Greenpeace Demo di Muara Karang: Gas Fosil Bukan Energi Transisi
Penulis : Kennial Laia
Energi
Rabu, 19 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivis Greenpeace menggelar aksi damai di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Jakarta Utara, Selasa, 18 November 2025. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap inkonsistensi kebijakan energi nasional di Indonesia, dan menyerukan penghentian ketergantungan terhadap energi fosil, seperti pengembangan gas fosil sebagai energi transisional.
Aksi tersebut berlangsung saat KTT perubahan iklim PBB (COP30) sedang berjalan di Belém, Brazil, sekaligus menjadi seruan bagi negara-negara di dunia untuk mewujudkan janji iklim global dengan target iklim yang ambisius, serta menghentikan pengembangan dan penggunaan energi fosil.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Yuyun Harmono mengatakan, aksi inisecara khusus menyoroti narasi yang menempatkan gas sebagai “energi transisional”, karena gas adalah energi fosil yang masih menghasilkan emisi karbon signifikan. Dalam laporan Greenpeace dan CELIOS, ekspansi pembangkit gas fosil dalam skenario 22 GW akan mengakibatkan lonjakan emisi CO2 hingga 49,02 juta ton per tahun, dan emisi metana hingga 43.768 ton per tahun.
“Penggunaan gas secara masif justru menciptakan inkonsistensi antara kebijakan energi nasional dengan komitmen transisi energi, dan berpotensi mengunci Indonesia pada infrastruktur fosil selama puluhan tahun ke depan serta menghambat laju pencapaian target iklim yang sesungguhnya,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Yuyun Harmono.
Yuyun menambahkan: “Indonesia juga akan terjebak dalam jebakan emisi karbon dan metana selama puluhan tahun jika proyek energi fosil seperti gas dan batu bara tetap berjalan.”
Saat ini rencana penyediaan tenaga listrik dalam RUPTL 2025-2034 Indonesia masih memuat pembangunan PLTU batu bara dan pembangkit gas fosil baru. Hal ini kontras dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan dokumen iklim Second Nationally Determined Contribution atau SNDC, yang menargetkan peningkatan porsi energi terbarukan.
Yuyun mencatat, target energi terbarukan yang ditetapkan KEN dan RUKN sebesar 22 persen pada 2030, sementara RUPTL hanya menambah sekitar 20–22 GW energi terbarukan, jauh dibawah kebutuhan jalur 1,5C yang menuntut percepatan lebih agresif.
“Untuk mendukung target 1,5°C, bauran energi terbarukan idealnya harus mencapai 55 persen bahkan sampai 82 persen pada 2030,” katanya.
Yuyun mengatakan transisi energi harus fokus di energi terbarukan seperti surya dan angin, bukan pada peralihan dari batu bara ke gas, di tengah ancaman cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi di Indonesia.
“Ini adalah satu-satunya cara yang kredibel untuk mencegah dampak krisis iklim yang lebih dahsyat dan memastikan masa depan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.600 GW, yang didominasi oleh tenaga surya. Namun, saat ini energi terbarukan baru berkontribusi kurang dari 15 persen terhadap bauran energi nasional, sementara pemerintah masih berencana mempertahankan kapasitas energi fosil lebih dari 40 persen hingga 2034.
Aksi tersebut juga menjadi protes terhadap pemerintah yang memberikan ruang terhadap 46 pelobi industri fosil dalam delegasi negara di panggung COP30, sehingga komitmen transisi energi Indonesia patut dipertanyakan.
SHARE

Share
