Draf NDC Indonesia Meleset Dari Target Perjanjian Paris

Penulis : Kennial Laia

Krisis Iklim

Selasa, 21 Oktober 2025

Editor : Aryo Bhawono

BETAHITA.ID -  Target dan aksi iklim paling baru pemerintah Indonesia dinilai belum selaras dengan Perjanjian Paris. Kritik ini muncul di tengah suhu panas dan anomal cuaca yang tengah melanda berbagai wilayah Indonesia karena pemanasan global. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai terdapat sejumlah kemajuan dokumen iklim Nationally Determined Contributions (NDC) 3.0. Di antaranya peningkatan target emisi dibandingkan Enhanced NDC, perubahan baseline ke tingkat referensi emisi tahun 2019, dan perluasan cakupan gas rumah kaca hidrofluorokarbon, serta mencakup subsektor kelautan dan minyak dan gas. Draf tersebut, yang dikomunikasikan National Focal Point tahun lalu, juga mencakup target nol sampah pada 2040 dan menambahkan prinsip transisi berkeadilan. 

Namun, target penurunan emisi dalam NDC 3.0 belum ambisius. Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, target bersyarat dan tidak bersyarat dalam draf dokumen tersebut belum konsisten dengan pembatasan kenaikan temperatur di bawah 2°C sesuai tujuan Perjanjian Paris. Target tidak bersyarat masih memungkinkan peningkatan emisi hingga pertengahan abad ini, sementara target bersyarat baru menunjukkan upaya penurunan signifikan setelah 2035. 

“Meskipun pemerintah telah memperkirakan puncak emisi bergeser ke 2035, upaya untuk percepatan penurunan emisi dengan mencapai puncak emisi pada 2030 sebenarnya masih dapat dilakukan dengan melakukan pensiun pembangkit batu bara, dan mempercepat pembangunan energi terbarukan, salah satunya mengimplementasikan pembangunan PLTS 100 GW dalam waktu lima tahun, dan penggantian 3,4 GW Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tersebar yang dioperasikan PT. PLN,” kata Fabby.

Indonesia semakin sering mengalami bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Foto udara menunjukkan situasi usai banjir bandang melanda Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada September 2020. Dok Teguh Pratama/Tim Reaksi Cepat BNPB

Menurut Fabby, penundaan aksi iklim ke periode setelah 2035 akan menimbulkan risiko teknis dan biaya ekonomi yang mahal, tidak efisien, serta menghambat ambisi pemerintahan untuk mencapai target Indonesia Emas 2045. 

Berdasarkan analisis Climate Action Tracker (CAT), di mana IESR menjadi salah satu anggotanya, Indonesia perlu menetapkan penurunan gas rumah kaca yang sejalan dengan jalur 1,5°C diperkirakan sebesar 850 juta ton setara karbon dioksida pada 2030 dan turun menjadi 720 juta ton setara karbon dioksida pada 2035, di luar kontribusi penyerapan karbon dari sektor lahan dan kehutanan (FOLU).

Untuk mencapai target penurunan emisi yang lebih ambisius, IESR merekomendasikan beberapa langkah strategis. Salah satunya,  realisasi rencana pensiun dini PLTU batu bara tua, tidak efisien, dan beremisi tinggi. Terdapat potensi sebesar 9 GW PLTU yang dapat dipensiunkan secara bertahap hingga 2030–2035, dan substitusi PLTD 3,5 GW yang dioperasikan PLN di daerah 3T, disertai pembangunan energi terbarukan hingga 100 GW sebagai penggantinya.

Pemerintah juga harus melakukan reformasi subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong penggunaan energi yang lebih efisien dan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.

Sementara itu, percepatan efisiensi dan konservasi energi harus menjadi prioritas melalui standardisasi, sertifikasi, serta kemudahan akses pendanaan. Hal ini diharapkan dapat mendorong sektor industri dan bangunan mampu menerapkan berbagai metode penghematan energi yang menekan emisi sekaligus menurunkan biaya jangka panjang.

Fabby mendesak pemerintah untuk menyampaikan NDC 3.0 kepada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)  sebelum KTT iklim COP30 di Brasil November mendatang. 

SHARE