Pembatasan Izin Baru Smelter Nikel Jangan Jadi Kosmetik: CELIOS

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Kamis, 13 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pusat Studi Ilmu Ekonomi dan Hukum (CELIOS) menilai kebijakan pembatasan izin baru smelter nikel harus menjadi langkah awal pemerintah dalam menegaskan komitmen perlindungan lingkungan dan hak masyarakat di wilayah tambang. 

Sebelumnya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025, Sabtu, 8 November 2025. Beleid menetapkan limitasi investasi pada smelter baru di sektor industri nikel, melalui Izin Usaha Industri (IUI). 

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa keputusan moratorium izin smelter nikel baru perlu disertai dengan moratorium izin tambang nikel. Sebagai catatan, Jumlah Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang disetujui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun ini telah mencapai 292 izin, dengan total IUPK seluas 866.292 hektare.

“Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru di moratorium namun tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang — memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial,” kata Bhima, Senin, 10 November 2025. 

Ekskavator milik PT Gag Nikel mengeruk tanah dan batuan Pulau Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Foto: Auriga Nusantara/ Fajar Sandika Negara

Pembatasan izin smelter ditujukan kepada perusahaan-perusahaan pengolahan nikel baru yang memproduksi produk antara nikel, baik yang mengadopsi metode pemurnian pirometalurgi maupun hidrometalurgi. Jumlah smelter nikel yang sudah berdiri sebanyak 54 smelter berperan dalam oversupply produksi nikel olahan di pasar ekspor. Sementara itu terdapat 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan.

Bhima menilai langkah ini juga menjadi upaya koreksi terhadap laju ekspansi berlebihan smelter yang tidak sesuatu kebutuhan pasar. Menurutnya, peluang rebound harga nikel tidak saja soal jumlah produksi olahan nikel. 

Karena itu pembatasan izin smelter nikel baru sebaiknya diikuti dengan ketegasan regulasi, konsistensi kebijakan dan peta jalan dekarbonisasi yang menjunjung tinggi perlindungan lingkungan dan hak masyarakat di wilayah tambang.

Dalam sebuah laporan baru-baru ini, CELIOS dan Centre for Research on Energy and Clean Energy (CREA) mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel sebesar Rp3,64 triliun dalam 13 tahun ke depan. Adapun potensi kematian dini mencapai lebih dari 3.800 pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030.

Peneliti CELIOS Attina Rizqiana mengatakan, pembatasan terhadap izin smelter nikel harus ditindaklanjuti dengan pembatasan pada izin usaha pertambangan khusus (IUPK) perusahaan, yang notabene memiliki izin pertambangan, konsesi maupun pengolahan nikel. 

“Tidak luput, langkah tegas juga harus diambil terkait perusahaan yang masih dalam tahap rencana pembangunan fasilitas, juga terkait batas waktu pembatasan,” kata Attina.

Kontradiksi moratorium izin smelter dan investasi Danantara

Di sisi lain, Agustus lalu pemerintah Indonesia mengumumkan akan membiayai proyek pembangunan smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd milik Tiongkok melalui program Danantara. CELIOS menilai kebijakan ini kontradiktif dengan moratorium izin smelter yang baru saja diterbitkan. 

Bhima menilai, inkonsistensi kebijakan itu lahir di tengah situasi pasar yang jenuh dan harga yang terus merosot, dampak kerusakan lingkungan, dan menurunnya kesejahteraan dan kesehatan masyarakat akibat masifnya industri nikel. 

“Keputusan pemerintah di tengah kebijakan pembatasan izin smelter, menunjukkan kontradiksi serius dalam arah kebijakan industri nikel nasional. Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan: di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.

Attina mengatakan, dua kebijakan berlawanan tersebut menunjukkan, pengendalian ekspansi industri nikel di Indonesia masih didorong oleh pertimbangan ekonomi, serta mengecualikan komitmen terhadap dekarbonisasi dan perlindungan lingkungan. 

“Proyek-proyek smelter yang bergantung pada pembangkit energi fosil — termasuk PLTU on grid dan PLTU captive — berpotensi memperbesar jejak emisi sektor mineral justru di tengah klaim transisi energi hijau. Ditambah lagi dengan perluasan konsesi yang berdampak pada deforestasi dan hilangnya ruang hidup dan penghidupan masyarakat,” ujar Attina.

“Tanpa adanya pembatasan yang sejalan di tingkat perizinan, peta jalan dekarbonisasi yang tegas, dan integrasi kebijakan lingkungan yang nyata, kebijakan pembatasan IUI berisiko menjadi langkah kosmetik,” kata Attina. 

SHARE