Surat untuk Hanwa (Lagi)

Penulis : Aryo Bhawono

Deforestasi

Selasa, 11 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Koalisi pegiat lingkungan Indonesia dan Jepang kembali mengirim surat ke Hanwa Co. Ltd, meminta mereka menyetop impor pelet kayu hasil deforestasi. Mereka menyebutkan dari 2019 hingga 2025, jumlah kebun energi di Indonesia meningkat dari 13 menjadi 57. Sekitar 1,3 juta hektare hutan alam berisiko ditebang demi pelet kayu.

Kali ini surat dilayangkan koalisi pegiat lingkungan Indonesia dan Jepang, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Indonesia, Walhi Gorontalo, Forest Watch Indonesia, Trend Asia, dan Friends of The Earth (FoE) Jepang. Surat itu berisi permintaan dan kuesioner kepada Hanwa Kogyo untuk menangguhkan impor pelet kayu dari Indonesia. Surat ini dilayangkan pada 6 November 2025 lalu. 

Data menunjukkan Hutan Perkebunan Industri untuk Energi (Hutan Tanaman Energi/ HTE) telah berkembang pesat mencapai sekitar 1,3 juta hektare demi produksi pelet kayu. Ekspansi ini telah menyebabkan penebangan hutan alam dan konversi hutan alam ke perkebunan monokultur.  Alhasil risiko dampak bencana terjadi, mulai dari hilangnya keanekaragaman hayati, peningkatan risiko banjir, dan dampak negatif pada mata pencaharian serta penggunaan lahan masyarakat lokal.

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu daerah pemasok pelet kayu impor untuk ekspor kayu ke Jepang oleh Hanwa Kogyo. 

Transhipment pelet kayu PT Biomasa Jaya Abadi di perairan Pohuwato, Gorontalo. Foto: Auriga Nusantara

Kelompok masyarakat sipil di Indonesia telah menyuarakan keprihatinan yang kuat, menyatakan bahwa "hutan Indonesia bukanlah bahan bakar."

Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menyatakan hutan memiliki fungsi penting yang harus dilestarikan, yaitu melindungi kehidupan manusia dari krisis iklim. Tidak ada keberlanjutan jika praktiknya merusak hutan. 

“Hasil investigasi FWI di lapangan menyebutkan bahwa pemanfaatan kayu hutan alami dilakukan dalam skala besar. Ini juga diperkuat oleh laporan V-Legal," kata dia.

Direktur Eksekutif WALHI Gorontalo, Defri Sofyan,menyebutkan penelitian organisasinya di dua desa—daerah yang tumpang tindih dengan konsesi yang terhubung ke Hanwa Co.—menemukan bahwa perusahaan gagal mendapatkan Persetujuan Awal Tanpa Paksaan dan Berdasarkan Informasi (Free, Prior, and Informed Consent/ FPIC).

Sejak awal, masyarakat dengan tegas menolak kehadiran perusahaan, takut akan kerusakan hutan yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor, serta hilangnya akses ke hutan yang penting untuk mata pencaharian mereka. 

“Studi ini juga tidak menemukan peningkatan dalam pendapatan atau peluang kerja, bertentangan dengan klaim perusahaan, di samping hilangnya keanekaragaman hayati yang signifikan dan degradasi kualitas sungai,” ucapnya.

Juru Kampanye hutan di FoE Japan, Junichi Mishiba, menyatakan pembangkit tenaga biomassa telah dipromosikan di bawah skema FIT (Feed-in Tarif) sebagai inisiatif yang berkontribusi pada konservasi lingkungan. Namun faktanya justru benar-benar merugikan diri sendiri karena menyebabkan penebangan dan konversi hutan alam Indonesia yang kaya. 

“Pemerintah dan perusahaan Jepang harus menyadari sekali lagi bahwa sistem FIT adalah skema publik yang didanai oleh biaya tambahan pada tagihan listrik, dan mereka harus meninjau kebijakan yang sesuai.”

Para organisasi pegiat lingkungan ini meminta Hanwa untuk berhenti mengimpor pelet kayu yang terkait dengan deforestasi dan untuk mengungkapkan kebijakan pengadaan dan proses uji tuntas terkait dengan keberlanjutan dan hak asasi manusia.

Sebelumnya, surat yang sama kepada Hanwa Kogyo juga dikirimkan oleh organisasi pegiat lingkungan lainnya, yakni Global Environmental Forum (GEF), Japan Tropical Forest Action Network (Jatan), U-Tan Association for Forest and Lifestyle Consideration, Mighty Earth, dan Biomass Industrial Society Network (NPO).

SHARE