Hak Masyarakat Harus Dihormati dalam Mekanisme Remedi FSC
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Jumat, 31 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia mendorong penguatan masyarakat dalam kerangka remedi sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC). Lembaga sertifikasi berkelanjutan untuk produk kehutanan tersebut juga didorong untuk membuat mekanisme yang menjamin hak-hak masyarakat selama proses pemulihan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Mekanisme remedi FSC diperkenalkan pada 2022, yang ditujukan untuk memulihkan hak masyarakat yang dirugikan oleh aktivitas perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia, selama periode 1994-2020. Perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikasi keberlanjutan FSC harus melakukan remedi ini, yang diharapkan memberikan dampak positif pada perbaikan kondisi sosial dan lingkungan.
Koalisi Jaga Hutan Alam, yang terdiri dari 27 organisasi penggiat konservasi dan advokasi masyarakat mencatat, masyarakat terdampak tidak siap dan tidak mendapatkan pemahaman yang cukup selama mengikuti proses remedi oleh sejumlah perusahaan di Indonesia.
“Dari pengalaman dan pengamatan kami di tingkat tapak, proses remedi FSC masih memiliki titik lemah, yang berpotensi menurunkan kualitas proses remedi itu sendiri. Di antaranya, kami melihat masyarakat terdampak memiliki pemahaman yang tidak memadai terkait remedi dan apa dampaknya bagi situasi mereka,” kata Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPESM) Riau Woro Supartinah kepada Betahita, Kamis, 30 Oktober 2025.
 
                    Woro mengatakan, proses Free Prior Informed Consent (FPIC) dilakukan secara minim serta tidak melibatkan cukup masyarakat terdampak.
“Masyarakat juga tidak dimintai persetujuan di awal, misal terkait Independent Assessor, atau bahkan untuk proses remedi itu sendiri. Selain itu, akses dan sumber daya seperti tenaga ahli tidak tersedia untuk masyarakat yang membutuhkan. Ini dapat mengkooptasi proses sehingga tidak berpihak pada pemulihan yang berkeadilan,” ujarnya.
“Idealnya, sebagai bagian dari standar sertifikasi berskala global, remedi FSC seharusnya memberi daya ubah yang lebih kuat, agar tidak menjadi media yang melanggengkan praktik buruk perusahaan HTI, seperti kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal, yang masih kerap terjadi,” kata Woro.
Koordinator Rawang M. Hairul Sobri mengatakan, FSC harus memasukkan FPIC dalam mekanisme remedi yang dilakukan perusahaan. Hal ini penting untuk menjamin masyarakat dapat membuat keputusan menolak atau menerima proses remedi tanpa intimidasi.
“Kami meyakini bahwa salah satu kunci keberhasilan remedi adalah pelaksanaan FPIC yang melibatkan seluruh masyarakat terdampak. Artinya, FPIC krusial dan mandatori. Kegagalan, pengabaian dan/atau manipulasi FPIC hanya akan menunda untuk terjadinya konflik dan/atau kerusakan sosial yang lebih besar di kemudian hari,” kata Hairul.
Koordinator Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) Sumatra Rudiansyah mengatakan, saat ini FSC tidak memiliki mekanisme untuk memastikan dan menjamin akses masyarakat mendapatkan pendampingan, penguatan dan akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mengikuti proses remedi secara adil dan transparan.
Mosi 28, yang baru-baru ini diperkenalkan di General Assembly FSC yang sedang berlangsung di Panama hingga akhir Oktober 2025, diharapkan dapat menyediakan mekanisme pemberian akses dan informasi terkait remedi di tingkat tapak. Menurut Rudiansyah, Koalisi Jaga Hutan Alam menyambut baik kerangka kerja remedi FSC, dan diharapkan dapat memastikan kerangka pengamanan dan hak masyarakat ditegakkan.
"Dengan ini, masyarakat bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan yang jelas terhadap kerangka kerja remedi, peningkatan kapasitas, serta pengetahuan dan kepastian terkait proses remedi yang mereka ikuti. Itu yang kita harapkan," katanya.
“Ini salah satu momentum untuk mengembalikan dan melakukan pemulihan hak masyarakat serta akses mereka yang hilang ke tanah dan sumber penghidupan mereka di hutan,” kata Rudiansyah. “Untuk itu, kami berpandangan, bahwa adanya mekanisme standar dan akses ke sumber daya untuk penguatan masyarakat, dan implementasi FPIC dalam pelaksanaan remedi adalah sebuah kewajiban bagi terlaksananya penghormatan hak-hak masyarakat.”
“Koalisi Jaga Hutan mendukung Mosi 28, karena ini merupakan ruang yang dapat mendorong peningkatan dan perbaikan dari kekurangan proses remedi sejauh ini. Jika dilaksanakan, kami percaya ini dapat meningkatkan kualitas proses dan pelaksanaan remedi FSC,” ujar Woro.
SHARE

 
                 
	
	
	 Share
Share

