Lebih Dari Separuh Populasi Spesies Burung di Dunia Menurun 

Penulis : Kennial Laia

Spesies

Senin, 13 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Lebih dari separuh populasi spesies burung di seluruh dunia mengalami penurunan tajam akibat deforestasi, menurut penilaian global terbaru dari Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). 

Peringatan terbaru mengenai kesehatan populasi burung itu diserukan para ilmuwan pada Jumat, 10 Oktober 2025, menjelang pertemuan puncak keanekaragaman hayati di Uni Emirat Arab. Dalam asesmen tersebut, para ilmuwan menyatakan 61 persen spesies yang dinilai kini mengalami penurunan jumlah burung. 

Mulai dari burung Schlegel di Madagaskar hingga burung bulbul utara yang suka mengayun-ayun di Amerika Tengah, banyak spesies burung telah kehilangan habitatnya karena perluasan pertanian dan pembangunan manusia. Sembilan tahun yang lalu, 44 persen spesies burung yang dinilai mengalami penurunan populasi, menurut daftar merah spesies terancam punah IUCN.

“Penurunan populasi tiga dari lima spesies burung di dunia menunjukkan betapa parahnya krisis keanekaragaman hayati dan betapa mendesaknya pemerintah mengambil tindakan yang telah menjadi komitmen mereka berdasarkan berbagai konvensi dan perjanjian,” kata Ian Burfield, koordinator sains global BirdLife, yang membantu mengawasi penilaian tersebut. 

Asitas Schlegel (Philepitta schlegeli), spesies burung dari Madagaskar yang mengalami penurunan populasi akibat deforestasi. Dok. Birdlife

Jumat ini ratusan aktivis konservasi berkumpul di Abu Dhabi untuk menghadiri kongres IUCN, yang akan membahas nasib banyak spesies satwa liar paling berisiko di dunia. Dalam menghadapi hambatan global dalam aksi lingkungan hidup, para ilmuwan mendesak pemerintah untuk memenuhi janji mereka untuk melindungi alam dengan lebih baik.

Burung berperan penting dalam ekosistem, membantu penyerbukan bunga, menyebarkan benih, dan mengendalikan hama. Burung enggang – yang banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia – dapat menyebarkan hingga 12.700 benih berukuran besar setiap hari dalam satu kilometer persegi.

Kepala prioritas konservasi di Botanic Gardens Conservation International, Malin Rivers mengatakan, keberlanjutan spesies burung bergantung pada kelestarian alam, begitu pun sebaliknya. “Nasib burung dan pohon saling terkait: pohon bergantung pada burung untuk regenerasi dan burung bergantung pada pohon untuk bertahan hidup,” katanya. 

Sementara itu direktur jenderal ICUN Grethel Aguilar mengatakan, banyak contoh di masa lalu yang menunjukkan upaya konservasi terhadap spesies membuahkan hasil. Penyu hijau, dahulu diklasifikasikan sebagai terancam punah, kini dipandang sebagai spesies yang paling tidak memprihatinkan karena upaya konservasi. Sejak 1970an populasi penyu meningkat sebesar 28 persen berkat perlindungan yang lebih besar pada lokasi sarang di Pulau Ascension, Brasil, Meksiko, dan Hawaii.

“Pemulihan penyu hijau mengingatkan kita bahwa konservasi berhasil,” katanya. 

Roderic Mast, salah satu ketua kelompok spesialis penyu laut komisi kelangsungan hidup spesies IUCN, mengatakan pemulihan penyu hijau adalah “contoh kuat dari apa yang dapat dicapai oleh konservasi global yang terkoordinasi selama beberapa dekade untuk menstabilkan dan bahkan memulihkan populasi spesies laut berumur panjang”.

Namun ada kabar buruk bagi anjing laut Arktik, yang menurut para ilmuwan semakin dekat dengan kepunahan akibat pemanasan global. Hilangnya es laut telah menyebabkan jumlah populasi anjing laut berjanggut dan anjing laut harpa menurun tajam. Menipisnya es laut membuat anjing laut Artik semakin sulit menemukan tempat untuk beristirahat dan berkembang biak. Mereka adalah spesies mangsa penting bagi beruang kutub, yang dikhawatirkan para peneliti juga akan terkena dampak hilangnya spesies tersebut.

Kit Kovacs, pemimpin program Svalbard di Institut Kutub Norwegia, mengatakan: “Setiap tahun di Svalbard, menyusutnya es laut menunjukkan betapa terancamnya anjing laut Arktik, sehingga semakin sulit bagi mereka untuk berkembang biak, beristirahat, dan mencari makan.

“Penderitaan mereka adalah sebuah pengingat bahwa perubahan iklim bukanlah masalah yang akan segera terjadi – hal ini telah terjadi selama beberapa dekade dan mempunyai dampak di sini dan saat ini,” katanya. 

SHARE