Potensi Masyarakat Adat Hilang Tanpa Perlindungan Undang-undang
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Adat
Jumat, 10 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Setiap kelompok masyarakat adat diperkirakan memiliki potensi ekonomi hingga Rp 1 miliar. Sayangnya, tanpa perlindungan perundangan, potensi ekonomi ini tergilas oleh iming-iming cuan industri ekstraktif yang justru tak berkelanjutan.
Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Annas Raden Syarif, menyebutkan masyarakat adat memiliki peran strategis dalam menopang ekonomi. Pemetaan potensi ekonomi masyarakat adat oleh AMAN menunjukkan terdapat lebih dari 1.000 komunitas masyarakat adat yang menguasai wilayah seluas 33,6 juta hektar. Satu wilayah adat saja bisa memiliki potensi ekonomi hingga Rp1 miliar.
“Pengakuan hak atas tanah adat dengan basis peta yang jelas akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan pembangunan berkelanjutan,” kata dia dalam “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” di Jakarta pada Rabu lalu (8/10/2025).
Data ini, kata dia, menunjukkan masyarakat adat adalah pondasi bangsa ini. Mereka menjaga kebhinekaan sekaligus sumber daya alam dan potensi ekonomi daerah.

Direktur Ekonomi Center for Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengingatkan kebijakan ekonomi harus berpihak dan tidak menambah ketidakpastian bagi masyarakat adat, sedangkan sistem ekonomi ekstraktif saat ini tidak berkelanjutan. Ekonomi masyarakat adat justru lebih inklusif dan kolektif, seperti melalui pariwisata berbasis komunitas.
Menurutnya pada sistem kapitalis, tenaga manusia disebut labour. Sedangkan dalam sistem adat, mereka bagian dari komunitas. Nilai komunitas ini bisa menjadi dasar baru dalam menghitung ekonomi berbasis masyarakat adat
“Kita harus beralih ke model ekonomi yang inklusif, baik bagi manusia maupun alam,” kata dia.
Perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Abdon Nababan, menyebutkan selama ini masyarakat adat membangun sistem ekonomi yang berakar pada nilai-nilai budaya dan keberlanjutan lingkungan. Namun potensi ini mengalami kerentanan karena masyarakat adat tidak memiliki payung hukum pengakuan yang kuat.
Apalagi, kata dia, sistem yang dimiliki masyarakat adat kerap berbenturan dengan model ekonomi ekstraktif yang merusak.
“Kami ingin RUU Masyarakat Adat disahkan agar masyarakat adat menjadi subjek pembangunan, bukan objeknya. Mereka tidak menolak investasi, selama tidak merusak tanah adat dan mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ucap Abdon.
Guru Besar Universitas Padjadjaran, Zuzy Anna, menyoroti pentingnya penguatan institusi adat sebagai modal ekonomi. Masyarakat adat memiliki nilai dan produktivitas yang luar biasa, meskipun belum tercatat dalam sensus ekonomi. Jika diukur dengan standar UMR, penghasilan mereka bahkan bisa lebih tinggi. Kekuatan utama masyarakat adat terletak pada institusi sosial mereka.
Ironisnya perjalanan RUU Masyarakat Adat sendiri masih berjalan terseok-seok di parlemen. Anggota DPR RI Fraksi PKS, Riyono, menjelaskan bahwa naskah akademik sudah diajukan ke DPR. Namun karena pembahasan bersama pemerintah belum dilakukan maka pembahasannya tidak bisa dilakukan secara berjkelanjutan dari masa persidangan sebelumnya (carry over).
“RUU ini tidak bisa di-carry over. Kita harus memperjuangkan pembahasan lintas partai dan lintas pendekatan. PKS berkomitmen mengawal agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan,” ujarnya.
SHARE