Masih Fokus Ekstraktif, Pengamat Ragukan Implementasi SNDC

Penulis : Kennial Laia

Iklim

Kamis, 20 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Organisasi lingkungan mempertanyakan implementasi dokumen iklim Indonesia yang tercantum dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC). Meskipun target iklim di dalamnya cukup ambisius, pengamat menilai berbagai kebijakan nasional saat ini masih fokus pada ekonomi ekstraktif, yang berpotensi meningkatkan emisi di sektor energi dan hutan. 

Melalui dokumen SNDC, yang telah diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB, pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen pada 2024. Pemerintah juga memproyeksikan capaian 8 persen pada 2029 untuk mengurangi tingkat kemiskinan menjadi 4,5-5 persen. Bahkan, skenario ambisius target penurunan emisi bersyarat (LCCP-H) mengasumsikan pertumbuhan 7,0 persen pada 2030 dan 8,3 persen pada 2035. 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) Bhima Yudhistira, meragukan implementasi dokumen tersebut. Pasalnya, di KTT perubahan iklim (COP30) di Belem, Brasil, yang tengah berlangsung, pemerintah fokus mempromosikan solusi tidak berkelanjutan. 

“Penyelenggaraan COP30 yang di Brasil, tidak lebih dari negosiasi antar negara dalam mempromosikan hutan, energi, dan sumber daya alam kepada perusahaan penghasil emisi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai solusi yang tidak berkelanjutan yang diinisiasi melalui program Prabowo dalam menekan laju emisi, termasuk skema pasar karbon,” kata Bhima, Rabu, 19 November 2025. 

Seorang nelayan menebarkan jala di Muara Siran, salah satu ekosistem gambut yang masih terjaga di Kalimantan Timur. Dok. YKAN

Dalam forum tersebut, Indonesia juga untuk pertama kalinya dinobatkan sebagai “Fossil of the Day”, sebuah penghargaan satir dari Climate Action Network (CAN) International, koalisi lebih dari 1.900 organisasi masyarakat sipil global. Sebutan tersebut disematkan akibat kehadiran 46 orang pelobi industri fosil di antara delegasi Indonesia di COP tahun ini. 

Sehubungan dengan itu, Bhima mengatakan hingga saat ini pemerintah belum berkomitmen untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik (PLTU) batu bara, termasuk 20 PLTU paling berbahaya di berbagai wilayah. Pembakaran bahan bakar fosil berkontribusi sekitar 19 persen dari total emisi.

“Dampak emisi karbon 20 PLTU paling berisiko untuk target iklim Indonesia. Selain emisi karbon, polutan PM2.5 ikut menambah risiko beban ekonomi. Belum lagi ekspansi biomassa yang melepaskan emisi, ini tidak pernah diakui sebagai masalah oleh pemerintah Indonesia dalam dokumen SNDC,” kata Bhima. 

Pemerintah juga dinilai tidak memberi perhatian serius terhadap kawasan esensial ekosistem gambut. Faktanya, 63 persen Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran gambut serta hutan (LUCF). 

Manajer Riset Pantau Gambut Syafiq Gumilang mengatakan, SNDC memuat target ambisius, termasuk restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektare dan rehabilitasi seluas 8,3 juta hektare dalam pengurangan emisi melalui rewetting dan revegetasi. SNDC pun mencantumkan aksi mitigasi seperti moratorium izin baru untuk konversi hutan primer serta target restorasi lahan gambut seluas sekitar 2 juta hektare. 

Namun, kebijakan nasional lainnya justru menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan ekosistem gambut. Menurut Syafiq, pemerintah terus menggenjot proyek pembangunan yang mengubah area esensial skala luas termasuk ekosistem gambut. Sementara itu deforestasi, kebakaran, dan alih fungsi lahan terus terjadi dan menyumbang peningkatan emisi Indonesia, katanya. 

Menurut analisis Pantau Gambut, dari 3,3 juta hektare luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, lebih dari 400 ribu hektare berada di Kesatuan Hidrologis Gambut. Di antaranya, 72 persen masuk dalam kategori rentan terbakar dengan tingkat sedang, dan 27 persen dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi. 

“Harusnya pemerintah Indonesia dengan serius melakukan moratorium permanen industri ekstraktif dan perkebunan yang telah nyata merusak ekosistem gambut,” kata Syafieq. 

Adapun sektor laut masih luput dari perhatian. Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA Erwin Suryana mengatakan: “Sektor kelautan masih minim dibahas meski diakui strategi melalui karbon biru, konservasi laut, dan ekonomi biru. SNDC adalah pelemparan tanggung jawab dari perusahaan penyumbang emisi agar diadopsi oleh negara untuk ditanggulangi dampaknya.” 

Tata kelolanya juga masih timpang, dengan penguasaan yang berfokus pada korporasi sebagai pendana proyek konservasi laut. Sementara itu nelayan dan masyarakat pesisir tidak memiliki kepastian dan sangat rentan terhadap dampak proyek, kata Erwin. 

“Ancaman bagi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sangat masif terjadi. Sebagai contoh, akibat tambang nikel di pulau kecil, sedimentasi merusak lamun dan terumbu karang, dampaknya hasil tangkap nelayan menurun dan kerusakan permanen terjadi,” ujar Erwin. 

“Ambisi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan melalui SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah Indonesia masih belum menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai sektor utama yang harus dilindungi,” katanya. 

SHARE