Bisnis Napoleon Ilegal: Dari Wakatobi, ke Bali, Lalu Hong Kong
Penulis : Yuli Z, KENDARI
SOROT
Jumat, 31 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
- Ikan napoleon (Humphead Wrasse) dari Taman Nasional Wakatobi tidak boleh dimanfaatkan, merujuk pada berbagai aturan yang ada. Namun, ikan napoleon di wilayah ini diduga masih menjadi incaran perburuan ilegal.
- Ikan napoleon ditangkap untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun luar negeri. Hong Kong dan Tiongkok menjadi negara tujuan utama perdagangan si dahi jenong. Ikan biru ini dipaksa meninggalkan habitatnya, yakni karang-karang yang sehat di perairan Wakatobi untuk memenuhi meja-meja makan restoran Hong Kong hingga Tiongkok.
- Investigasi ini mengungkap jaringan terorganisir yang mengekspor ikan spesies terlindungi dengan modus keramba tenggelam dan transfer di tengah laut. Aktivitas perdagangan ikan napoleon mengancam kelestarian ekosistem Taman Nasional Wakatobi. Ikan napoleon bukan sekadar komoditas. Ia adalah penjaga keseimbangan ekosistem terumbu karang karena berperan penting sebagai pemangsa spesies yang merusak karang.
- Ikan napoleon merupakan pemangsa puncak (apex predator) dalam ekosistem terumbu karang. Keberadaannya dalam ekosistem terumbu karang tidak dapat digantikan oleh spesies lainnya. Eksploitasi ikan napoleon dari ekosistem Taman Nasional Wakatobi tidak hanya mengancam kelestarian spesies itu, tetapi juga mengancam stabilitas dan ketahanan seluruh ekosistem terumbu karang yang menjadi sumber kehidupan bagi ribuan spesies lainnya dan masyarakat pesisir.
BETAHITA.ID - Gerakan ikan napoleon itu terhenti ketika tubuhnya menabrak benda di dalam keramba. Ia berputar arah, berenang pelan di ruang sempit berdinding jaring yang membatasi geraknya. Di dalam keramba berukuran sekitar sembilan meter persegi itu, dua ekor napoleon hidup terkurung—masing-masing seukuran telapak tangan pria dewasa. Sejak ditangkap nelayan dari perairan Wakatobi, keduanya tak lagi melihat hamparan batu karang, tempat asal mereka di laut lepas.
“Baru beberapa hari lalu ditangkap,” ujar seorang nelayan di Wanci, Kabupaten Wakatobi pada September 2023 lalu.
Keramba nelayan itu berada di tepi laut. Bentuknya seperti pondok kecil yang dilengkapi atap. Empat tiang bangunannya dikelilingi jaring. Letaknya hanya beberapa meter dari pantai. Keramba itu digunakan untuk menampung ikan napoleon hidup. Dia akan menjual ikan napoleon tangkapannya kepada seorang pengepul ikan karang di Wakatobi.
Pengepul itu moncer disebut-sebut sebagai pemasok utama ikan napoleon dari Wakatobi ke mancanegara. “Di Wanci, penampung besar napoleon hanya dia. Saya jual Rp200 ribu untuk ikan hidup ukuran satu kilogram. Kita di sini ditadah (ditampung) sama dia,” kata nelayan Wanci ini.
Jaringan perdagangan ikan napoleonnya, menurut seorang nelayan lainnya, tersebar di empat pulau besar Wakatobi. Jumlah nelayan yang terlibat dalam perdagangannya diperkirakan mencapai ratusan orang. “Saya kurang tahu berapa pastinya, tapi kemungkinan ada ratusan.” katanya.
Napoleon yang sudah dibeli dari nelayan itu kemudian disimpan dalam keramba apung yang cukup jauh dari pantai. Tapi, menurut seorang nelayan, dia juga disebut-sebut memiliki keramba tenggelam di lokasi yang sporadis dan terpisah di tengah lautan.
Dari citra satelit Google Earth yang diambil pada November 2021, tim kolaborasi mengidentifikasi ada sejumlah keramba yang berjarak sekitar 3,5 km dari pantai. Butuh waktu 20-30 menit untuk menjangkaunya dengan perahu mesin. Namun, ketika tim kolaborasi mendatangi keramba itu, yang ditemukan hanyalah ikan-ikan karang seperti kerapu dan sunu.
Kami menemukan lagi keramba di Tomia setelahnya pada Agustus 2025. Ada delapan kotak keramba masing-masing memiliki luas 16 meter persegi. Keramba tersebut memiliki bangunan utama yang memiliki atap. Keramba ini tidak terdeteksi oleh citra satelit karena lokasinya memang berpindah-pindah. Di sini pun, tim kolaborasi tak berhasil menemukan keramba yang menampung napoleon.
Namun, cerita soal bisnis napoleon ilegal ini sudah menjadi pengetahuan umum di pulau-pulau di Wakatobi. Seorang warga bahkan menjelaskan modus operandinya. Setiap sekali atau dua kali dalam sebulan, ujarnya, kapal pengangkut ikan hidup dari Bali akan memasuki perairan Wanci. Saat tiba waktunya, di sore hari menjelang malam, kapal akan mendatangi keramba apung untuk mengangkut ikan kerapu, sunu, dan lobster ke dalam palka kapal yang berisi air dengan sistem sirkulasi yang mendukung kehidupan ikan selama perjalanan. Saat menuju Bali, kapal utama ini akan diikuti oleh perahu-perahu kecil yang berisi ikan napoleon hidup. Proses transfer terjadi di laut, di lokasi yang dirasa cukup aman.
“Modusnya saat tengah malam, kapal berlayar menuju Bali. Dalam perjalanan, kapal yang mengangkut kerapu dan sunu ini diikuti oleh bodi-bodi kecil. Waktu di tengah laut, jauh, posisi saat malam, napoleon nya dipindahkan,” ujarnya.
Menurut Kepala Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kendari, Asep Rahmat Hidayat, modus ini memang lazim.
“Biasanya yang kami lihat lewat kapal pengangkut ikan hidup. Dia sisipkan di antara ikan-ikan yang konsumsi yang boleh, ikan-ikan ekonomis, seperti kerapu dan sunu. Modusnya pernah kami dapat seperti itu,” ucapnya dalam wawancara pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Karena napoleon termasuk ikan yang sensitif terhadap perubahan lingkungan, pengangkutannya menggunakan bak berisi air laut dengan aerasi. Ikan napoleon biasanya ditemukan di keramba-keramba. Lokasi keramba ini tidak jauh dari pesisir. Penampung ikan napoleon di keramba memilih perairan yang kondisinya sama seperti habitat napoleon. Karena jika bercampur air sungai, ikan napoleon bisa mati. Ikan napoleon harus diangkut dalam keadaan hidup karena lebih menguntungkan. Bagaimana mereka mengakali petugas? Menurut Asep, untuk daerah-daerah terpencil yang minim pengawasan, penyelundupan akan lebih mudah. Terkait proses transfer, biasanya dilakukan agak jauh dari keramba. Letak kerambanya biasanya berada tidak begitu jauh dari daratan.
“Kapal sudah didesain sedemikian rupa untuk menjaga lingkungan ikan ini agar sama dengan di laut. Dia pakai aerasi dan pompa yang memungkinkan terjadi sirkulasi air laut. Kapalnya tidak akan masuk di perairan yang sudah bercampur dengan air dari darat. Dia cari daerah yang sama persis dengan lingkungan napoleon,” kata Asep.
Menurut Asep, ikan napoleon sangat mudah diidentifikasi dan dibedakan dari ikan karang lainnya. Walaupun bentuknya mirip dengan ikan kakatua, sangat mudah membedakan keduanya bagi yang sudah terbiasa melihatnya.
“Ikan kakatua tidak mungkin diletakkan di keramba karena nilai ekonomisnya rendah. Rugi karena harus diberi makan. Belum pernah kami temukan ikan kakatua ada di keramba.”
Menelusuri akun X (Twitter) Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Wilayah Kerja Wakatobi (@wilkerwanci), tim kolaborasi menemukan dua kapal yang pernah mengambil ikan di wilayah itu, yaitu KM Nagama Biru 01 dan KM Pulau Mas 10, dengan tujuan utama Benoa, Bali. KM Pulau Mas 10 dikabarkan tenggelam di perairan Torong Besi, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2019. Sementara Nagama Biru 01, yang ditemukan pernah berlabuh di Wanci, pernah ditahan pada September 2016 di Kalimantan karena kedapatan membawa 180 ekor ikan napoleon hidup di geladak kapal saat hendak menuju Bali. Diduga, kapal tersebut mendapatkan ikan napoleon dari nelayan-nelayan selama perjalanan. Wakatobi adalah salah satu lokasi yang dikunjungi KM Nagama Biru 01 sebelum kapal menyusuri pesisir timur Kalimantan. Ke mana napoleon itu kemudian dijual?
Disajikan di Restoran Mahal
Bagaimana ikan napoleon dari Hong Kong diduga dikirim ke Cina? (Grafis: Finlan Aldan)
Dari Bali, ikan napoleon itu diduga kuat dibawa ke Hongkong. Secara keseluruhan, per Maret 2024, ada 14 kapal berbendera Hong Kong yang aktif keluar masuk perairan Indonesia. Banyak di antaranya mampir ke keramba-keramba nelayan untuk mengambil kerapu, ikan yang kerap digunakan untuk menyamarkan napoleon. Ketika kapal sampai di Hong Kong, pemerintah setempat menganggap kapal-kapal pengangkut ikan itu hanya kapal pemancing, meskipun mereka mengambil muatan dari negara lain. Akibatnya, kapal-kapal tersebut tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan muatannya kepada pihak bea cukai.
Yvonne Sadovy de Mitcheson, profesor Universitas Hong Kong yang mengamati perdagangan ikan napoleon mengatakan, ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki izin resmi mengekspor ikan napoleon ke Hong Kong. Menurutnya, berdasarkan informasi yang tersedia, dua lokasi yang paling terkenal adalah Natuna dan Anambas.
“Mereka (kapal pengangkut ikan) semestinya melaporkan kargo kepada Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong menggunakan kode dagang yang spesifik bagi setiap spesies, tetapi sering kali [mereka tidak melakukannya], dan tidak ada yang memantau, tidak juga ada yang menindaklanjutinya,” kata Yvonne.
Di Hong Kong, harga sajian satu kilogram ikan napoleon tidak pernah di bawah Rp1 juta. Harga ini bisa naik lebih tinggi saat masa-masa liburan, ketika para orang berduit dari Tiongkok datang berbondong-bondong ke Hong Kong.
Dalam risetnya, mengutip Khasanah (2019), peneliti Hong Kong Loby Hau menunjukkan bahwa harga ikan napoleon di Hong Kong bisa naik lebih dari lima kali lipat ketimbang harga yang ditawarkan nelayan Indonesia, khususnya untuk ikan berukuran 0,5-1 kilogram. Loby merupakan mahasiswa doktoral di bawah bimbingan Yvonne yang membuat disertasi mengenai perdagangan ikan napoleon di Hong Kong pada 2022.
Sampai 2024, penjualan ikan napoleon di Hong Kong terbukti masih aktif. Menggunakan fitur pencarian gambar lewat aplikasi Google Maps, tim kolaborasi mengidentifikasi foto-foto yang menunjukkan lokasi penjualan ikan napoleon di Hong Kong. Terdapat dua lokasi yang ditemukan, yaitu Chuen Kee dan Hung Kee. Keduanya adalah restoran seafood. Namun, asal ikan napoleon di Chuen Kee dan Hung Kee ini sangat sulit untuk dilacak. Sebab, muatan kapal pengangkut ikan Hong Kong tidak dicek oleh siapa pun.
Pasar ikan napoleon di Hong Kong ternyata tidak seberapa karena mayoritas ikan tidak dijual di sana. Mereka dipindahkan lagi ke Tiongkok, negara tempat para konsumen utama ikan napoleon tinggal. Berdasarkan catatan Loby, ada beberapa lokasi yang menjadi sentra penjualan ikan napoleon di Tiongkok, yaitu Hainan, Shenzhen, Guangzhou, Shanghai, dan Beijing. Sampai di Tiongkok, harga napoleon lagi-lagi berlipat ganda. Di hotel-hotel berbintang di Beijing, harga satu kilogram ikan napoleon bisa mencapai 600 dolar AS atau hampir 10 juta rupiah.
Untuk mencapai Tiongkok, para penyelundup perlu mencari titik transit yang dekat dengan Hong Kong dan memiliki penjagaan yang lemah. Shenzhen adalah kota yang tepat bersinggungan dengan bagian utara Hong Kong. Shenzhen, layaknya Batam di Indonesia, adalah kota yang kondang selaku jantung pasar gelap dan simpul utama sirkulasi barang-barang ilegal di Tiongkok.
Penyelundupan ke Tiongkok telah menjadi pilihan menarik bagi impor, khususnya untuk komoditas hasil laut bernilai tinggi seperti ikan napoleon. Hasil laut seperti ikan karang hidup (LRFF) (Kao, 2016), lobster (Siqi & Tan, 2020), kuda laut (Lo, 2020), dan sirip hiu (Godfrey, 2021) yang tiba di Hong Kong kemudian diangkut ke lokasi-lokasi dekat perbatasan Hong Kong–Tiongkok Daratan menuju Shenzhen, untuk selanjutnya diselundupkan ke Tiongkok Daratan menggunakan kapal cepat.
Dua rute umum dari Hong Kong menuju Shenzhen yang sering digunakan adalah dari Lau Fau Shan ke Shekou, serta dari Crooked Island ke Yantian. Perjalanan melintasi perbatasan ini dapat berlangsung sangat singkat, hanya sekitar 5 hingga 15 menit (Wu & Sadovy de Mitcheson, 2016). Setelah itu, ikan hidup diangkut ke kota-kota sekitar Shenzhen melalui jalur darat, atau dikirim ke kota-kota yang lebih jauh melalui jalur udara (Liu, 2013; Wu & Sadovy de Mitcheson, 2016).
Ikan napoleon diketahui turut diperdagangkan dan disembunyikan bersama jenis ikan karang hidup lainnya seperti kerapu. Misalnya, dalam kasus penyitaan pada tahun 2007 di Bandara Baiyun, Guangzhou, ditemukan sepuluh kotak ikan napoleon yang diimpor secara ilegal dari Malaysia, diselundupkan bersama empat puluh kotak ikan karang hidup lainnya (Huang, 2007; Wu & Sadovy de Mitcheson, 2016).
Perdagangan Napoleon dari Taman Nasional Wakatobi Berstatus Ilegal
Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 37 tahun 2013 telah menetapkan ikan napoleon menjadi jenis satwa yang dilindungi terbatas berdasarkan ukuran. Ikan napoleon dengan ukuran berat antara 100 gram-1 kilogram per ekor dan ukuran berat lebih besar dari 3 kilogram per ekor dinyatakan sebagai ukuran yang dilindungi. Ikan napoleon yang diperbolehkan ditangkap adalah yang berukuran kurang dari 100 gram dan berukuran 1 kilogram sampai dengan 3 kilogram.
Ikan napoleon dengan ukuran berat lebih kecil dari 100 gram per ekor dan ukuran berat antara 1 kilogram sampai 3 kilogram per ekor tidak termasuk dilindungi dan boleh dimanfaatkan. Namun, karena ikan napoleon termasuk dalam daftar apendiks II CITES Convention of International Trade on Endangered Species, maka ketentuan perdagangan internasionalnya harus mengikuti ketentuan CITES.
Berdasarkan ketentuan CITES, perdagangan internasional ikan napoleon hanya diperbolehkan melalui transportasi udara. Namun ketentuan ini tidak berlaku efektif karena peredaran ikan napoleon banyak diselundupkan melalui transportasi laut. Ikan napoleon umumnya diangkut bersamaan dengan pengangkutan ikan kerapu hidup. Pada beberapa kasus, ikan napoleon ditempatkan pada palka ikan hidup bagian bawah dan bagian atasnya diisi dengan ikan kerapu. Penyelundupan ikan napoleon model ini disinyalir masih terus terjadi hingga kini.
Ekspor ikan napoleon bisa dilakukan berdasarkan rekomendasi Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). KKP membolehkan ekspor ikan napoleon dengan syarat; (1) Kapal angkut berbendera asing memiliki izin pengangkutan ikan hidup hasil pembudidayaan dibuktikan dengan SIKPI-A; (2) Ikan berasal dari pembudidayaan, dibuktikan dengan SKA dinas terkait; (3) Eksportir mengantongi izin pengedar satwa dari Management Authority CITES di Indonesia yakni KLHK; (4) Proses pemindahan harus dicatat dan diawasi Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, pengawas perikanan, dinas terkait, atau pihak berwenang lainnya.
Sejak 2004, ikan napoleon masuk ke dalam Apendiks II CITES. Dalam dokumen NDF (Non-Detriment Findings) yang dirumuskan bersama oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI; saat ini BRIN) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO), disebutkan bahwa kuota ekspor ikan napoleon dari alam liar yang ideal adalah 8.907 ekor per tahun. Indonesia mematuhi kuota ini dengan cukup baik. Antara 2005-2016, hanya ada satu tahun dengan ekspor di atas angka tersebut, yaitu pada tahun 2007 dengan jumlah ekspor sebanyak 9. 343 ekor napoleon.
Akan tetapi, sejak 2017, aturan perdagangan ikan napoleon berubah total. KKP mengizinkan badan usaha untuk membuat fasilitas budidaya pembesaran (ranching) ikan napoleon. Kabupaten Anambas dan Kabupaten Natuna di Kepulauan Riau mendapatkan izin ranching.
Berbeda dengan penangkaran (breeding) yang berusaha mengembangbiakkan satwa di dalam kandang, ranching membesarkan benih satwa di dalam lingkungan terkontrol agar tingkat harapan hidup mereka lebih tinggi. Setelah satwa dijual atau dilepasliarkan, fasilitas tersebut tetap harus mencari benih dari alam liar. Fasilitas pembesaran juga berbeda dengan izin menangkap ikan langsung di laut, meskipun keduanya sama-sama mengandalkan suplai dari alam liar. Perbedaannya ada pada ukuran ikan yang ditangkap. Budidaya pembesaran hanya boleh menangkap benih ikan napoleon yang beratnya tidak mencapai 100 gram per ekor. Sementara itu, penangkapan langsung dari alam menyasar ikan dengan ukuran siap ekspor, umumnya dengan berat 1-3 kilogram per ekor.
Per 2022, KKP melarang penangkapan napoleon langsung dari alam liar. Ikan napoleon yang boleh ditangkap dari alam hanya benih yang berbobot kurang dari 100 gram per ekor. Jumlah ekspor ikan napoleon melonjak drastis pasca 2016. Angkanya hampir selalu di atas kuota yang dicantumkan pada 2004. Pada 2018, nilai ekspor bahkan mencapai angka 13.000 ekor.
Sejak 2017, ada empat provinsi baru yang mendapatkan kuota perdagangan ikan napoleon, yaitu Papua Barat, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Utara. Jumlah ikan napoleon yang boleh diperdagangkan mencapai 11.000 ekor. Semestinya Indonesia menerbitkan NDF baru khusus penangkapan benih dan pengiriman ikan dari budidaya pembesaran. Sebab, saat ini tidak ada dokumen publik yang mampu menerangkan dasar penentuan kuota ikan napoleon yang ditetapkan KKP. Pasalnya, meskipun menguntungkan nelayan karena harganya yang tinggi, tidak ada riset yang mendukung bahwa sistem budidaya pembesaran ikan napoleon di Indonesia tidak mengganggu populasinya di alam liar.
Terlebih, sistem budidaya pembesaran juga menjadi celah yang dimanfaatkan berbagai oknum untuk menyelundupkan ikan napoleon secara ilegal dari perairan terlarang seperti Taman Nasional Wakatobi. Kuota tangkap terakhir yang berlaku terbit pada 2022. Sulawesi Tenggara, lokasi keramba Karim, tidak mendapatkan kuota sama sekali.
Koordinator Balai Pengelola Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar Wilayah Kendari, Jufri mengatakan, pelaku usaha yang ingin memanfaatkan ikan napoleon wajib memiliki Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI). Ini karena ikan napoleon termasuk jenis yang masuk dalam apendiks CITES dan tergolong ikan dilindungi terbatas. Artinya, masih boleh dimanfaatkan, tapi dengan izin resmi. Dalam pemanfaatannya pun, harus ada kuota. Kuota ini ditetapkan oleh pihak berwenang dan terdiri dari dua jenis. Kuota alam, yaitu untuk penangkapan dari alam, dan kuota ranching, yaitu untuk budidaya.
Di Sulawesi Tenggara, izin yang berlaku saat ini adalah SIPJI untuk pemanfaatan dari alam. Izin pemanfaatan dari alam baru pertama kali dibuka tahun 2025. Dasarnya adalah hasil survei populasi ikan napoleon di Kabupaten Buton tahun 2014–2024. Hasil survei menunjukkan adanya peningkatan populasi dari kategori sangat kritis menjadi mulai pulih. Data ini kemudian dijadikan acuan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk menetapkan bahwa populasi ikan napoleon di Sulawesi Tenggara memang telah membaik, sehingga kuota pemanfaatan bisa dibuka kembali tahun 2025.
“Tahun 2025 ini sudah diberikan kuota pemanfaatan dari alam sebanyak 200 ekor, dengan tetap mengacu pada aturan perlindungan. Ukuran ikan yang boleh dimanfaatkan adalah di atas 1 kg dan di bawah 3 kg,” kata Jufri pada Jumat, 17 Oktober 2025.
Dengan ketentuan baru tersebut, ikan napoleon hanya boleh diperdagangkan di dalam negeri. Sedangkan untuk ekspor, tidak bisa dilakukan karena tak ada kuota ekspor untuk Sulawesi Tenggara. Adapun untuk pemanfaatan dari alam, Jumrin, warga Kota Kendari adalah satu-satunya pemilik izin saat ini.
“Di Sulawesi Tenggara belum ada (kuota) ekspor. Pada tahun-tahun sebelumnya tidak ada kuota ekspor sama sekali. Baru tahun 2025 ini dibuka kuota pemanfaatan dari alam. Izin (pemanfaatan) yang kami berikan hanya berlaku di luar kawasan Taman Nasional Wakatobi. Kalau ada yang menangkap di dalam kawasan, itu pelanggaran karena perairan Wakatobi masuk dalam kawasan Taman Nasional dan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jadi tidak boleh ada penangkapan di sana, meskipun pelaku memiliki surat izin.”
Tim kolaborasi berusaha menjangkau Taman Nasional Wakatobi, namun hingga berita ini diturunkan, kami belum mendapatkan respon.
Nilai Ekologis vs. Tren Konsumsi
Ikan Napoleon di Pengepul Wakatobi (Foto: Yuli)
Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) bukan sekadar komoditas, ia adalah penjaga keseimbangan ekosistem terumbu karang. Karena pertumbuhan dan reproduksinya yang lambat ikan napoleon rentan terhadap penangkapan berlebihan. Ikan napoleon bersifat hermafrodit protogink. Artinya, ikan ini dapat berubah jenis kelamin dari betina menjadi jantan saat dewasa. Dengan ukuran tubuh yang dapat mencapai dua meter dan berat 190 kilogram, ikan napoleon berperan sebagai:
- Pengendali populasi spesies perusak karang seperti bulu babi, bintang laut mahkota, dan siput drupella.
- Pemangsa generalis. Makanannya mencakup berbagai invertebrata berlebih yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
- Pencegah ledakan populasi hama. Dengan memakan bulu babi dan bintang laut pemangsa karang, ikan napoleon mencegah terjadinya ledakan populasi yang dapat menghancurkan terumbu karang.
- Pendorong regenerasi karang. Dengan mengendalikan populasi pemangsa karang, ikan napoleon memberikan kesempatan bagi karang untuk tumbuh dan beregenerasi.
- Penjaga keanekaragaman hayati. Keberadaan ikan napoleon membantu mempertahankan keseimbangan antara berbagai spesies dalam ekosistem terumbu karang.
- Indikator kesehatan ekosistem.
- Memiliki peran dalam struktur komunitas ikan karang. Sebagai salah satu ikan karang terbesar, keberadaannya mempengaruhi perilaku dan distribusi spesies ikan lainnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan pentingnya peran ekologis ikan napoleon. Riset di Indonesia menemukan bahwa terumbu karang dengan populasi ikan napoleon yang layak menunjukkan ketahanan yang lebih baik terhadap tekanan penangkapan ikan. Pengamatan jangka panjang membuktikan penurunan populasi ikan napoleon diikuti dengan meningkatnya kerusakan terumbu karang.
Keberadaan ikan napoleon dalam ekosistem terumbu karang tidak dapat digantikan oleh spesies lainnya. Hilangnya populasi ikan napoleon dari ekosistem seperti Taman Nasional Wakatobi tidak hanya mengancam kelestarian spesies itu sendiri, tetapi juga mengancam stabilitas dan ketahanan seluruh ekosistem terumbu karang yang menjadi sumber kehidupan bagi ribuan spesies lainnya dan masyarakat pesisir.
Inilah yang membuat praktik perdagangan ilegal yang dilakukan oleh jaringan seperti Karim tidak hanya sebagai kejahatan ekonomi, tetapi juga sebagai kejahatan ekologis yang konsekuensinya akan dirasakan oleh generasi mendatang.
Celah Hukum dan Regulasi yang Longgar
Praktik penyelundupan ikan napoleon yang terstruktur bukannya tidak diatur oleh hukum. Kegiatan ini terjadi karena tumpang tindihnya kewenangan, lemahnya penegakan hukum, dan sistem pengawasan yang tidak mampu menjangkau wilayah perairan yang begitu luas.
Akar masalahnya bermula dari kebijakan yang tidak konsisten dalam melindungi ikan napoleon. Di satu sisi, Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013 telah menetapkannya sebagai spesies yang dilindungi terbatas, dengan aturan rumit yang membedakan perlindungan berdasarkan ukuran berat ikan. Di sisi lain, sejak 2017, KKP justru membuka keran lebar melalui sistem budidaya pembesaran (ranching) yang meningkatkan kuota ekspor secara signifikan tanpa didukung kajian ilmiah yang memadai.
Celah regulasi ini diperparah oleh kelemahan struktural dalam sistem penegakan hukum. Modus operandi yang canggih—mulai dari keramba tenggelam di lokasi terpencil, transfer ikan di tengah laut yang gelap, hingga penyelundupan dengan menyamarkannya di antara ikan kerapu dan sunu yang legal—memperlihatkan bagaimana pelaku telah mempelajari dengan baik titik-titik lemah pengawasan. Koordinasi yang lemah antara KKP, Kementerian LHK, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum menciptakan ruang kosong yang dengan mudah dieksploitasi. Sepanjang permintaan terhadap ikan napoleon masih tinggi, dengan celah regulasi seperti ini maka perdagangan ilegal akan terus terjadi.
Kombinasi dari kompleksitas regulasi, lemahnya pengawasan, dan besarnya insentif ekonomi telah menciptakan lingkungan yang sempurna bagi bisnis gelap seperti yang dijalankan Karim untuk terus berkembang. Harta karun ilegal di bawah laut Wakatobi terus "berlayar", mengikis kekayaan alam Indonesia untuk memuaskan selera mewah segelintir orang, sementara terumbu karang kehilangan salah satu penjaga terpentingnya. Ikan napoleon ilegal dari seluruh Indonesia dengan Wakatobi sebagai salah satu titiknya pada akhirnya bermuara di restoran-restoran mewah Hong Kong dan Tiongkok, didorong oleh sistem yang tidak memiliki ketertelusuran yang memadai.
“Kita sampaikan kepada kapal-kapal yang mengirimkan ikan hidup, jangan mengangkut ikan napoleon. Walaupun barangnya ada di keramba, kalau tidak ada yang beli dan tidak ada yang angkut, tidak akan laku. Kalau tidak ada yang beli, nelayan juga malas, karena dia harus jaga, harus kasih makan. Itu butuh biaya dan waktu. Banyak kapal ikan hidup ini yang sudah paham. Saya tidak bilang seratus persen tidak akan membawa, karena itu ada keuntungan ekonomisnya, jadi orang pasti berusaha cari-cari jalan,” kata Asep, Kepala PSDKP Kendari.
Liputan ini didukung dan didanai oleh Earth Journalism Network (EJN) melalui program Story Grants to Report on Progress Toward the 30x30 Marine Conservation Target dan Garda Animalia lewat program Fellowship Bela Satwa Project 2023.
SHARE

Share

