Cerita Masyarakat Adat Terdampak Transisi Energi di COP30

Penulis : Kennial Laia

Krisis Iklim

Sabtu, 15 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat adat di seluruh dunia terancam oleh ambisi transisi energi global. Begitulah pesan yang dibawa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) ke KTT iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil.

Para pemimpin dunia yang hadir di Belem menggaungkan janji iklim dan ambisi transisi energi untuk menghadapi krisis iklim. Namun, mereka melupakan dampaknya terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal. 

Dalam diskusi side event COP30 Centering Justice and Responsible Critical Minerals Governance di Ford Foundation Pavilion, organisasi kampanye lingkungan Satya Bumi menyerukan cerita dari pulau kecil Kabaena, Sulawesi Tenggara, yang mengalami kehancuran lingkungan akibat hilirisasi nikel. Hal serupa terjadi di Pomalaa Indsutrial Park di Kolakaa, Sulawesi Tenggara. Kedua wilayah ini merupakan bagian rantai pasok produsen otomotif global seperti Volkswagen, Ford Motors, Tesla, BMW, dan BYD. 

“Masyarakat Adat Bajau di Kabaena tak lagi bisa mencari ikan sebagai sumber penghidupannya. Air laut kini sudah berubah merah. Anak-anak sudah tak lagi berenang di sana. Laut yang dulu menjadi rumah kini berubah menjadi racun,” kata Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien dalam diskusi yang berlangsung di Belém, Brasil, Rabu, 12 November 2025. 

Kelompok O Hongana Manyawa nomaden di hutan hujan Halmahera hidup dengan cara berkelanjutan dari hutan selama ribuan tahun. Kini ruang hidup mereka terancam karena ekspansi pertambangan nikel. Dok. AMAN via Survival International

Riset Satya Bumi (2025) menunjukkan, hasil uji tes urin masyarakat Kabaena terpapar nikel sebesar lima hingga 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Angka tersebut bahkan 1,5 hingga 10 kali lebih tinggi dari komunitas yang tinggal di dekat fasilitas industri nikel aktif. 

Tak hanya nikel, urin masyarakat Kabaena pun mengandung logam berat berbahaya lain seperti kadmium, timbal, dan seng. Paparan logam ini dapat menyebabkan risiko kesehatan yang serius, termasuk penyakit ginjal, kanker paru, dan kerusakan sistem saraf. 

Dampak tambang nikel juga dialami oleh suku O'Hongana Manyawa di Halmahera, Maluku Utara. “Untuk itu perlu kita mendorong dunia internasional untuk berhenti mengambil nikel dari pulau-pulau kecil dan menghentikan operasional perusahaan yang tidak bertanggung jawab,” kata Andi. 

Dalam kesempatan yang sama, Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat Albert Kwokwo Barume mengatakan, kekosongan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat menjadi musabab persoalan ini. 

“Saya melihat kecenderungan negara-negara ini seolah menahan diri untuk tidak memberikan hak-hak Masyarakat Adat lantaran kekosongan kerangka hukum nasional terkait HAM dalam masalah ini. Ini yang seharusnya dibahas dalam COP30,” kata Barume. 

Barume yang pernah meninjau langsung proyek strategis nasional (PSN) Poco Leok pada Juli 2025 lalu juga menilai PSN dan industri ekstraktif di Indonesia dilakukan tanpa persetujuan awal, bebas dan berdasarkan informasi (FPIC) dari masyarakat adat terdampak. Kosongnya persetujuan tersebut mengakibatkan perampasan tanah dan degradasi lingkungan serta memperparah pelanggaran hak asasi manusia. 

Sementara itu Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, pemerintah seharusnya menempatkan keadilan iklim sebagai landasan utama dari kebijakan transisi energi. Menurutnya, transisi energi yang berkeadilan berarti berpindah ke energi terbarukan tanpa mengorbankan ruang hidup dan hak-hak masyarakat. 

“Transisi yang benar harus melindungi hutan dan wilayah adat, menghentikan ekspansi energi fosil, serta memastikan masyarakat terlibat dan mendapat manfaat nyata dari perubahan itu. Jangan atas nama ‘transisi bersih’ kita mengambil tanah, merusak lingkungan, atau menyingkirkan warga dari kehidupannya,” kata Iqbal. 

“Keadilan iklim bukan sekadar soal mengurangi emisi gas rumah kaca melainkan juga memastikan kelompok rentan tidak menjadi korban kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi. Partisipasi bermakna menjadi kunci dalam menciptakan keadilan iklim,” ujarnya. 

SHARE