Industri Rokok, Puntungmu Biang Polusi Plastik!
Penulis : Aryo Bhawono
Polusi
Kamis, 20 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Brand audit sampah rokok menunjukkan puntung gulungan tembakau hisap telah berkontribusi pencemaran plastik, mikroplastik, dan kontaminan toksik di ruang publik. Brand besar seperti PT HM Sampoerna (Philip Morris), Gudang Garam, dan Djarum tercatat sebagai pencemar terbesar di Jabodetabek.
Lentera Anak bersama tujuh organisasi mitra melakukan brand audit sampah rokok di lima lokasi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Mereka melibatkan 275 relawan dari mitra dan mendapati 18.062 sampah rokok (93 persen berupa puntung) dalam waktu hanya 19 jam di area publik seluas 67.204 meter persegi, seperti trotoar, halte, stasiun, terminal sekitar sekolah dan taman.
Koordinator Kampanye Lentera Anak, Effie Herdie, menyebutkan kepadatan rata-rata adalah 4 puntung rokok per 1 meter2. Artinya, tiap 100 m2 terdapat 400 puntung dan 10 kemasan sampah rokok.
Total sampah rokok yang ditemukan adalah 16.847 puntung dan 1.215 kemasan.
Temuan sampah rokok ini adalah:
1.PT HM Sampoerna (Philip Morris), yakni 39,5% puntung dan 35,9% kemasan
2.PT Gudang Garam, yakni 18.7% puntung dan 13.5% kemasan
3.Djarum, yakni 5.7% puntung dan 10.6% kemasan
4.PT Nojorono Tobacco International, yakni 5.6% puntung dan 6.0% kemasan
5.PT Wismilak Inti Makmur Tbk, yakni 5.2% puntung dan 4.3% kemasan
6.PT British American Tobacco (BAT/Bentoel Group), yakni 4.7% puntung dan 3.8% kemasan
”Brand audit menempatkan PT HM Sampoerna (Philip Morris) sebagai pencemar terbesar(39,5 persen), disusul Gudang Garam (18,7 persen), dan Djarum (5,7 persen). Dari sini terbukti bahwa pola dominasi pencemaran lingkungan konsisten dengan pangsa pasar industri rokok nasional. Dimana semakin besar produksi dan konsumsi suatu merek, semakin besar pula kontribusi sampah yang dihasilkan,” ucap Effie pada diskusi publik bertajuk “Jejak Sampah Rokok di Tiap Langkah: Menagih Akuntabilitas Industri” pada Senin (17/11/2025).
Polusi puntung rokok adalah fenomena keseharian di ruang publik perkotaan yang terjadi sistematis dan meluas.
Temuan sampah kemasan rokok dalam Brand Audit Sampah Rokok. Foto: Lentera Anak
Brand Audit ini pun juga menunjukkan enam produsen nasional terbesar berkontribusi terhadap pencemaran plastik, mikroplastik, dan kontaminan toksik di ruang publik. Pemerintah harus bertindak tegas untuk menerapkan prinsip Polluter Pays guna memastikan industri rokok menanggung biaya pembersihan, pemulihan lingkungan, dan dampak ekologis dari produknya.
Pencemaran ini, kata dia, bukan akibat perilaku individu, tapi konsekuensi struktural dari desain produk dan absennya regulasi. Temuan WHO (2019) dan UNEP (2024) menyebutkan beban polusi tembakau adalah sistemik dan harus ditangani di tingkat produsen.
Selain itu, isu limbah rokok harus segera dimasukkan ke dalam RAN Pengelolaan Sampah serta kebijakan kesehatan masyarakat sebagai bagian dari upaya mengendalikan polusi plastik secara sistematis.
Secara global, lebih dari 4,5 triliun puntung dibuang setiap tahun (WHO, 2022), menjadikannya limbah plastik paling umum secara global dan menyumbang 30–40 persen sampah pantai. Indonesia, dengan konsumsi 322 miliar batang rokok per tahun, diduga menghasilkan lebih dari 100 ribu ton puntung setiap tahun, menjadikannya salah satu sumber utama polusi plastik dan toksik yang belum diatur.
Peneliti pada Pusat Penelitian Oceanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, menyebutkan hasil riset lembaganya selama periode Februari 2018-Desember 2019 menunjukkan sampah puntung rokok berada di urutan delapan tertinggi dengan proporsi 6.47 persen di 18 pantai di Indonesia.
“Setiap persatu meter persegi ditemukan satu puntung rokok,” ujarnya.
Temuan ini sangat mengkhawatirkan mengingat puntung rokok adalah limbah beracun dan kerusakan yang ditimbulkan sangat berbahaya. Pertama, filter rokok berbahan selulosa asetat yang sulit terurai dan berpotensi menjadi mikroplastik dalam waktu yang panjang di lingkungan.
Kedua, puntung rokok juga adalah limbah beracun yang mengandung nikotin, logam berat (Pb, Cd, Ni, As), dan senyawa toksik lainnya yang dapat mencemari organisme laut.
Ketiga, risiko kesehatan manusia: bioakumulasi dan transfer kontaminan melalui rantai makanan laut meningkatkan risiko paparan pada manusia, khususnya komunitas pesisir.
“Dari semua faktor ini puntung rokok sangat memenuhi dikategorikan sebagai sampah B3 karena berdampak pada kesehatan ekosistem maupun manusia,” ucapnya.
Sementara Zhao & You (2024) mencatat Indonesia memiliki tingkat konsumsi mikroplastik tertinggi di dunia, sebagian berasal dari rantai makanan laut yang terkontaminasi puntung rokok.
Data Ocean Conservancy (2022–2024) juga menunjukkan tren peningkatan tajam jumlah puntung yang ditemukan di pantai dunia, dari 1,1 juta menjadi 1,9 juta dalam dua tahun, akibat lemahnya regulasi dan absennya akuntabilitas industri rokok.
Para relawan Brand Audit Sampah Rokok memilah sampah temuan mereka. Foto: Lentera Anak
Belum Diakui sebagai Sampah B3, Beban Publik Kian Berat
Meski berbagai kajian ilmiah menyatakan puntung rokok mengandung bahan toksik dan logam berat, hingga kini tidak ada regulasi nasional yang mengkategorikannya sebagai limbah bahan berbahaya beracun (B3). Kementerian Lingkungan Hidup masih memasukkan puntung sebagai sampah rumah tangga, sehingga beban pembersihan sepenuhnya dipikul oleh masyarakat dan pemerintah daerah.
Senior Regional Campaign Strategist Greenpeace Southeast Asia, Fajri Fadhillah, menganggap terjadi ketidakadilan lingkungan karena biaya pembersihan puntung rokok dibebankan pada publik dan pemerintah, sementara industri memperoleh keuntungan dari penjualan produk yang menghasilkan limbah beracun.
“Setiap penanggung jawab yang usaha dan atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Industri rokok telah menciptakan polusi maka mereka harus membayar biaya penanganannya. Sehingga, seharusnya pemerintah menerapkan Polluter Pays Principle untuk memastikan industri rokok menanggung biaya pencemaran yang mereka ciptakan,” kata dia.
Menurut Fajri, skema Extended Producer Responsibility (EPR) tidak relevan untuk produk tembakau karena berisiko dimanfaatkan sebagai greenwashing. Produk tembakau bersifat adiktif, beracun, dan tidak bermanfaat, sehingga pendekatan EPR justru berisiko menjadi greenwashing dan tidak menurunkan konsumsi.
Senior Policy Advisor Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), Dr. Mary Assunta, menyebutkan di sejumlah negara perusahaan rokok melakukan kegiatan corporate social responsibility (CSR) sebagai greenwashing. Misalnya industri rokok memobilisasi anak muda untuk mengumpulkan sampah pada hari lingkungan hidup.
“Mereka bangga melakukan hal itu seolah-olah telah berkontribusi positif kepada masyarakat padahal sesungguhnya hanya menutupi dampak buruk dari rokok dan sampah puntung rokok,” tegas Mary.
Rancangan produk rokok memberikan kesan palsu seolah-olah filter rokok aman padahal risiko paru yang ditimbulkan lebih agresif. Rokok mengandung bahan beracun sehingga tidak bisa diterapkan daur ulang pada rokok.
Mary menegaskan industri tembakau tidak memiliki manfaat dari seluruh rangkaian ekosistemnya dari hulu ke hilir, mulai dari perkebunan tembakau, hingga perdagangan rokok, konsumsi dan sampah puntung rokok. Karena itu penerapan Extended Producer Responsibility(EPR) tidak bisa diterapkan pada produk tembakau. Industri rokok harus membayar atas kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Saat ini ada dua negara yang sejak Januari 2023 sudah menerapkan kewajiban pembayaran sampah lingkungan yakni Irlandia dan Spanyol.
Sementara itu Daru Setyorini, selaku Dewan Pengarah AZWI dan Direktur Eksekutif ECOTON, menegaskan berbagai inisiatif lingkungan yang dipromosikan industri rokok selama ini adalah greenwashing, karena tidak memberi solusi pada akar persoalan; desain produk rokok dan kemasan sekali buang. Filter rokok dan kemasannya menghasilkan sampah yang tercecer mengotori lingkungan dan melepas polutan dan mikroplastik yang beracun.
SHARE

Share
