COP30: Misi Paviliun Indonesia Belum Wakili Masyarakat Adat Papua
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 12 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pidato pembukaan delegasi Indonesia dalam Konferensi Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, menuai sorotan tajam dari masyarakat sipil. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua memandang misi paviliun Indonesia di ajang tersebut belum mewakili kepentingan masyarakat adat dan orang muda Papua.
Seperti diketahui, mewakili Presiden RI, Ketua Delegasi Hashim Djojohadikusumo menyampaikan komitmen Indonesia memperkuat target iklim nasional dan menegaskan kesiapan bekerja sama dengan negara lain untuk mencapai aksi iklim yang “inklusif dan ambisius.” Ia mengangkat capaian pemerintah mulai dari penurunan deforestasi hingga peningkatan bauran energi terbarukan serta komitmen menuju net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Hashim dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq meresmikan Paviliun Indonesia di COP30, yang mengusung tema “Accelerating Substantial Actions of Net Zero Achievement through Indonesia High Integrity Carbon.” Di sana dijadwalkan lebih dari 50 sesi bicara melibatkan pejabat tinggi dan pimpinan korporat. Akan ada pula forum “seller meet buyer”—yang disebut pertama kali terjadi dalam sejarah Paviliun RI—untuk memfasilitasi transaksi karbon dengan potensi ekonomi sampai USD7,7 miliar per tahun dan 90 juta ton unit karbon yang diklaim berkualitas.
“Kami Walhi Papua memandang langkah pimpinan delegasi RI itu sangat mengecewakan,” kata Maikel Primus Pueki, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua, dalam keterangan tertulis, Selasa (11/11/2025).
“Fokus delegasi pada perdagangan karbon menjadikan misi Indonesia di COP30 sangat transaksional, tanpa menunjukkan komitmen kuat pada masyarakat adat dan masyarakat rentan lainnya. Ditambah lagi, pemerintah mendorong solusi iklim yang pro-korporasi, seperti co-firing batu bara, nikel dan tambang yang menambah beban ekologis,” imbuhnya,
Terkait deforestasi, lanjut Maikel, realitanya dalam setengah abad, antara 1950-2000, Indonesia kehilangan hampir 40 persen tutupan hutan—dari 162 juta hektare tersisa hanya 98 juta hektare. Deforestasi besar-besaran, terutama akibat ekspansi perkebunan sawit dan proyek pembangunan, memecah habitat dan mengancam kelangsungan spesies endemik. Data IUCN Red List mencatat 2.735 jenis flora dan fauna Indonesia kini terancam punah, lebih dari setengahnya merupakan tumbuhan.
Kerusakan semakin parah karena dari 2000 hingga 2012 saja Indonesia kehilangan lebih dari 6 juta hektare hutan primer—setara dengan hampir dua kali luas Pulau Bali—akibat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Artinya, imbuh Maikel, setiap tahun rata-rata 47.600 hektare hutan lenyap dari peta.
“Laju kehilangan ini terus berlanjut. Pada 2024, deforestasi hutan alami tercatat mencapai 261.575 hektare, meningkat 1,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan saja, emisi yang dihasilkan mencapai hampir setengah dari total emisi nasional,” ucap Maikel.
Ironisnya, di tengah situasi krisis tersebut, pemerintah masih menetapkan target deforestasi hingga 10,47 juta hektare dalam periode 2021–2030. Target ini bahkan dipecah menjadi “deforestasi terencana” seluas 5,32 juta hektare dan “deforestasi tidak terencana” sebesar 5,15 juta hektare.
Dari perspektif konteks Papua, lanjut Maikel, sekitar 1,3 juta hektare hutan juga hilang antara 2001–2019 akibat sawit dan tambang. Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke Papua telah menyebabkan hilangnya 9.835 hektare hutan primer hingga Juni 2025. Industri kelapa sawit adalah pendorong terbesar kedua menghilangkan 3.577 hektare pada 2024.
Dilihat dari banyaknya izin korporasi di Indonesia, termasuk di Pulau Papua, tampak bahwa pemerintah lebih berpihak kepada korporasi dan memberi izin industri ekstraktif tanpa memberi ruang hidup bagi masyarakat.
“Perlindungan bagi masyarakat rentan, termasuk masyarakat pesisir dan nelayan masih kurang, terlihat dari lambatnya respons pemerintah terhadap berbagai bencana yang terjadi. Pemerintah juga harus melibatkan orang muda Papua dalam kebijakan perubahan iklim,” kata Maikel.
Diplomasi hijau tak sejalan realita
Maikel melanjutkan, selama dua pekan pelaksanaan COP30, Paviliun Indonesia diklaim sebagai etalase diplomasi hijau dengan menampilkan inisiatif lintas sektor dari kehutanan, energi, industri, hingga pengelolaan limbah. Dalam sambutannya Hanif mengatakan bahwa misi Paviliun Indonesia adalah untuk menghubungkan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat global melalui pasar karbon berintegritas tinggi.
Namun, sambung Maikel, Walhi Papua memaknai pesan yang disampaikan delegasi Indonesia itu belum menunjukkan komitmen yang tegas dalam menjawab krisis iklim. Fokus besar pada perdagangan karbon dan proyek investasi tidak menyentuh akar persoalan pemanasan global yang kian memperburuk ketimpangan sosial dan ekologis di dalam negeri.
“Oleh karena itu kami Walhi Papua, menilai pidato itu lebih terdengar seperti promosi komoditas ekonomi hijau ketimbang komitmen iklim yang memberi solusi kepada rakyat,” ujar Maikel.
Menurut Maikel, skema perdagangan karbon sendiri tidak otomatis menurunkan emisi, karena pada dasarnya skema ini memindahkan tanggung jawab pengurangan emisi dari satu pihak ke pihak lain tanpa memastikan adanya penurunan nyata di tingkat global.
Mekanisme ini berisiko menjadi celah bagi korporasi besar untuk terus menghasilkan emisi, selama mereka mampu membeli kredit karbon dari wilayah lain yang lebih miskin. Alih-alih mengurangi polusi, pendekatan ini justru mempertahankan ketimpangan dan menunda perubahan untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil.
Maikel berpendapat, dengan agenda adaptasi iklim di konferensi COP30, misi paviliun Indonesia haruslah berbasis hak dan indikatornya wajib melindungi kelompok rentan, orang muda Papua dan masyarakat adat Papua yang tidak terbatas pada hutan, mencakup hak tenurial, partisipasi inklusif, dan pengetahuan tradisional.
Selain itu, upaya pendanaan iklim selayaknya tidak birokratis dan menghindari dominasi lembaga besar seperti bank multilateral, serta memberikan jalur langsung bagi komunitas. Selain itu, Walhi Papua juga ingin agar definisi transisi berkeadilan diperluas agar memasukkan hak atas ruang hidup, kedaulatan energi, dan model energi komunitas.
“Juga, memastikan kepentingan penyandang disabilitas dalam kebijakan iklim global serta mekanisme perlindungan bagi nelayan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Papua,” ujarnya.
SHARE

Share

