Kekerasan dan Kriminalisasi Petani Merajalela di November Ini
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Kamis, 27 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengungkapkan, berbagai kekerasan dan kriminalisasi petani meningkat di November, tak hanya penembakan lima petani Pino Raya, Bengkulu Selatan. Mereka mendesak legislatif dan Presiden untuk menuntaskan konflik agraria.
Menurut KNPA, peristiwa ini merupakan cerminan kasus kekerasan dan tindakan represif masih terus terjadi di lapangan, bahkan meluas akibat tidak adanya kanal penyelesaian konflik yang sistematis dan komprehensif.
Setidaknya terjadi sembilan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani, masyarakat adat, dan pejuang lingkungan. Pelakunya adalah perusahaan maupun kepolisian. Para korban memperjuangkan hak atas tanah dari perampasan perusahaan negara dan swasta, maupun kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kasus-kasus tersebut di antaranya:
- Kriminalisasi para petani di Cot Girek, Aceh Utara, yang tengah berkonflik dengan PTPN IV. Empat orang petani secara tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka karena dituduh melakukan kekerasan.
- Kriminalisasi 15 orang petani Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STSK) Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang tengah berkonflik dengan PT. Subur Setiadi. Pihak perusahaan berdalih para petani melakukan pengrusakan tanaman perusahaan.
- Petani di Cianjur Jawa Barat terancam perampasan tanah karena rencana pembangunan PSN Geothermal milik PT Dayamas Geopatra Pangrango. Sejak awal tahun, masyarakat terus mendapat intimidasi dan kekerasan dari aparat gabungan.
- Kriminalisasi dua petani Kendal, Jawa Tengah. Mereka berasal dari Paguyuban Petani Kawulo Alit Mandiri karena dilaporkan PT Soekarli.
- Seorang petani di Ijen, Kabupaten Bondowoso dijemput paksa (kriminalisasi) berkaitan dengan konflik agraria antara warga dengan PTPN XII Jawa Timur.
- Sebanyak 14 orang warga dan aktivis mahasiswa dikriminalisasi akibat melakukan protes terhadap operasi perusahaan perkebunan PT. Sawindo Cemerlang yang merampas tanah masyarakat di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
- Kekerasan dan ancaman kriminalisasi di dua tempat dalam waktu yang berdekatan, yakni di Kabupaten Dairi dan Toba Samosir akibat konflik agraria antara warga dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PT Gruti.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menyebutkan rentetan kasus ini membuktikan Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria (Pansus PKA) DPR RI yang telah dibentuk pada 02 Oktober 2025 lalu belum bekerja. Pansus PKA adalah kesepakatan antara Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR RI dan pemerintah bersama massa aksi Hari Tani Nasional 2025 (HTN). Termasuk komitmen DPR RI akan mendorong Presiden Prabowo untuk membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BP-RAN).
Menurutnya rentetan tindakan represif dan kekerasan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir di berbagai wilayah merupakan sinyal DPR RI dan Presiden belum serius menjalankan reforma agraria.
Pengerahan aparat dengan pendekatan represif dan kriminalisasi secara berulang digunakan dalam menangani konflik agraria di lapangan, alih-alih menurunkan Kementerian dan Lembaga terkait untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria yang terjadi. Padahal dalam RDP tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah mengingatkan ketika terjadi konflik agraria, pemerintah seharusnya menurunkan Menteri/Lembaga terkait, bukan aparat keamanan yang justru memperkeruh situasi.
Ia pun mendesak Pansus PKA segera bekerja melakukan evaluasi terhadap penanganan konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Presiden Prabowo juga harus segera menuntaskan ribuan konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah dengan segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BP-RAN).
“Berbagai kejahatan agraria terus berlangsung, rakyat masih harus menerima ancaman kebebasan berserikat, kriminalisasi, kekerasan POLRI-TNI dan security perusahaan, hingga kehilangan nyawa,” ucapnya.
Dewi mengingatkan Pansus PKA harus segera diaktifkan dan bekerja secara efektif untuk menginventarisasi, memverifikasi, dan merekomendasikan penyelesaian konflik yang melibatkan perusahaan sawit (seperti di Bengkulu Selatan, Sumedang, Kendal dan Banggai), BUMN (seperti PTPN di Aceh Utara dan Ijen), HTI perusahaan swasta di Dairi dan Toba Samosir) serta proyek-proyek energi yang mengakibatkan perampasan tanah masyarakat (seperti Geothermal Pangrango).
“Pansus harus mengevaluasi tuntas keterlibatan aparat dan menjamin penarikan pihak keamanan perusahaan dari wilayah konflik agraria”, ujar Dewi.
Pembentukan BP-RAN sendiri merupakan keharusan untuk memastikan penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah dan pengembangan ekonomi rakyat dalam kerangka Reforma Agraria berjalan secara sistematis dan komprehensif.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Boy Jerry Even Sembiring, menyatakan pengurus negara selama ini telah salah dalam mengurus sumber-sumber penghidupan. Kesalahan ini menyebabkan krisis multidimensi. Hilangnya kedaulatan rakyat atas wilayah kelolanya, juga akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.
“Sebab, rakyat tidak lagi mampu menjalankan pengetahuan dan praktik tradisional mereka dalam merawat alam. Kesalahan pengurus negara ini juga terus mendorong meningkatnya eskalasi konflik agraria. Alih-alih menanganinya secara struktural, justru pengurus negara dan pihak perusahaan melakukan tindakan represif. Akhirnya kekerasan, kriminalisasi adalah ancaman yang harus dihadapi oleh rakyat saat memperjuangkan hak mereka atas tanah dan lingkungan hidup yang baik,” ucap dia.
Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Eustobio Rero Renggi, menyatakan masyarakat adat menjadi salah satu kelompok paling terdampak oleh memburuknya situasi agraria. Banyak dari konflik tersebut terjadi di wilayah adat, di mana Masyarakat Adat menghadapi perampasan ruang hidup dan kriminalisasi berlapis. Tindakan represif dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat merupakan bentuk pengingkaran terhadap Pasal 18B ayat (2), Putusan MK 35, dan prinsip-prinsip HAM Internasional yang mewajibkan negara menghormati hak kolektif Masyarakat Adat.
Armayanti Sanusi, ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) menyatakan keberulangan aksi represif dan kekerasan dalam konflik agraria adalah bentuk manifestasi kekuasaan patriarki. Ketimpangan penguasaan sumber agraria dengan pendekatan kekerasan oleh negara, telah menciptakan lapisan persoalan struktural bagi rakyat terutama perempuan. Kekerasan ini kemudian dipahami sebagai hak untuk menguasai pihak lain, bukan untuk melindungi namun justru sebagai alat untuk mempertahankan dominasi kekuasaannya.
Sementara Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch (SW) menyatakan pada konteks perkebunan sawit lembaganya mencatat setidaknya terdapat 1.126 komunitas masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan sawit besar hingga tahun 2024 yang melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup dan tersebar di 22 provinsi. Masyarakat di sekitar perkebunan sawit menjadi kelompok paling rentan, mereka harus menerima beban berlapis mulai dari kehilangan lahan, kehilangan sumber penghidupan serta menanggung beban moril dan materil saat konflik terjadi.
Upaya intimidasi, kriminalisasi dan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan masyarakat memberikan tekanan psikologis yang besar.
“Untuk itu kami mendorong agar proses penyelesaian konflik dilakukan secara adil dan setara. Dengan mengedepankan dialog-dialog untuk mencari solusi bersama atas konflik yang terjadi,” ujarnya.
SHARE

Share

