Dua Tahun Lapak Sepi Peminat, Pasar Karbon Butuh Reformasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Krisis Iklim

Selasa, 28 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Dua tahun usai peluncuran Bursa Karbon Indonesia, pasar karbon di tanah air justru stagnan dan belum menunjukkan geliat yang diharapkan. Nilai transaksi dan partisipasi pasar masih tertinggal jauh dibandingkan dengan skema serupa di tingkat global, dan kontribusinya terhadap penurunan emisi nasional masih sangat kecil. Padahal, bursa karbon diharapkan menjadi pilar utama strategi iklim Indonesia.

Berdasarkan hasil riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), total transaksi di bursa karbon sejak beroperasi tercatat hanya Rp78 miliar atau USD4,9 juta, dengan hanya 8 proyek yang terdaftar dan 132 peserta aktif. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi pasar karbon secara global yang justru sedang berkembang pesat, bahkan transaksi karbon—termasuk pajak dan sistem perdagangan emisi--telah membukukan pendapatan lebih dari USD100 miliar pada 2024 mengacu data Bank Dunia.

Sebagai perbandingan, sistem perdagangan karbon Uni Eropa mencakup lebih dari 11 ribu peserta dan menyasar 40% dari total emisi kawasan tersebut, dengan harga karbon rata-rata mencapai USD70/ton CO₂. Sementara di Jepang, pasar karbon yang baru dimulai pada 2024 sudah memiliki 700 peserta dan diproyeksikan akan terus meningkat menyusul rencana mandatori pada 2026.

“Kinerja pasar karbon Indonesia belum memenuhi harapan, terutama dibandingkan dengan awal yang menjanjikan pada 2023. Di tiga bulan terakhir tahun tersebut, pasar mencatat nilai transaksi sebesar Rp31 miliar dan volume perdagangan sebesar 494.254 ton CO2 ekuivalen. Namun, setelah momentum awal tersebut, pasar menunjukkan tren yang terus turun,” kata Mutya Yustika, Research & Engagement Lead, Indonesia Energy Transition IEEFA, dalam sebuah catatan singkat yang dipublikasikan pada 15 Oktober 2025.

Aerial pegunungan Arfak, hutan hujan dataran tinggi habitat Cendrawasih yang kini dijadikan ekowisata minat khusus pengamatan burung yang dikelola mandiri oleh masyarakat. Foto: Yudi Nofiandi/Auriga Nusantara

Mutya mengatakan, redupnya IDX Carbon ditandai dengan penurunan harga karbon rata-rata dari Rp62.533 per ton pada 2023 menjadi Rp55.985 per ton pada Desember 2024. Nilai perdagangannya juga turun menjadi Rp20 miliar, dengan volume perdagangan berkurang menjadi 413.764 ton CO2 ekuivalen dan hanya tiga proyek yang terdaftar.

Stagnasi yang terjadi pada pasar karbon dalam negeri disebabkan oleh penerapan strategi penetapan harga karbon hibrida, yang memadukan sistem cap-and-trade dengan pajak karbon. Dalam skema ini, perusahaan yang emisinya melebihi batas harus membeli kredit karbon atau membayar pajak jika kredit tidak tersedia.

Namun, batas emisi yang cukup tinggi membuat hanya sedikit PLTU yang melebihi ambang, berujung pada minimnya permintaan kredit karbon maupun pungutan pajak karbon. Selain itu, prosedur perdagangan dan sertifikasi yang tumpang tindih antar-kementerian menambah ketidakpastian untuk investor dan pelaku usaha.

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam tata kelola karbon, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden No. 110 Tahun 2025 yang bertujuan untuk memperjelas kerangka regulasi dan mendorong kolaborasi lintas kementerian.

Hanya saja, imbuh Mutya, efektivitas peraturan ini sangat bergantung pada implementasi yang tepat waktu, pemantauan berkelanjutan, dan evaluasi yang ketat agar dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk membangun pasar karbon yang kredibel. Di samping itu, reformasi strategis tetap menjadi kunci keberhasilan.

Mutya berpendapat, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam perdagangan karbon dan menjadi pemimpin aksi iklim global. Dengan potensi hutan tropis, mangrove dan gambut, Indonesia memiliki ekosistem yang mampu menyerap lebih dari 113 miliar ton CO2, dan dapat memposisikan diri menjadi pemain kunci dalam pasar karbon global. Selain itu, potensi di sektor energi terbarukan juga signifikan, dan diperkirakan dapat mereduksi emisi tahunan hingga 27,5 miliar ton CO2 ekuivalen.

Mutya berpendapat, untuk mewujudkan potensi tersebut, Indonesia perlu mereformasi pasar karbon. Indonesia perlu melakukan pembenahan, mulai dari menetapkan batas emisi yang lebih ketat dan progresif dengan didukung oleh tarif pajak karbon yang tegas, menyusun regulasi yang transparan dan berstandar internasional agar menarik bagi investor global.

Selain itu, perlu pula melakukan reformasi pasar energi termasuk memberi akses lebih luas bagi sektor swasta untuk mengembangkan energi bersih, memperkuat sistem sertifikasi dan pemantauan agar setiap kredit karbon yang diperdagangkan memiliki kredibilitas tinggi, serta membangun kelembagaan kuat baik di IDX Carbon maupun lembaga pengawas karbon nasional.

“Dengan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan visi yang jelas untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih awal, urgensi untuk membangun pasar karbon yang kredibel dan fungsional menjadi semakin mendesak. Dengan menyeimbangkan prioritas domestik dan melakukan integrasi internasional secara bertahap, Indonesia dapat membuka pendanaan iklim, meningkatkan ketahanan energi, dan memposisikan diri sebagai pemimpin regional dalam tata kelola karbon,” ujar Mutya.

SHARE