Siap-siap Menghadapi Ancaman Kesehatan Akibat Krisis Iklim

Penulis : Kennial Laia

Krisis Iklim

Minggu, 23 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Peningkatan suhu, gangguan ekosistem, dan frekuensi akibat krisis iklim diproyeksikan akan membuat masyarakat Indonesia semakin rentan terhadap berbagai dampak kesehatan dalam beberapa dekade mendatang, termasuk penyakit kronis dan kesehatan mental. 

Dalam sebuah kajian terbaru, Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) menemukan, dampak yang paling mengkhawatirkan meliputi penyakit akibat panas ekstrem, gangguan pernapasan, penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti  nyamuk pembawa malaria dan demam berdarah, penyakit enterik seperti diare, gangguan gizi, penyakit kardiovaskular, serta gangguan kesehatan mental.

Laporan tersebut–yang menelusuri lebih dari 400 artikel ilmiah dan kredibel–mengungkapkan perubahan iklim menimbulkan tantangan baru terhadap kesehatan populasi di dunia karena dapat menggeser dan bahkan memperluas wilayah penyebaran penyakit dari satu daerah ke daerah lainnya. 

“Terdapat potensi pergeseran atau perluasan daerah endemis malaria dan demam berdarah akibat semakin menghangatnya daerah dataran tinggi dan pegunungan, serta meningkatnya suhu di kawasan lintang tinggi beriklim subtropis, bahkan sedang,” kata peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) dan penulis utama, Lay Monica, Jumat, 21 November 2025. 

Ilustrasi gelombang panas ekstrem. Foto: iStock

“Perubahan temperatur tersebut dapat membuat daerah dingin yang dahulu tidak cocok untuk perkembangbiakan nyamuk atau vektor lain menjadi daerah yang hangat dan nyaman untuk perkembangbiakan vektor dan bibit penyakit yang menyertainya,” katanya. 

Temuan CELIOS menyoroti gangguan kesehatan akibat kenaikan suhu, kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan dapat meningkatkan risiko penyakit, meningkatkan angka kecelakaan kerja, menurunkan produktivitas masyarakat, memperburuk kualitas udara dan ketahanan pangan, serta mengancam kesehatan mental masyarakat. 

“Dampak-dampak ini berpotensi menghambat kemajuan yang telah dicapai dalam peningkatan kesehatan publik dan pengentasan kemiskinan di Indonesia,” kata Lay.  

Laporan tersebut menilai, kebijakan adaptasi berbasis bukti menjadi langkah mendesak untuk meminimalkan dampak kesehatan akibat perubahan iklim. Pemerintah perlu memperkuat sistem pemantauan penyakit, meningkatkan kesiapsiagaan tenaga kesehatan, serta berinvestasi dalam riset kesehatan berbasis iklim. Selain itu, integrasi antara kebijakan kesehatan, sosial, dan lingkungan harus menjadi bagian dari strategi adaptasi nasional yang komprehensif.

“Kajian ini menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman multidimensi terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tanpa langkah adaptasi yang cepat, konsisten, dan berbasis data, beban penyakit maupun kerugian ekonomi dan sosial akibat perubahan iklim akan terus meningkat dalam dekade mendatang,” kata Lay. 

Lay menyerukan agar kesehatan publik ditempatkan sebagai prioritas utama dalam strategi pembangunan berkelanjutan dan kebijakan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Kajian ini dilakukan pada periode 20 Agustus hingga 22 September 2025 menggunakan metode tinjauan sistematis dengan mengacu pada pedoman PRISMA. Penelusuran literatur dilakukan melalui basis data PubMed, laporan IPCC, dan publikasi The Lancet Countdown. Dari 428 artikel ilmiah yang ditelusuri, delapan literatur memenuhi kriteria untuk dianalisis lebih lanjut. 

Menurut Lay, hasil kajian menunjukkan masih terbatasnya bukti ilmiah yang secara khusus meneliti dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di Indonesia. Artinya, penelitian lanjutan yang lebih kontekstual dibutuhkan untuk mendukung perumusan kebijakan adaptasi yang efektif.

SHARE