1 Tahun Berkuasa, Prabowo Dianggap Sudah Represif-Otoriter
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Sabtu, 22 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Setahun setelah dilantik, kepemimpinan Prabowo-Gibran menunjukkan gejala otoritarianisme yang semakin menebal. Risalah yang dirilis oleh Gerakan #BersihkanIndonesia mengungkapkan bahwa pola politik-ekonomi komando yang dijalankan telah menggeser demokrasi ke titik nol. Supremasi sipil dilemahkan, sementara supremasi militer diperkuat sebagai mesin birokrasi negara.
Gerakan #BersihkanIndonesia menyebut gelagat totalitarianisme terlihat jelas sejak awal. Negara mengontrol penuh alokasi sumber daya strategis, memusatkan keputusan ekonomi pada birokrasi militeristik, dan meniadakan ruang oposisi maupun kritik. Retorika nasionalisme dijadikan tameng untuk menundukkan ekonomi, politik, dan wacana publik di bawah kendali tunggal Prabowo sebagai pemimpin.
Semangat otoriter yang diusung oleh Presiden Prabowo, yang merupakan menantu Presiden Soeharto ini, semakin nyata ketika ia mengorkestrasi jalannya negara dengan menutup sempurna ruang kritik dan berusaha membentuk ulang ingatan kolektif bangsa. Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah simbol terang upaya Prabowo untuk menormalisasi warisan otoritarianisme Orde Baru.
“Sejarah kelam pelanggaran HAM dan represi politik justru dipoles menjadi kebanggaan, seolah-olah rakyat harus kembali tunduk pada narasi tunggal kekuasaan,” kata Alfarhat Kasman, dari Jaringan Advokasi Tambang—yang tergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia, dalam sebuah rilis yang diterima pada 20 November 2025.
Di hari yang sama dengan peluncuran laporan ini, lanjut Alfarhat, DPR mengesahkan Rancangan UU KUHAP menjadi instrumen hukum baru untuk membungkam suara rakyat. Aturan ini menjadi pelengkap KUHP yang telah disahkan sebelumnya, di era Presiden Jokowi, yang semakin mengancam kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Hal tersebut, imbuh Alfarhat, memperlihatkan pola-pola represi yang dilegalkan melalui perangkat hukum. Dengan begitu, demokrasi bukan hanya dilemahkan, tetapi secara sistematis diberangus melalui seperangkat aturan yang seolah-olah legal.
Ini terlihat dari pola kriminalisasi rezim dalam setahun berkuasa. Menurut catatan koalisi, kata Alfarhat, terdapat 85 peristiwa kekerasan oleh TNI dengan 182 korban, 23 orang dikriminalisasi pasca-demonstrasi Hari Buruh, dan 5.444 orang ditangkap, 997 di antaranya dijadikan tersangka pasca demonstrasi Agustus 2025. Angka-angka ini adalah bukti bahwa represi kini merupakan ancaman nyata.
Namun, laporan ini tidak bertujuan menebarkan ketakutan. Fakta yang dibuka adalah argumentasi terbaru untuk memperkuat gerakan rakyat. Dengan memahami pola represi, publik dapat merumuskan strategi perlawanan yang lebih terorganisir. Membuka fakta adalah langkah awal untuk melawan.
“Risalah ini adalah panggilan agar rakyat tidak tunduk pada represi, melainkan terus berjuang mempertahankan ruang hidup dan demokrasi,” ujar Alfarhat.
Perangkap ekonomi para jenderal dan konco bisnis
Alharfat menuturkan, situasi ekonomi di bawah Prabowo-Gibran menunjukkan regresi. Kebijakan fiskal diarahkan bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk menopang proyek populis dan memperkuat patronase politik. Program seperti Makan Bergizi Gratis menjadi ladang bancakan bagi kroni presiden, keluarga, dan relawan politik.
Pembentukan Danantara sebagai konsolidasi aset BUMN memperlihatkan bagaimana kekuasaan ekonomi dipusatkan di tangan segelintir elite. BUMN dijadikan portofolio politik, bukan instrumen pembangunan rakyat. Risiko korupsi dan patronase politik semakin besar, karena pengelolaan aset publik dilakukan tanpa transparansi.
Menurut Alfarhat, Agrinas menjadi contoh nyata ketamakan rezim yang dibungkus dengan agenda pembangunan. Tiga BUMN teknik diubah menjadi BUMN pangan dan perkebunan, lalu dikelola oleh pensiunan jenderal dan relawan politik. Lahan negara seluas ratusan ribu hektare dialihkan untuk kepentingan elite, sementara petani dan masyarakat adat tersingkir dari ruang hidupnya.
“Kebijakan penertiban kawasan hutan melalui Satgas PKH juga memperlihatkan rantai patronase yang jelas, yakni aparat bersenjata menyita lahan, Agrinas menerima dan mengelola, lalu hasilnya menopang program populis dan industri biofuel. Seluruh pola-pola ini berputar dalam orbit ekonomi politik komando yang tengah dijalankan oleh rezim Prabowo,” ujarnya.
Selain itu, masih ada pula program populis seperti MBG, yang tidak hanya menguntungkan kroni politik, tetapi juga konglomerasi bisnis besar seperti Japfa Comfeed. Dengan keterlibatan eks pejabat intelijen sebagai komisaris, terlihat jelas saling silan kelindan antara bisnis dengan militer yang menyatu dalam proyek ekonomi negara.
Situasi ini memperlihatkan ekonomi rakyat sedang dikorbankan demi kepentingan elite. Mega-utang infrastruktur, hilirisasi mineral kritis, dan proyek strategis nasional justru menunjukkan kecenderungan rezim hari ini yang sangat ketergantungan pada ekonomi ekstraktif.
“Janji 19 juta lapangan kerja hanya tipu-tipu. Nyatanya angka PHK terus meningkat sehingga dapat dipastikan rakyat akan menanggung beban krisis akibat berbagai kehancuran ruang hidup seumur hidupnya, sementara oligark menikmati keuntungan,” kata Alfarhat.
Kamuflase rezim represif berbaju sipil
Di bidang demokrasi dan kebebasan sipil, laporan ini mencatat eskalasi kekerasan dan kriminalisasi yang mengkhawatirkan. Dalam satu tahun, ribuan orang ditangkap, ratusan dikriminalisasi, dan puluhan menjadi korban kekerasan aparat.
Kriminalisasi terhadap demonstran, petani, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan hidup menjadi pola sistematis. Pasal-pasal hukum seperti Pasal 162 UU Minerba dijadikan instrumen pembungkaman. Hak konstitusional warga untuk bersuara dan berkumpul direpresi dengan dalih menjaga stabilitas.
“Militer semakin menebal ke ruang sipil. Penugasan prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga memperlihatkan TNI dijadikan mesin birokrasi politik. Militer bukan hanya pelaksana kebijakan, tetapi pengorganisasi ekonomi dan politik dengan presiden sebagai orkestrator,” ucap Alfarhat.
Gerakan #BersihkanIndonesia melihat kamuflase sipil digunakan untuk menutupi wajah represif rezim. Kabinet diisi oleh loyalis politik, relawan, dan pensiunan jenderal. Reshuffle demi reshuffle memperkuat ambisi ekstraktif, sementara rakyat kehilangan ruang untuk mengontrol kebijakan.
Situasi ini menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekadar dilemahkan, tetapi diberangus. Rezim Prabowo-Gibran menjalankan kekuasaan tunggal dengan ideologi nasionalisme ekstrem dan militerisme.
SHARE

Share

