Indonesia Harus Buat Perubahan Fundamental untuk Pendanaan Iklim

Penulis : Kennial Laia

Krisis Iklim

Minggu, 09 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah harus melakukan perubahan fundamental agar masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya dapat merasakan manfaat dari pendanaan iklim yang berkeadilan, menurut koalisi masyarakat sipil untuk keadilan iklim (JustCOP). 

Menurut Country Director Greenpeace untuk Indonesia Leonard Simanjuntak, salah satu langkah yang dapat diambil adalah tidak lagi meloloskan industri ekstraktif dan melanggengkan deforestasi secara terencana.

Dalam KTT Pemimpin COP30 di Belém, Brasil 6-7 November 2025,  Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) António Guterres mengakui kegagalan negara-negara dalam menjaga komitmen kenaikan suhu global di bawah 1,5C. Menurutnya, dunia membutuhkan perubahan paradigma untuk membatasi besaran dan durasi lonjakan kenaikan suhu bumi dan segera menurunkannya.

Gutteres juga mendesak komitmen pendanaan iklim sebesar US$1,3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang pada 2035 seperti yang telah disepakati di COP29 Baku, Azerbaijan. Menurut Guterres, negara-negara maju harus memimpin dalam penyediaan pendanaan iklim sebesar US$ 300 miliar per tahun. 

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin COP30 yang berlangsung di Belém, Brasil 6-7 November 2025. Dok. Istimewa

Leonard pun mengingatkan dua kalimat kunci pidato Gutteres. “Ada dua hal, bahwa permasalahan iklim ini bukan sekadar tentang suhu. Ini tentang kelangsungan hidup manusia, hutan dan masa depan,” katanya. 

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, jumlah pendanaan iklim saat ini masih terlalu kecil. Menurutnya ini menandakan negara-negara maju belum serius membayar utang iklim kepada negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, praktik kolonialisme alam dan industri ekstraktif yang merusak hutan justru diberi pendanaan lebih besar.

“Bila praktik itu dilanggengkan, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan melewatkan kesempatan emas untuk tumbuh secara berkelanjutan,” kata Bhima.

Bhima menilai Indonesia layak menuntut negara maju membayar utang iklim mereka selagi mendorong sumber pendanaan domestik bertransisi ke ekonomi restoratif. Menurutnya, saat ini kebijakan APBN dan bank domestik juga belum mempertimbangkan pentingnya transisi dari ekstraktif ke ekonomi restoratif, yang menciptakan PDB hingga Rp2.208 triliun dalam 25 tahun mendatang. 

Bhima juga mendesak pemerintah Indonesia untuk aktif menyuarakan reformasi lembaga keuangan internasional selama negosiasi COP30 berlangsung. Ini termasuk Bank Dunia dan Asian Development Bank agar tak lagi mengucurkan pinjaman ke perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Dua lembaga tersebut juga diketahui memberikan pembiayaan pada proyek energi fosil di Indonesia.  

Inisiatif Tropical Forests Forever Fund (TFFF) yang dimotori Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, menurut Bhima, bisa menjadi solusi nyata yang dapat diadaptasi pemerintah Indonesia. Pendanaan senilai US$125 miliar itu mencakup skema results-based payments bagi negara hutan tropis yang menurunkan deforestasi. Sebanyak 20 persen dari dananya dialokasikan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.

Bukan hanya berdampak positif pada upaya konservasi hutan, Bhima memandang TFFF berpotensi menurunkan emisi karbon signifikan sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat adat penjaga hutan. “Kondisi tersebut hanya dapat terjadi bila terjadi pelibatan masyarakat adat secara bermakna, bukan sekadar keputusan elite pemerintah dan mitra internasional,” katanya. 

Saat ini masyarakat adat di Indonesia juga terus kehilangan hutan, ruang hidup, sumber pangan, dan identitas budayanya. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan Nadia Hadad, salah satu kontributor utamanya adalah industri perusak lingkungan di berbagai wilayah Indonesia.

Nadia mendesak pemerintah untuk memastikan pendanaan iklim yang diadvokasi secara global benar-benar mengalir sampai komunitas yang menjaga hutan dan ekosistem. ”Bukan hanya melalui proyek besar yang rawan greenwashing,” katanya.

SHARE