Mencari Muasal Gelondongan Kayu di Banjir Tapanuli
Penulis : Aryo Bhawono
Ekologi
Rabu, 03 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) dituding berkontribusi atas banjir Sumatera, khususnya Tapanuli. Analisis pemetaan menunjukkan anak sungai Batang Toru dan Sibundong mengalir di area operasi mereka dan mengalami kerusakan. Perusahaan itu membantah.
Temuan gelondongan kayu di sungai-sungai yang meluap pada banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengindikasikan terjadinya deforestasi hutan alam di kawasan hulu. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menengarai temuan gelondongan kayu di Sungai Batang Toru tak lepas dari aktivitas PT Toba Pulp Lestari di kawasan hulu.
Direktur Program KSPPM, Rocky Pasaribu, menyebutkan wilayah-wilayah terdampak, terutama Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, terlihat banyak gelondongan kayu besar terseret banjir. Pemandangan ini menguatkan kesimpulan bahwa kerusakan hutan di hulu DAS telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Lembaganya melakukan analisis perubahan tutupan lahan di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah sejak 1990 hingga 2024 menggunakan platform mapbiomas.org. Hasilnya menunjukkan penurunan tutupan hutan alam yang sangat signifikan di Tapanuli Selatan: dalam lebih dari tiga dekade wilayah ini kehilangan sekitar 46.640 hektare hutan alam.
Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 26.223 ha, dan berlanjut pada 2000–2010 dengan kehilangan 10.672 hektare. Data perubahan tutupan lahan ini berjalan searah dengan perluasan penggunaan lahan lain: sejak 1990–2024 terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 ha, perluasan kebun kayu eukaliptus sebesar 1.107 ha, serta identifikasi 298 lubang tambang.
Kondisi serupa juga tampak di Tapanuli Tengah. Sejak 1990 hingga 2024, wilayah ini kehilangan sekitar 16.137 hektare hutan alam. Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 9.023 ha, disusul periode 2010–2020 sebesar 6.154 ha. Pola ini menunjukkan kerusakan hutan yang berlangsung bertahap namun konsisten dalam tiga dekade terakhir.
Perubahan tutupan lahan Tapanuli. Sumber: Mapbiomas
Sedangkan perubahan tutupan lahan di Tapanuli Tengah tidak menunjukkan lonjakan dramatis pada perluasan kebun sawit, kebun kayu, maupun aktivitas pertambangan. Analisis KSPPM berbasis mapbiomas.org mencatat bahwa penambahan kebun sawit dan kebun kayu hanya sekitar 853,54 ha. Sebagian besar perubahan tutupan lahan justru beralih menjadi gambut, mangrove, sawah, permukiman, dan bentuk lahan lain.
Perubahan tutupan hutan di dua kabupaten ini berdampak langsung pada kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan pemantauan KSPPM menggunakan Geographic Information System (GIS), terdapat dua DAS utama yang terdampak, yaitu DAS Batang Toru dan DAS Sibundong. Hilir DAS Batang Toru berada di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, sementara hilir DAS Sibundong berada di Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Temuan lainnya menunjukkan pada hulu Sungai Batang Toru terdapat 21 anak sungai, sedangkan di Sungai Sibundong terdapat 46 anak sungai. Keseluruhan anak sungai ini berada dalam konsesi salah satu perusahaan bernama PT TPL.
“Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa pembukaan hutan dan perubahan kawasan menjadi monokultur khususnya penanaman kayu eukaliptus telah merusak fungsi hidrologis kedua DAS tersebut,” ucap dia melalui rilis pers.
Selama lebih dari tiga dekade, pembukaan kawasan hutan menyebabkan hilangnya vegetasi keras yang berfungsi menahan tanah dan mengatur aliran air. Akibatnya, ketika hujan deras turun, tanah mudah tererosi, aliran permukaan tidak lagi tertahan, dan muncul jalur-jalur aliran baru yang merusak stabilitas DAS.
Apalagi 43 titik bencana baik di Tapanuli Tengah maupun Tapanuli Selatan berada di hilir kedua sungai tersebut, memperlihatkan hubungan langsung antara kerusakan hulu dan bencana di wilayah hilir.
Menurutnya bencana yang merenggut nyawa dan merusak kehidupan ribuan orang bukanlah peristiwa tunggal, melainkan hasil dari pola eksploitasi yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun. Pemerintah memiliki tanggung jawab terbesar atas pembiaran terhadap praktik-praktik pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan, para pemegang izin, maupun pelaku pembalakan ilegal yang terus bergerak tanpa batas.
“Ketika negara gagal hadir untuk menjaga hutan, rakyatlah yang menanggung akibat paling pahit,” kata dia.
Informasi yang dihimpun dari warga menyebutkan deforestasi tak hanya dari kebun inti perusahaan itu. Beberapa area juga merupakan perkebunan kayu rakyat (PKR) yang bekerjasama dengan perusahaan itu. Sebagian warga mencurigai bahwa selama ini kayu yang dikirim ke perusahaan di kawasan itu bukan saja dari PKR melainkan dari lokasi hutan alam sekitar.
Sementara Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho menyebutkan kemungkinan kayu-kayu tersebut berasal dari beragam sumber, mulai dari pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan liar, bahkan aktivitas yang melanggar hukum termasuk penyalahgunaan Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) dan illegal logging.
Kementerian Kehutanan sendiri berniat untuk menelusuri gelondongan kayu tersebut untuk memastikan muasalnya.
PT TPL sendiri membantah bahwa aktivitasnya menjadi biang bencana ekologi. Pernyataan mereka melalui bursa efek menyebutkan seluruh kegiatan HTI telah melalui penilaian High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) oleh pihak ketiga untuk memastikan penerapan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari.
Total areal 167.912 ha konsesi, perusahaan itu hanya mengembangkan tanaman eukaliptus sekitar 46.000 ha, sementara sisanya dipertahankan sebagai kawasan lindung dan konservasi.
Selama lebih dari 30 tahun beroperasi, kata perusahaan itu, PT TPL menjaga komunikasi terbuka melalui dialog, sosialisasi, serta program kemitraan dengan Pemerintah, Masyarakat Hukum Adat, tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Perseroan menghormati penyampaian aspirasi publik, namun mengharapkan informasi yang disampaikan didasarkan pada data yang akurat dan dapat diverifikasi. Mereka mengaku tetap membuka ruang dialog konstruktif untuk memastikan keberlanjutan yang adil dan bertanggung jawab di areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
SHARE

Share
