Walhi: Paviliun Indonesia Seperti Pasar Dagang Hutan di COP30

Penulis : Kennial Laia

Iklim

Rabu, 12 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah resmi membuka Paviliun Indonesia pada hari pertama perhelatan KTT iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil, Senin, 10 November 2025. Paviliun tersebut berfungsi sebagai “soft diplomacy” etalase yang memperlihatkan solusi iklim Indonesia selama perhelatan negosiasi iklim tersebut. 

Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Nasional menilai, pembukaan paviliun di COP30 menyerupai “pasar dagang bagi hutan dan sumber daya lainnya” di Indonesia. Di antaranya forum Seller Meet Buyer, yang diharapkan mempertemukan penjual dan pembeli kredit karbon dari seluruh dunia. Di sini Indonesia menawarkan proposal utama berupa potensi kredit karbon sebesar 90 miliar ton, potensi dekarbonisasi, dan dokumen komitmen dan rencana iklim atau Second Nationally Determined Contributions (SNDC) yang diklaim dapat mencapai komitmen iklim Indonesia. 

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, perdagangan karbon merupakan solusi sesat yang selama ini ditolak masyarakat sipil di Indonesia. Pasalnya, roh utama dari perdagangan karbon adalah “penyeimbangan” atau “offset”, di mana satu korporasi atau negara-negara Annex I masih tetap boleh melepaskan emisi dari aktivitas ekstraksi dan industrialisasi, bahkan melampaui batasan emisi (cap) asalkan melakukan penyeimbangan karbon dengan cara membeli karbon di pasar karbon.

“Carbon trading dan offset ini dipandang sebagai solusi yang cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah, banyak proyek penggantian kerugian karbon yang berjalan dengan klaim yang meragukan,” kata Uli, Selasa, 11 November 2025. 

Delegasi Indonesia pada pembukaan Paviliun Indonesia di KTT iklim PBB COP30 di Belem, Brasil, Senin, 10 November 2025. Dok. Kementerian LH

“Bahkan salah satunya dengan menggantinya dengan narasi sekedar permasalahan teknis penyeimbang carbon (nett zero atau carbon neutral) di atmosfer adalah kebohongan yang berbahaya bagi masa depan planet bumi,” ujarnya. 

WALHI mencatat, konsesi-konsesi karbon di banyak tempat di Indonesia mengecualikan masyarakat adat dan komunitas lokal dari ruang hidupnya. Salah satunya, proyek karbon di Jambi yang mengusir suku Anak dalam. 

Sementara itu proyek karbon di Kalimantan Barat yang akan berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, dikhawatirkan akan menyingkirkan masyarakat adat dan berpotensi mengkriminalisasi mereka. Sebab, hutan seluas 13 ribu hektare milik masyarakat adat akan menjadi lokasi proyek. "Dalam bahan presentasi yang dimiliki perusahaan, masyarakat dilarang melakukan ritual adat, aktivitas sehari-hari, berburu-meramu, dan membakar ladang," kata Uli.

Proyek dekarbonisasi

Direktur Eksekutif Nasional WALHI Boy Jerry Even Sembiring mengatakan 90 persen upaya karbonisasi memerlukan pemanfaatan energi terbarukan, melalui pasokan listrik yang murah, peningkatan efisiensi, penerapan elektrifikasi, dan penggunaan sumber energi yang berkelanjutan. 

Sebaliknya, proyek dekarbonisasi yang dikembangkan saat ini membawa dampak ekologis yang sangat besar, termasuk proyek gas dan gas alam cair (LNG), kata Boy. Komponen terbesar gas adalah metana, gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbon dioksida yang berkontribusi terhadap pemanasan global.

“Perluasan LNG eksisting saat ini dan yang direncanakan di masa mendatang, justru akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya,” katanya. 

“Di Indonesia sendiri, industri gas dan LNG tidak lepas dari masalah pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan. Dari genosida di Aceh hingga ekosida di Sidoarjo, Jawa Timur, tren perusakan mengiringi berbagai proyek gas di Indonesia,” kata Boy.

Selain itu dokumen SNDC masih mengedepankan skema ekstraktif. Berdasarkan analisis WALHI, terdapat 26 juta hektare hutan alam yang berada di konsesi-konsesi dengan izin perkebunan sawit, pertambangan, dan pemanfaatan hutan untuk usaha kehutanan. Kebijakan hilirisasi nikel, dan swasembada pangan dan energi juga akan menjadi pendorong besar pembukaan hutan yang berada dalam konsesi tersebut, kata Boy. 

Sementara itu 15 juta hektare hutan yang menjadi bagian Proyek 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi misalnya, akan diambil dari kawasan hutan yang saat ini belum dibebani izin.

“Selama orientasi ekonomi nasional dan global masih untuk mengejar ekonomi pertumbuhan. Aksi dan adaptasi iklim Indonesia dan bahkan negara-negara di dunia lainnya akan tetap gagal menjawab target iklim, Pemerintah Indonesia harus serius menjalankan prinsip-prinsip keadilan iklim dalam menjawab krisis,” kata Boy.

 

SHARE