Ancaman Konflik di Balik Pembukaan 600 Ribu Ha Kebun Sawit
Penulis : Aryo Bhawono
Sawit
Selasa, 25 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana pembukaan kebun sawit baru seluas 600.000 hektare, salah satunya demi B50, berisiko menimbulkan deforestasi baru hingga konflik sosial. Pemerintah mestinya berfokus pada intensifikasi kebun sawit daripada ekstensifikasi.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, menyebutkan rencana perluasan sebesar 600.00 ha ini untuk mendukung produksi berbagai turunan minyak sawit mentah (CPO) seperti oleopangan, oleokimia, hingga biodiesel, termasuk untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan mandatori B50.
Perluasan ini terdiri atas 400.000 ha perkebunan plasma milik petani rakyat dan 200.000 ha perkebunan inti yang dikelola negara atau swasta. Pengelolaan perkebunan inti kemungkinan dilakukan oleh BUMN seperti PT Agrinas Palma dan Palm Co.
"Nanti, kalau memang BUMN-nya kesulitan ya ke swasta," ujar Baginda dalam acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC2025) di Bali, Kamis lalu (13/11/2025).
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menilai strategi tersebut perlu dipikirkan ulang kembali karena berpotensi mendorong deforestasi dan memperparah konflik lahan di Perkebunan sawit yang sudah ada. Menurutnya pemerintah seolah mengambil "jalan pintas" dengan memilih opsi ekstensifikasi ketika target intensifikasi melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) tidak sepenuhnya tercapai. Padahal, pilihan mudah ini menyimpan risiko besar.
Ruang untuk ekspansi sawit sudah sangat sempit. Analisis Sawit Watch menunjukkan daya dukung lingkungan Indonesia untuk perkebunan sawit (sekitar 18,15 juta ha) sudah hampir terlampaui oleh luas lahan tertanam saat ini (sekitar 17,3 juta ha).
“Untuk memenuhi permintaan CPO yang akan melonjak drastis akibat B50 dan seterusnya, kami khawatir satu-satunya jalan pintas yang akan diambil adalah membuka hutan alam baru (deforestasi), Hal ini akan berdampak pada bencana-bencana ekologis akan lebih sering terjadi, dengan tingkat keparahan bencana tersebut akan lebih dalam,” kata dia melalui rilis pers pada Juma (21/11/2025).
Pada sisi sosial, rencana pembukaan 600 ribu hektar lahan baru dikhawatirkan akan meningkatkan konflik antara komunitas dan perusahaan sawit secara signifikan. Data terkini Sawit Watch (2024) mencatat terdapat 1.126 konflik di perkebunan sawit yang melibatkan komunitas masyarakat dengan perusahaan. Konflik ini melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup yang tersebar di 22 provinsi.
Perluasan perkebunan sawit sejalan dengan meningkatnya konflik di perkebunan sawit, masyarakat rentan di sekitar perkebunan sawit menjadi korban jika perluasan ini terjadi.
Selain isu lingkungan dan konflik, kebijakan B50 akan mempertajam dilema Food vs Fuel (Pangan vs Bahan Bakar). Implementasi B50 diperkirakan membutuhkan tambahan bahan baku Fatty Acid Methyl Ester (FAME) hingga 19 juta kiloliter. Kalau tidak berhati-hati, akan terjadi risiko kelangkaan dan kenaikan harga pangan.
“Jika terjadi perebutan CPO, pasokan untuk minyak goreng akan terancam. Ini berisiko memicu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu,” ucap Rambo.
Sawit Watch pun mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana mandatori B50. Fokus pada stabilisasi program biodiesel saat ini serta lakukan audit perizinan dan menyelesaikan konflik perkebunan sawit. Intensifikasi dan peremajaan sawit rakyat perlu menjadi prioritas karena akan membantu pemenuhan kebutuhan CPO.
“Strategi ini mungkin kurang menarik bagi target politik pemerintah, namun jauh lebih berkelanjutan dan adil bagi rakyat kecil di tingkat tapak," ujarnya.
SHARE

Share
