Pemerintah Tak Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat: Pusaka

Penulis : Kennial Laia

Masyarakat Adat

Senin, 10 November 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah dinilai belum serius memenuhi dan melindungi hak masyarakat adat atas hutannya. Di sisi lain, pemerintah terus mengubah peruntukkan hutan untuk kepentingan perusahaan besar, seperti perkebunan dan usaha kehutanan. 

Kritik tersebut menyusul pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada United for Wildlife Global dan Pertemuan Tingkat Tinggi Menteri di Rio de Janeiro, Brasil, 4 November lalu. 

“Salah satu aspek krusial yang sering terabaikan dalam penanggulangan kejahatan lingkungan adalah keterlibatan Masyarakat Adat dan masyarakat lokal. Mereka adalah penjaga sejati hutan kita,” ujar Raja Juli Antoni, di hadapan para menteri dan perwakilan dari seluruh dunia. 

“Oleh karena itu, mempercepat pengakuan ini sangatlah penting. Sama pentingnya adalah komitmen kita untuk mengakui Masyarakat Adat dan komunitas lokal,” tambahnya.

Vincent Kwipalo (kanan) dalam aksi protes masyarakat adat marga Kwipalo terhadap ekspansi perusahaan perkebunan tebu PT MNM di tanah adatnya, Merauke, Papua. Dok. Istimewa

Staf Divisi Advokasi Kebijakan dan Pembela HAM Lingkungan Hidup Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Muh. A. Mahrus menilai pernyataan tersebut jauh panggang dari api. Menurutnya, saat ini pemerintah Indonesia masih memandang tanah dan hutan sebagai objek dan alat produksi ekonomi komersial. 

“Paradigma dan otoritas negara dalam tata kelola pengaturan dan pengelolaan tanah dan hutan  belum sepenuhnya berubah dan berpihak pada pemajuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, serta pengelolaan hutan secara adil berkelanjutan,” kata Mahrus, Jumat, 7 November 2025.  

Menurut Mahrus, hal ini dapat dilihat dari berbagai aturan yang mengubah kawasan hutan lindung dan konservasi kurang dari 40 persen untuk perizinan kehutanan untuk perusahaan. Mahrus mencontohkan Papua Selatan, yang “dipaksa” merevisi RTRW Provinsi Papua Selatan guna menambah kawasan budidaya seluas 10.,2 juta hektare untuk proyek ekstraktif atas nama Proyek Strategis Nasional. Sementara itu kawasan lindung dipatok seluas 3,8 juta hektare. 

Di sisi lain pengakuan terhadap hutan masyarakat adat berjalan lambat. Hingga saat ini hanya 70.8688 hektare hutan adat yang mendapat pengakuan selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Di antaranya seluas 39.912 hektare berada di Tanah Papua. 

Di sisi lain, baru-baru ini Menteri Kehutanan menetapkan perubahan peruntukkan kawasan hutan untuk mendukung proyek ekstraktif di Papua Selatan seluas 587.750 hektare. “Ini kontradiktif dan berlangsung di wilayah adat,” kata Mahrus.

Mahrus menilai, mekanisme pengakuan bersyarat untuk pengakuan masyarakat adat secara nasional masih rumit dan mahal. Selama ini masyarakat adat terpaksa harus berjuang dengan bantuan organisasi masyarakat sipil. 

“Meskipun sudah ada peraturan daerah khusus, perda penetapan pengakuan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam, belum tentu sepenuhnya hak tersebut ditetapkan dan serta merta diakui oleh rezim kehutanan,” katanya. 

Di sisi lain, masyarakat adat dan hak ulayatnya terus menghadapi ancaman. Saat ini hutan adat suku Yei dan Malind Anim di Merauke, Papua Selatan, sedang menjadi target proyek ekstraktif pengembangan dan perluasan perkebunan tebu dan industri energi bioetanol oleh 10 perusahaan dengan total luas 637.420 hektare. 

“Masyarakat adat Yei marga Kwipalo yang mewarisi, menjaga dan membela tanah dan hutan adatnya dari ekspansi proyek ekstraktif justeru di kriminalisasi diancam pasal pidana,” kata Mahrus. 

“Sementara itu pelaku kejahatan lingkungan berkeliaran bebas menggusur dan menggunduli hutan adat. Hal mana bertolak belakang dengan orasi pejabat negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat,” kata Mahrus. 

SHARE