Banjir Sumatera Jadi Alarm Pemerintahan Prabowo untuk Berbenah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Rabu, 03 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sejumlah kelompok masyarakat sipil terus mengeluarkan desakan agar bencana banjir bandang di sejumlah kabupaten di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh, ditetapkan sebagai bencana nasional. Greenpeace Indonesia juga menyebut bencana alam yang telah menyebabkan menghilangkan ratusan jiwa ini sebagai peringatan terakhir bagi Pemerintahan Prabowo Subianto untuk berbenah.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 2 Desember 2025, banjir bandang yang melanda Sumatera kali ini berdampak pada 50 kabupaten/kota dengan jumlah warga terdampak sebanyak 3,2 juta jiwa. Di antaranya menyebabkan sedikitnya 659 jiwa melayang, 475 jiwa hilang, 2.600 jiwa terluka, dan 1,1 juta jiwa mengungsi.
“Peristiwa banjir besar yang melanda Sumatera ini seharusnya menjadi pengingat terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta komitmen iklim secara total,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam sebuah keterangan tertulis, Selassa (2/12/2025).
Arie bilang, banjir besar tersebut menandakan dua hal, yakni dampak krisis iklim yang tak bisa lagi dihindari dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi menahun. Dampak krisis iklim terlihat dari cuaca yang kian ekstrem, termasuk hujan lebat yang diperparah dengan terjadinya siklon tropis Senyar pada 25-27 November 2025 di Selat Malaka.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lewatnya siklon tropis Senyar di Selat Malaka, bahkan hingga ke daratan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini bukan fenomena umum mengingat posisi Indonesia di dekat garis ekuator.
Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan, hujan ekstrem akan terus mengintai sebagai dampak dari krisis iklim. Sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana, dampak krisis iklim bukan hanya angka, tapi juga mengancam nyawa. Ia berpendapat, harus ada tindakan dan target iklim yang ambisius.
“Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas, dan tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional. Sekarang waktu yang tepat untuk memperbaiki arah kebijakan nasional agar tidak lagi berpihak pada segelintir orang, tapi kelayakan bagi semua orang,” katanya.
Faktor kedua yang memicu besarnya dampak banjir Sumatera yakni perusakan hutan dan alih fungsi lahan, termasuk di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS). Analisis Greenpeace dengan merujuk data Kementerian Kehutanan menemukan, dalam kurun 1990-2024, banyak hutan alam di Provinsi Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa terjadi di Aceh dan Sumatera Barat.
“Mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis, dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan kini tinggal 10-14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera yang 47 juta hektare,” kata Sapta Ananda Proklamasi, Peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Salah satu DAS yang rusak parah ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatera Utara ini juga dibebani berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan, termasuk PLTA Batang Toru, yang lantas membabat hutan, juga menggusur habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Berikut hasil analisis Greenpeace tentang kawasan hutan di area DAS Batang Toru. Selama periode 1990-2022, telah terjadi deforestasi seluas 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas DAS. Kini luas hutan alam yang tersisa sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen dari luas DAS.
Kondisi tutupan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru 2024. Sumber: Mapbiomas Indonesia.
Kemudian areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan seluas 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.
Greenpeace juga menemukan total potensi erosi saban tahun sebesar 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen berasal dari areal rawan erosi >180 ton/hektare/tahun. Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilirnya beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Hutan alamnya hanya berada di bagian tengah DAS.
Arie mengatakan, Pemerintah Indonesia harus serius membenahi kebijakan tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh demi menyelamatkan ekosistem dan masyarakat dari tragedi bencana iklim. Dengan krisis iklim yang kian parah, hutan yang rusak dan daya dukung lingkungan yang sudah menurun drastis hanya akan membuat kita makin porak-poranda tatkala terjadi cuaca ekstrem.
“Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatera hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah, dan kini masyarakat Sumatera harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini,” katanya.
Prabowo dan beberapa menterinya, lanjut Arie, memang sudah menyinggung soal deforestasi, tapi mereka seolah mengesankan bahwa kerusakan hutan di Sumatera terjadi karena penebangan liar. Padahal selain penebangan liar, deforestasi masif terjadi karena dilegalkan pula oleh negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya.
Arie berpendapat, selain mengevaluasi izin-izin di Sumatera, pemerintah juga harus berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua. Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya yang dibebani tambang nikel, juga deforestasi di Merauke demi ambisi swasembada energi dan pangan yang salah kaprah.
“Pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai kita,” katanya.
Saatnya moratorium izin
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyebut bahwa bencana longsor dan banjir yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari kewajiban dan tanggung jawab negara. Menurut YLBHI, bencana yang terjadi hari ini bukan hanya dampak dari tingginya curah hujan pada hari ini, namun juga dampak dari krisis iklim yang berkaitan dengan aktivitas deforestasi dan masifnya pemberian izin-izin konsesi pada perusahaan pertambangan dan perkebunan yang beraktivitas di wilayah Sumatera.
Hal demikian menunjukkan gagalnya Pemerintah dalam tata kelola kawasan hutan yang semrawut dengan memberikan atau setidaknya mempermudah izn-izin usaha perkebunan, pertambangan dan juga maraknya alih fungsi lahan demi proyek PLTA yang tersebar di berbagai titik di wilayah Sumatera.
“Wilayah Sumatera Barat misalnya, dalam rentang waktu 2020-2024 terdapat ratusan ribu hektare hutan dirusak,” kata YLBHI dalam sebuah siaran pers, Senin (1/12/2025).
Hal ini, lanjut YLBHI, bersifat sistemik dan berkelanjutan, tampak dari citra satelit yang menunjukkan kerusakan di kawasan konservasi dan hutan lindung seperti di wilayah perbukitan di Taman Nasional Kerinci Seblat. Tambang-tambang ilegal dan pembalakan liar juga kian memperparah situasi ini, hal tersebut terjadi seperti di wilayah Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan.
Upaya pencarian korban hilang dan pembukaan akses jalan menggunakan alat berat di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Foto: Bidang Komunikasi Kebencanaan/Muhammad Andhika Rivaldi
“Deforestasi ini menyebabkan tidak ada lagi pohon yang berfungsi menyerap air, sehingga limpasan air yang besar berujung pada banjir dan genangan air seperti di Kota Padang,” kata YLBHI.
Oleh karena itu, lanjut YLBHI, selain penanggulangan pasca-bencana, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR BPN, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup juga harus bertanggung jawab, guna memastikan tidak terulangnya kembali peristiwa ini dengan segera melakukan evaluasi total dan moratorium atau penangguhan izin baru terhadap industri ekstraktif dan juga penegakan hukum terhadap aktivitas illegal logging dan tambang-tambang ilegal yang selama ini melakukan deforestasi dan perusakan lingkungan.
Aparat penegak hukum dan Dirjen Gakkum Lingkungan Hidup, sambung YLBHI, juga harus bertindak cepat untuk segera lakukan upaya investigasi dan juga penegakan hukum kepada korporasi perusak lingkungan maupun pihak atau kelompok yang selama ini melakukan aktivitas ilegal logging dan penambangan ilegal yang selama ini marak dan eksis di wilayah Sumatera.
“Hal ini mendesak untuk dapat segera dilakukan mengingat akar persoalan banjir bukan hanya tingginya curah hujan namun karena adanya alih fungsi kawasan hutan dan hilangnya fungsi resapan air akibat tata kelola yang buruk serta karpet merah dan impunitas terhadap pengusaha yang ugal-ugalan dalam melakukan aktivitas bisnisnya,” tulis YLHBI.
SHARE

Share

