Komitmen Utusan Presiden RI Tak Sesuai Fakta Lapangan - ARUKI

Penulis : Aryo bhawono

Iklim

Sabtu, 08 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menyebutkan komitmen iklim Indonesia di KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) COP-30, Brazil. Namun kelompok masyarakat sipil yang tergabung di Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyatakan komitmen iklim tersebut kontradiktif dengan fakta di lapangan.

Pada pernyataan tersebut,  Hashim menyebutkan janji RI Prabowo Subianto patuh pada Perjanjian Paris dan akan mencapai target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat, serta narasi pertumbuhan ekonomi 8 persen. 

“Indonesia datang ke Belém dengan pesan yang jelas: kami berkomitmen memperkuat aksi iklim nasional dan siap bekerja bersama semua negara untuk menghadirkan aksi nyata yang inklusif dan ambisius,” ujar Hashim dalam pernyataannya mewakili Presiden Prabowo Subianto.

Namun ARUKI menyatakan komitmen iklim tersebut kontradiksi dengan fakta di lapangan, sarat solusi sesat iklim dan juga gagal menjawab akar permasalahan ketidakadilan iklim di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengklaim komitmen mengurangi batu bara (phase-down) sambil memperluas energi terbarukan dan bio-bahan bakar (biodiesel, bioetanol). 

Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo pada COP30 Leader Summit di Belém, Brasil,. Foto: FO Kemenhut

ARUKI menyoroti bahwa Indonesia masih menggelontorkan subsidi energi fosil hingga Rp 500 triliun per tahun. Komitmen "transisi" menjadi hampa ketika subsidi untuk industri kotor jauh melampaui pendanaan untuk aksi iklim sejati.

"Pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi di KTT CoP-30 Belem adalah sebuah pertunjukan sandiwara hijau yang menutupi agenda pro-bisnis," ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Menurutnya pemerintah mempromosikan 'waste-to-energy' dan 'nuclear power' sebagai transisi bersih. Padahal keduanya merupakan solusi sesat yang merampas ruang hidup dan melanggar HAM, seperti yang terjadi pada proyek geothermal di Poco Leok dan wilayah geothermal lain. Kebijakan bahan bakar nabati juga terbukti menjadi dalih perampasan lahan masyarakat adat, komunitas lokal dan petani untuk perkebunan monokultur skala besar, yang hanya memperparah konflik agraria dan mengancam ketahanan lingkungan dan pangan.

Pada agenda COP 30, Pemerintah Indonesia memamerkan program FOLU Net Sink 2030. Padahal, proyek ini adalah skema offset karbon berskala besar yang tidak akan menurunkan emisi secara riil. Proyek ini Ini merupakan agenda solusi iklim sesat di Indonesia.

"FOLU Net Sink adalah mekanisme offset yang ditujukan untuk menyeimbangkan emisi. Cara menyeimbangkan dengan memperdagangkan kredit karbon yang dapat dibeli oleh korporasi pencemar. Ini adalah proposal yang dirancang untuk melayani korporasi pencemar, bukan untuk perlindungan rakyat dari ancaman dan dampak krisis iklim," tegas Uli Arta Siagian, pengkampanye hutan dari WALHI.

Skema ini mengizinkan industri fosil untuk terus beroperasi dengan 'membeli' kredit dari proyek hutan, yang pada prakteknya justru memicu perampasan lahan dan penggusuran komunitas dari wilayah hidup mereka. Klaim penurunan deforestasi 75 persen juga menipu, karena di saat yang sama, pemerintah terus melanggengkan deforestasi legal melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk tambang dan perkebunan.

Pidato pemerintah yang menyinggung aksi iklim harus berpusat pada rakyat dan inklusif adalah ironi terbesar. Faktanya, aksi iklim di dalam semua tahapan dan tingkatan justeru minim partisipasi yang bermakna dan berjalan secara transparan, termasuk di dalam penyusunan Second NDC Indonesia baru-baru ini. Konsultasi Rakyat Aruki di 13 region pada 2024 menunjukkan betapa aksi-aksi iklim negara yang minim pelibatan subjek rentan memperburuk adaptasi rakyat atas dampak krisis iklim. 

Ditambah lagi, pada pidato Hashim terdapat klaim perlindungan "blue carbon" yang mengabaikan fakta bahwa nelayan dan komunitas pesisir justru semakin terpinggirkan.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menilai retorika palsu Hasyim, adalah cerminan dari kekuasaan patriarki yang telah gagal dalam membangun skema keadilan iklim di Tingkat global. Tata kelola dan kebijakan iklim di Indonesia, hanya berorientasi pada pembangunan ekstraktif yang berdampak pada eksploitasi lingkungan, pemiskinan sistemik dan situasi berlapis terhadap perempuan dan subjek rentan terdampak iklim.

“Alih-alih mengambil peran kepemimpinan global, pemerintah Indonesia telah gagal dalam memastikan integrasi Gender Action Plan dalam kebijakan iklim pada COP 30 sebagai upaya dalam mewujudkan keadilan iklim bagi perempuan dan subjek rentan. Proyek iklim hanya terfokus pada dukungan finansial dan teknologi bukan pada aksi iklim nyata. Yang hanya akan menambah beban hutang investasi iklim di Indonesia,” tambahnya.

Melalui mandat Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025, yang berasal dari suara petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, orang muda, ragam penyandang disabilitas, perempuan, lansia serta minoritas gender, ARUKI mendesak Pemerintah Indonesia di CoP 30:

Pertama, segera menghentikan solusi iklim sesat dengan menolak total seluruh skema berbasis pasar seperti offset karbon, FOLU Net Sink, NEK, dan proyek karbon biru, serta menghentikan semua proyek energi skala besar yang merusak lingkungan dan perampasan ruang hidup rakyat (termasuk co-firing biomassa, PLTN, geothermal bermasalah, dan waste-to-energy). 

Kedua, Pencabutan subsidi fosil senilai triliunan rupiah dan harus segera dialihkan mendanai transisi energi berkeadilan berbasis komunitas.

Ketiga, Pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim, serta menjalankan reforma agraria sejati.

Pada konteks global, Indonesia harus menuntut tanggung jawab agar negara maju memenuhi tanggung jawab historis mereka melalui pendanaan iklim baru (NCQG) berbasis hibah, bukan utang. Selain itu, pemerintah harus segera membangun mekanisme dana yang adil untuk loss and damage (kerugian dan kerusakan) yang transparan dan dapat diakses langsung oleh komunitas terdampak. Yang terpenting, semua ini harus dijamin oleh perlindungan ruang sipil. Negara dan para pihak yang berunding harus mengupayakan penghentian segala bentuk kriminalisasi terhadap para Pembela HAM Lingkungan (EHRDs) yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

SHARE