Ruang Hidup Masyarakat Adat: Titik Buta NDC Indonesia
Penulis : Kennial Laia
Iklim
Kamis, 30 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Draf dokumen iklim Indonesia, yang tertuang dalam Second Nationally Determined Contributions (SNDC), dinilai absen dalam menjamin pengakuan terhadap hak dan ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Hal ini penting sebagai fondasi dalam membangun ketahanan iklim.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat (HuMA) Agung Wibowo, salah satu kekosongan paling mendasar dalam draf SNDC terletak pada belum diakuinya ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai bagian dari strategi adaptasi nasional.
Agung mengatakan, dokumen tersebut hanya menyinggung kearifan lokal sebagai praktik baik, tanpa menempatkan pengakuan wilayah adat dalam tata ruang nasional sebagai fondasi ketahanan iklim sekaligus langkah percepatan terhadap pengakuan hak-hak masyarakat adat.
“Eskalasi konflik tenurial masyarakat rentan akan semakin laten dan timbul fragmentasi yurisdiksi antar lembaga penyelenggara negara. Tentu ini dapat memperburuk konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Ongkos sengketa, bencana lingkungan, proses litigasi panjang, bahkan kekerasan lokal ini yang tak pernah dihitung dalam proses penyusunan NDC,” kata Agung, Selasa, 28 Oktober 2025.
Agung mengatakan, ruang hidup seperti hutan, sungai, pesisir, dan lahan pangan lokal yang dikelola melalui pengetahuan tradisional dan sistem adat-budaya setempat merupakan nadi kehidupan komunitas. Pengetahuan dan cara hidup tersebut juga merupakan sistem adaptasi paling efektif yang telah teruji lintas generasi, katanya.
Namun, program pemerintah saat ini belum menyentuh akar persoalan wilayah adat. HuMA mencatat, sistem pemetaan seperti SIDIK masih berbasis data biofisik dan administratif semata, belum mencakup ruang dan tata kelola masyarakat adat dan komunitas lokal yang justru menjadi basis sosial-ekologis ketahanan iklim di Indonesia.
Adapun yang disebut sebagai joint adaptation and mitigation at the village level dalam SNDC masih sebatas daftar program seperti ProKlim. Berdasarkan Laporan Kinerja KLHK pada 2024, ProKlim baru menjangkau sekitar 5.004 kelompok masyarakat dari target 20.000. Sebagian besar kegiatan program ini masih berfokus dan terbatas pada edukasi dasar dan penanaman pohon, serta belum membangun sistem adaptasi jangka panjang di tingkat tapak.
Menurut Cindy Julianty, Koordinator Eksekutif WGII, koalisi masyarakat sipil yang mendorong pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal, tantangan terbesar SNDC terletak pada strategi, indikator, dan kelembagaan yang operasional.
“Integrasi adaptasi dan mitigasi dalam SNDC belum sampai pada level kebijakan dan sistem. Padahal, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah inisiatif mitigasi justru dapat menimbulkan kerentanan baru. Karena itu, penting memastikan agar adaptasi dan mitigasi menjadi timbal balik positif yang saling memperkuat. Ini harus melalui kebijakan yang juga mengedepankan HAM dan melindungi ruang hidup serta penghidupan masyarakat,” kata Cindy.
Dalam dokumen SNDC tersebut, yang telah diserahkan kepada UNFCCC menjelang KTT iklim PBB COP30 di Brasil, pemerintah turut mencantumkan kebutuhan pembiayaan iklim sebesar USD 472,6 miliar hingga 2035. Namun HuMa mencatat, perhitungan tersebut masih berfokus pada sektor mitigasi yakni energi, kehutanan (FOLU), pertanian dan limbah.
Knowledge Management WGII Lasti Fardilla Noor mengatakan, dokumen tersebut tidak mencakup estimasi rincian pembiayaan khusus untuk adaptasi. “Angka yang besar ini tidak otomatis menunjukkan kesiapan adaptasi nasional. Selama adaptasi masih diukur dari daftar kegiatan programatik, bukan dari sejauh mana kerentanan berhasil dikurangi, maka efektivitasnya sulit dinilai,” tegas Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management WGII.
Data Biennial Transparency Report 2024 menunjukkan, Indonesia menerima USD 1,78 miliar untuk program mitigasi, adaptasi, dan lintas sektor pada periode 2021–2022. Hampir setengahnya, atau USD 732,12 juta, dialokasikan untuk adaptasi, USD 82,83 juta untuk mitigasi, dan USD 9,89 juta untuk lintas sektor yang dikategorikan "directly aligned" dengan pencapaian target NDC. Sementara itu, 54 persen atau USD 929,71 juta ditujukan untuk adaptasi dan USD 27,76 juta untuk mitigasi masuk kategori “may lead to contribution” terhadap target NDC.
"Padahal, bila arah kebijakan dan pendanaan iklim difokuskan pada wilayah-wilayah yang paling rentan dan membutuhkan intervensi menyeluruh, alokasi anggaran yang besar ini dapat dimanfaatkan secara lebih strategis untuk memperkuat ketangguhan masyarakat dan ekosistem di tingkat tapak," kata Lasti.
SHARE

Share

