Masyarakat Sipil Kecewa dengan Delegasi Pemerintah di COP30

Penulis : Aryo Bhawono

Iklim

Rabu, 26 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia kecewa dengan laku delegasi pemerintah di Konferensi Perubahan Iklim COP30-UNFCCC di Belem, Brazil, yang berlangsung 10-21 November lalu. Indonesia, sebagai negara dengan hujan tropis terbesar di dunia, justru bersikap pasif dan tidak menunjukkan peran diplomasi kuat. 

Mereka menilai delegasi Indonesia gagal mendorong komitmen ambisius untuk keluar dari energi fosil dan mengerem deforestasi. 

Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak menganggap laku delegasi Indonesia telah mengingkari amanat konstitusi. Menurutnya Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyebutkan, Indonesia harus ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Sedangkan krisis iklim merupakan salah satu krisis dunia.

“Namun di Belem, Indonesia yang seharusnya bisa menjadi pemain utama, sayangnya memilih untuk menjadi penonton,” kata Leonard pada konferensi pers Refleksi dari COP30: Langkah Lanjut untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan, Selasa (25/10/2025).

Konferensi Pers Refleksi dari COP30: Langkah Lanjut untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan, Selasa (25/10/2025). Foto: Madani Berkelanjutan

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, menyebutkan delegasi Indonesia hanya mengekor dari belakang dan tidak menggunakan kesempatan untuk bisa lebih memimpin, mendukung penghentian penggunaan energi fosil dan menghentikan deforestasi. 

“Saya tidak melihat peran signifikan diplomasi Indonesia. Indonesia hanya di sana karena negara kita menjadi pemilik hutan tropis terbesar ketiga, bukan karena kinerja atau pun diplomasinya,” kata dia. 

Seharusnya, selaku salah satu negara dengan hutan tropis, Indonesia dapat memimpin forum ini menjadi COP Forest. Namun Forest Roadmap yang diusulkan sekitar 40-an negara justru lewat begitu saja. 

Pada sisi lain ancaman deforestasi di Indonesia terus meningkat di pulau-pulau besar pemilik hutan alam luas, Sulawesi dan Sumatera. Sedangkan di Papua sendiri ancaman ini akan konkrit dalam 5 tahun ke depan karena infrastruktur deforestasi terus dibangun. 

Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul), Torry Kuswardono, mengatakan negara-negara G20 tidak menunjukkan kepemimpinannya, terlebih Indonesia. 

“Indonesia dari dulu memang aneh. Tidak pernah mengambil kepemimpinan, namun menunggu saja dari belakang,” katanya.

Ayub Paa yang mewakili Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan pernyataan-pernyataan delegasi dalam COP30 tidak sesuai kenyataan di lapangan. Minyak dan hutan yang dibahas dalam COP adalah milik masyarakat adat, namun pembahasannya sangat minim melibatkan masyarakat adat.

Dalam ajang tersebut, pemerintah Indonesia membuka paviliun yang sangat megah. Pemerintah Indonesia juga menawarkan solusi ekonomi hijau dalam paviliun. 

“Padahal di Papua dibuka dua juta hektare hutan. Saya sedih sekali. Ada rasa marah sekali,” kata Ayub. 

Direktur Sosio-Bioeconomy Center of Economic and Law Studies (Celios), Fiorentina Refani, menilai bahwa posisi Indonesia dalam COP30 justru bertolak belakang dengan urgensi krisis iklim yang menuntut untuk segera beranjak dari ketergantungan terhadap energi fosil. Penetapan Indonesia sebagai Fossil of the Day karena membawa delegasi dan pelobi fosil terbanyak menjadi tamparan dan bukti bahwa komitmen Indonesia terhadap transisi energi masih jauh dari memadai.

Pada COP30, kata Fiorentina, Indonesia justru menjadikan COP30 sebagai arena untuk berjualan karbon melalui sesi seller meet buyer setiap hari dan target transaksi hingga Rp16 triliun. Fio menilai dorongan agresif ini berpotensi jadi beban fiskal karena mengharuskan sistem monitoring, pelaporan, dan verifikasi yang mahal. Selain itu juga hingga kini belum ada perlindungan hak tenurial masyarakat adat. 

"Tanpa pengesahan RUU Masyarakat Adat yang melindungi hak teritorial mereka, carbon market hanya akan mengeksploitasi wilayah adat yang menjadi penyangga utama penyerap karbon."

Climate Change and Energy Lead WWF Ari Mochamad, mengatakan dari tahun ke tahun perkembangan pembahasan COP sangat lambat. Ini bisa terjadi salah satunya karena perubahan kebijakan pemimpin suatu negara. Oleh karenanya, menurut dia, kelompok masyarakat sipil bisa memberikan kontribusi dalam mendorong kesepakatan global. 

“Mungkin ke depan bikin konferensi masyarakat sipil selama dua minggu, suaranya didorong ke nasional,” ujarnya.

Deputi I Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Urusan Organisasi, Eustobio Rero Renggi mengatakan, COP30 menghasilkan keputusan penting yang mengakomodir hak kolektif Masyarakat Adat di dalam dokumen Program Transisi yang Adil, atau Just Transition Work Programme. Dokumen resmi tersebut menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat, termasuk penerapan Free Prior and Informed Consent atau FPIC, hak atas penentuan nasib sendiri dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang hidup mengisolasi diri secara sukarela/ sadar (voluntary isolation). 

Keputusan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, mengingat Pemerintah Indonesia telah berkomitmen pada COP30 untuk mengakui 1,4 juta hektare hutan adat. Namun, angka tersebut merupakan langkah awal yang perlu diperluas dan diperkuat, mengingat 33,6 juta hektar peta wilayah adat telah diserahkan kepada pemerintah. Apalagi ada komitmen tenure secara luas di internasional seluas 160 juta hektare. 

“Kalau Indonesia mau memimpin, pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat harus dipercepat. Yang paling penting adalah mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sehingga apa yang disampaikan pemerintah Indonesia di COP30 tidak sekedar janji politik di panggung global. Apalagi Pemerintah Indonesia terlibat dalam kesepakatan global untuk memastikan komitmen tenurial seluas 160 juta hektare,” tuturnya.

Torry mengakui, meski COP30 membawa kemajuan besar bagi Masyarakat Adat, tindak lanjutnya perlu dibuktikan dalam implementasi negara masing-masing. “Di Indonesia nanti perjuangannya masih panjang, belum lagi soal akses masyarakat terhadap pendanaan langsung masih jauh panggang dari api, mekanismenya belum ada,” ujarnya. 

COP30 Tak Hasilkan Komitmen Iklim Konkret

Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, menyayangkan bahwa COP30 tidak menghasilkan rencana konkret yang memadai untuk menjawab urgensi krisis iklim. Ia menilai target pengurangan emisi masih terlalu lemah, mekanisme pendanaan belum jelas, dan komitmen sejumlah negara besar pun tidak menunjukkan kemajuan berarti. 

Meskipun ada klaim pendanaan adaptasi akan ditingkatkan hingga tiga kali lipat, Nadia menegaskan bahwa detail implementasinya tetap belum dipaparkan dengan transparan. 

“Belum ada rencana yang konkret. siapa yang akan membayar juga belum jelas. Sehingga seharusnya ada roadmap sesudah itu,” katanya.

SHARE