CCTV Rakyat di Langit
Penulis : Yosep Suprayogi, Pemimpin Redaksi Betahita.ID
Kolom
Kamis, 04 Desember 2025
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
ANDA mungkin bukan korban teknologi ini. Suatu kali, ketika bermobil di jalan dan lupa memakai sabuk pengaman, pelanggaran itu diketahui polisi melalui CCTV. Anda kena denda. Semoga hanya itu kesalahannya, sebab bukti pelanggaran berupa barcode dikirim ke rumah. Bisa dibuka siapa saja.
Bayangkan jika kemampuan CCTV ini dipakai di hutan, sehingga perubahan tutupannya bisa diketahui secepat kilat? Ini penting sebab selama bertahun-tahun, kita baru menyadari hutan kita hilang ketika bencana datang: bisa banjir bandang, seperti yang terjadi pekan lalu di tiga provinsi di Sumatera; kabut asap yang tiba-tiba rutin datang di musim kemarau; atau versi romantis-tragisnya, tak ada suara burung saling merayu, seperti dulu pionir gerakan lingkungan Rachel Carson menemukan musim seminya tiba-tiba sepi dari kicauan burung-burung lokal di sana, seperti catbird dan robin, akibat racun DDT, sebagaimana ia ceritakan dalam Silent Spring (1962).
Deforestasi hingga saat ini seringkali menjadi fakta yang terlambat. Padahal, teknologinya sudah lama tersedia di atas kita: satelit. Masalahnya ada pada teknologinya yang eksklusif, mahal, dan interpretasinya butuh ahli. Ketika Maryland University menginisiasi GLAD (Global Land Analysis and Discovery) pada 2000-an dan WRI bersama Wageningen University, Google, dan Deltares meluncurkan inisiatif RADD (Radar for Detecting Deforestation) alert pada 2019, sebagian besar masalah itu bisa diatasi. Keduanya adalah sistem deteksi peringatan deforestasi berbasis satelit yang near (hampir) real-time dan bisa diakses publik melalui, misalnya, platform Global Forest Watch.
Tapi GLAD dan RADD punya kelemahan. Pertama-tama adalah keduanya bukan untuk rakyat awam. Istilah yang digunakan—seperti "confidence level", "canopy density", atau "biomass loss"—jelas bukan untuk warga desa hutan, tempat di mana kejahatan kehutanan biasa terjadi. Biasanya di area ini sinyal internet juga "Senin-Kamis", atau hanya bisa didapat jika menaiki bukit lalu masih harus memanjat pohon dan menambah ketinggian dengan gantar demi satu bar sinyal.
Rakyat awam itu memang bisa dilatih—ini sudah dilakukan sejumlah NGO. Urusan sinyal internet pun masih bisa diatasi, semenjak ada internet via satelit semacam Starlink, UBIQU, Mangoesky, Kacific, dan DTPNet. Namun masalah kronis lainnya bahkan tak ada obatnya, yakni penyakit “gangguan penglihatan” yang diderita GLAD dan RADD, meski munculnya kumat-kumatan.
GLAD seperti kena katarak kalau di bawah ada awan, karena menggunakan teknologi optik bawaan satelit Landsat. Padahal tutupan awan di negeri kita sangat tinggi. Dilaporkan, GLAD sering "buta" selama berminggu-minggu saat musim hujan. Lalu ketika awan hilang di musim kemarau, hutan mungkin sudah selesai dirambah.
RADD, yang memakai citra dari satelit Sentinel-1, berbasiskan radar, sehingga tak ada masalah dengan awan. Tapi, radarnya bisa mendadak “rabun” jika tanah lembap. Di lahan gambut atau rawa yang banyak terdapat di Indonesia, perubahan kadar air sering dibaca radar sebagai perubahan tutupan hutan. Akibatnya banyak alarm palsu. Publik sudah capek-capek cek ke lokasi, ternyata hutannya masih utuh, hanya tanahnya yang basah/banjir.
GLAD dan RADD juga hanya memberi tahu "ada perubahan pixel di sini", tetapi tidak memberi tahu "apa artinya". Misalnya, apakah lokasinya di dalam hutan lindung, HGU perusahaan, atau di kebun masyarakat. Kalau mau tahu hal itu, pengguna masih harus mencarinya secara manual, dengan melakukan overlay peta konsesi atau batas desa.
Bayangkan overlay seperti menumpuk peta plastik transparan. Saat ditumpuk jadi satu, semua informasi dari tiap lembar terlihat sekaligus.
Masalahnya tak cuma status lokasi. Publik juga tidak bisa mengetahui apakah pixel merah itu akibat penebangan liar, pembukaan kebun sawit, atau hanya longsor alami.
Tapi kelemahan yang paling krusial adalah beban pembuktian masih di pundak warga, karena yang diberikan GLAD/RADD hanya indikasi. Padahal untuk menjadikannya sebagai bukti, paling tidak ada empat langkah. Pertama warga harus mengunduh data, lalu pergi ke titik koordinat kejadian, mendokumentasikan lokasinya, dan membuat laporan.
Betapa beratnya langkah verifikasi ini pernah dialami Supintri Yohar, Direktur Hutan Auriga Nusantara. Suatu ketika ia mendapat informasi dari Direktorat Informasi dan Data, dapur data di kantornya, yang mengindikasikan adanya deforestasi di hutan sekitar Kecamatan Silangit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Dari langit, citranya cukup meyakinkan, meski buram; terlihat ada bukaan hutan baru. Dia pun berangkat ke titik koordinat itu. Perjalanan dari desa terakhir di tepi hutan ke lokasi memakan waktu 3 hari 2 malam dengan menyusuri sungai. Sampai di sana hutannya memang terbuka, tapi karena longsor alami.
Jadi, sebagai detektor deforestasi, GLAD dan RADD ibarat alarm asap yang berbunyi terus menerus—kadang karena api, kadang karena orang merokok, kadang error. Akibatnya, orang mulai mengabaikannya. Yang dibutuhkan publik bukan sekadar alarm, tapi CCTV yang mengirimkan foto pelaku ke ponsel mereka.
CCTV yang mendekati kemampuan seperti itu baru saja diluncurkan kemarin. Alerta namanya, sebuah fitur baru dalam platform daring Mapbiomas Indonesia, hasil kolaborasi organisasi masyarakat sipil, universitas, dan pengembang teknologi. Tulisan ini dimaksudkan sebagai ucapan selamat datang kepada alat ini, yang mudah-mudahan bisa membuat perubahan besar dari langit, meskipun perubahannya tak seluar biasa ketika akses kita terbuka terhadap satelit GPS.
Alerta setidaknya akan membekali publik dengan data deforestasi yang sahih melalui fitur “laporan siap pakai", setara dengan yang dimiliki pejabat kementerian dan korporasi, namun lebih mudah diakses, bisa dibuka siapa saja. Tools ini akan menghapus kalimat "Anda tidak punya data valid" yang sering dipakai untuk membungkam kritik warga dan biasanya diteriakkan dengan jumawa—dan tentu sangat menyebalkan.
Platform ini lebih dari sekadar sistem peringatan. Ia adalah sistem validasi atas peringatan dari platform yang sudah tersedia seperti GLAD, lalu menyiarkannya kembali sebagai peringatan baru namun dengan akurasi tinggi, berkat penggunaan citra satelit resolusi tinggi Planet (3,7 m). Dengan resolusi ini kita bisa membedakan mobil truk dan ekskavator perambah hutan dengan pondok petani dari luar angkasa. Publik mendapatkan data "bersih". Akan ada laporan kondisi before (sebelum) dan after (sesudah).
Jadi, jika alarm berbunyi di Mapbiomas, artinya 99% pasti ada penebangan. Ini menghilangkan alasan pemerintah/aparat untuk berkata "ah itu cuma error satelit" dan menjawab masalah trust issue.
Alat ini pun mengubah hutan belantara yang jauh di mata, menjadi halaman belakang yang dekat di gawai kita, yang cerita di dalamnya terang benderang, karena citra resolusi tinggi yang “bersih” itu akan diperkaya dengan informasi geospasial tematik yang relevan, seperti batas administrasi, kawasan hutan, area konsesi/perizinan seperti kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, dan sebagainya.
Untuk setiap peringatan deforestasi itu, yang akan diproduksi mingguan, cukup cepat untuk menangkap aksi maling kayu manapun, tersedia laporan terperinci yang dapat diunduh secara gratis. Ini adalah perubahan "dari katanya menjadi faktanya" tanpa perlu ahli GIS. Siapapun tinggal mengunduh laporan PDF-nya dan sah secara visual untuk dibawa ke polisi atau jaksa, karena membuktikan bahwa tindak pidana terjadi di koordinat X pada tanggal Y.
Di sini, Alerta memang tidak memecahkan masalah sinyal—tidak menjadi lebih cepat tentu saja. Tapi, Alerta memecahkan masalah aksesibilitasnya. Unduh sekali di tempat bersinyal, lalu bawa ke lapangan, untuk verifikasi.
Tapi fitur paling "mematikan" bagi pembalak hutan adalah informasi Alerta yang menumpukkan data deforestasi dengan peta kepemilikan lahan. Jadi laporan tidak hanya bilang "ada hutan hilang", tapi langsung menunjuk hidung: "Hutan hilang di lahan milik ....", yang mengubah anonimitas menjadi akuntabilitas. Deforestasi bukan lagi "bencana alam tak bertuan", tapi sebuah kejahatan yang punya alamat dan nama pelaku.
Sistem ini juga akan mengecek apakah di lokasi tersebut ada izin penebangan yang sah atau tidak. Laporan langsung memberi label: "Terindikasi Ilegal" jika tidak ditemukan izin di database pemerintah. Dengan begitu warga langsung bisa tahu mana yang jahat dan mana yang prosedural, tanpa perlu bertanya ke Dinas Kehutanan.
Di pengadilan atau sengketa lahan, gambar ini jelas berbicara lebih keras dari dokumen. Citra satelit resolusi tinggi adalah saksi mata yang tidak bisa disuap. Alerta dengan begitu menggeser pertempuran masyarakat menjadi peperangan antara "Satelit vs Beking”.
Dengan demikian patutlah berharap, tidak ada lagi kasus seperti banjir di tiga provinsi di Sumatera di masa depan, jika Alerta digunakan untuk “sistem peringatan dini”. Sebab, deforestasi bukan kejadian semalam, seperti dalam cerita Bandung Bondowoso. Ada pola: jalan rintisan dulu, yang mirip tulang ikan, baru pembabatan luas. Dengan data mingguan, publik—bukan hanya pemerintah daerahnya—bisa berteriak sebelum hutan memberi tahu pohonnya habis lewat teguran keras seperti banjir bandang
Bahkan, jika ke dalam Alerta di-overlay peta kerentanan hutan, sistemnya bukan hanya untuk peringatan dini, tapi pencegahan. Dan mencegah selalu lebih baik dari mengobati. Ini sebenarnya sangat mungkin, jika saja kabar ini benar: Bahwa di Kementerian Kehutanan ada peta kerentanan ekosistem. Jika ini ditumpukkan ke Alerta, percayalah, pembalakan di Batang Toru bahkan tak akan diizinkan. Jika pemerintah mengizinkan, tapi rakyat tahu kerentanannya, rakyat tinggal melakukan pemberontakan konstitusional.
Lihat, transparansi bukan lagi pilihan moral pemerintah, tapi keniscayaan teknologi. Kita tidak bisa lagi menyembunyikan deforestasi di balik awan birokrasi. Maka, benar seperti disampaikan dalam peluncuran platform ini, Alerta bisa menjadi “game changer”.
Tentu saja, teknologi ini bukan tongkat sihir. Berkaca dari Brasil, ribuan laporan deforestasi yang dihasilkan Mapbiomas Alerta sempat menumpuk tanpa tindakan hukum yang berarti karena lemahnya kemauan politik. Tapi setidaknya pelakunya kini tercatat dalam sejarah. Soal kapan mengadili mereka tinggal menunggu waktu.
Selain itu, satelit secanggih apa pun masih bisa dikelabui oleh praktik tebang pilih di bawah rimbunnya kanopi. Namanya juga berniat melanggar, ada saja akalnya. Ini mirip ketika Anda mengakali kamera CCTV ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) dengan stiker, bukan?
Namun, memiliki data yang transparan adalah langkah pertama yang tidak bisa ditawar. Toh, kita tidak bisa memperbaiki apa yang tidak bisa kita lihat. Keterbatasan alat ini menjadi tantangan teknis yang bisa disempurnakan, tetapi ketiadaan akses data bagi publik adalah cacat demokrasi yang harus segera diakhiri.
Soal cacat demokrasi ini, dan kesadaran rakyat untuk memperbaikinya, ada contoh ceritanya dari Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara. Pertengahan Oktober lalu dia bertemu petani sawit di sebuah kecamatan di Konawe Utara, Sultra. Cuma di warung kopi.
Para petani mengeluhkan sawit dan kampung mereka yang tiba-tiba disebut masuk kawasan hutan, dan baru saja di-plang oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Ketika kepada mereka ditunjukkan Mapbiomas yang menunjukkan situasi kampung berikut izin-izin yang mengelilinginya, dari sawit hingga tambang nikel, ada yang membelalak tak percaya, ada yang kemudian berdiri tegak, mengepal dan menggeram, seolah menemukan epifani—sebuah pencerahan mendalam yang datang tiba-tiba. Oh, ada petanya, ya...?
Alerta siap membuka mata publik lebar-lebar. Koruptor lingkungan sudah pasti terhantui oleh tools ini, karena dua hal: Ia adalah alat penegakan hukum yang jujur dan mata publik yang tidak berkedip. Lalu bagaimana dengan kita?
Mestinya kita pun berubah, bukan lagi bertanya 'apa yang terjadi di hutan kita?', melainkan 'apa yang akan kita lakukan setelah mengetahuinya?'.
SHARE

Share

