkebunan sawit di Sumatera berada di dalam wilayah Variabel Pembatas,” ucapnya melalui rilis pers pada Jumat (5.12/2025).
Ia menyebutkan ketika hutan di area variabel pembatas dikonversi menjadi sawit yang monokultur, lanskap kehilangan kemampuan penyerapan sehingga memicu aliran permukaan (limpasan) ekstrem. Temuan ini menegaskan perlunya pengendalian ketat terhadap perluasan sawit untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan kepastian tata ruang.
Hasil analisis spasial menunjukkan tumpang tindih antara tutupan sawit, area berisiko, dan wilayah terdampak banjir. Temuan ini pun menampilkan jalur dan sebaran banjir parah yang melanda beberapa wilayah di Sumatera, yaitu Aceh, Mandailing Natal (Sumatera Utara), dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat).
Banjir parah terjadi pada lanskap yang di dalamnya terdapat 231.095,73 ha konsesi kebun sawit di Aceh. Sedangkan di Mandailing Natal, Sumatera Utara, area yang terdampak banjir memiliki sekitar 65.707,93 ha konsesi sawit.
Pada pesisir selatan, Sumatera Barat, banjir terjadi pada wilayah dengan 24.004,33 ha konsesi sawit. Jika digabungkan, total terdapat 320.807,98 ha konsesi sawit dalam bentang lanskap yang mengalami banjir parah.
“Angka-angka ini menegaskan bahwa banjir di beberapa wilayah Sumatera bukan hanya dipicu curah hujan ekstrem dan anomali cuaca, tetapi juga erat kaitannya dengan tata kelola ruang dan tekanan terhadap daerah tangkapan air yang berada di dalam maupun sekitar konsesi sawit skala besar serta daya dukung lingkungan. Kombinasi faktor hidrologis dan ekspansi konsesi di zona sensitif menyebabkan risiko banjir menjadi semakin tinggi dan berdampak luas,” ucap Surambo.
Peta Overlay Konsesi Kebun Sawit di Sumatera dengan jumlah eksisting 5.324.557,370 Ha. Data: Sawit
Kepala Departemen Riset, Kampanye dan Kebijakan Publik Sawit Watch, Hadi, menyebutkan lembaganya mendesak kebijakan penghentian perizinan baru (moratorium) perkebunan sawit. Alasan moratorium ini adalah faktor ekonomi.
Simulasi ekonomi dengan metode input-output menunjukkan moratorium permanen disertai peremajaan sawit rakyat (replanting) akan memberikan output ekonomi yang lebih tinggi, yakni mencapai Rp 30,5 triliun pada tahun 2045.
Sebaliknya, skenario ekspansi tanpa batas (business as usual) diproyeksikan menghasilkan output negatif sebesar minus Rp 30,4 triliun akibat membengkaknya biaya sosial, penanganan bencana, dan hilangnya jasa lingkungan,” kata Hadi.
Peta Tututpan Penggunaan Lahan Eksisting Sumatera Tahun 2022. Data: Lokahita
“Perekonomian tidak bisa tumbuh di atas tanah yang longsor atau wilayah yang banjir. Solusinya bukan dengan melakukan ekstensifikasi (ekspansi lahan), melainkan intensifikasi (peningkatan produktivitas) melalui peremajaan kebun rakyat yang sudah ada. Ekspansi perkebunan sawit perlu ditekan dengan penerapan kebijakan penghentian izin baru (moratorium) secara permanen,” kata dia.
Ia juga mendesak pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin perkebunan sawit termasuk yang berada pada zona variabel pembatas di Aceh, Sumut dan Sumbar. Selain itu rencana pengembangan mandatori B50 pada tahun 2026 memicu gelombang deforestasi baru ditambah pemerintah secara terbuka menyampaikan rencana ekspansi sawit seluas 600.000 ha tahun depan.
“Untuk itu kami menilai penting bagi pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan dan target bauran biodiesel ini,” ujarnya.
SHARE

Share
