Solidaritas Merauke Kecam Pelepasan Kawasan Hutan Untuk PSN
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Rabu, 08 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Gerakan masyarakat sipil Solidaritas Merauke berunjuk rasa di Jakarta untuk menolak pelepasan hampir setengah juta hektare kawasan hutan di Papua Selatan. Peruntukannya untuk mendukung proyek strategis nasional (PSN) lumbung pangan dan energi di provinsi tersebut.
Protes tersebut digelar di depan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Selasa, 7 Oktober 2025, menyusul kebijakan kementerian tersebut bersama Kementerian Kehutanan terkait perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan kawasan hutan atau areal peruntukan lain seluas 486.939 hektare.
Di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025, perubahan ini terjadi di tiga kabupaten, yakni Boven Digoel seluas 143.142 hektare; Mappi seluas 9.731 hektare; dan Merauke seluas 333.966 hektare.
“Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, savana, rawa-rawa dan perairan di tanah Papua itu dikuasai dan dimiliki masyarakat adat, berdasarkan ketentuan norma adat dan tradisi, yang diwariskan para leluhur,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian, yang tergabung dalam Solidaritas Merauke.

Sejumlah undang-undang dan peraturan daerah menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah, hak untuk membuat keputusan dan kesepakatan penyerahan dan pemanfaatan tanah. Namun, Uli mengatakan, masyarakat adat Merauke selaku pemilik hak ulayat, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait PSN Merauke.
“Masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei, di Kabupaten Merauke, Suku Wambon Kenemopte dan Awyu, di Kabupaten Boven Digoel, yang berdiam dan memiliki wilayah adat pada kawasan hutan, tidak dilibatkan dan tidak mengetahui keputusan tersebut,” tegasnya.
Masyarakat adat pun telah berulang kali menyatakan penolakan terhadap rencana PSN Merauke, dengan unjuk rasa di Jakarta maupun di Tanah Papua. “Namun pemerintah mengabaikan semua tuntutan dan suara masyarakat adat itu,” tegasnya.
“Negara mengabaikan kewajibannya untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana (undang-undang yang berlaku),” katanya.
Juru Bicara Solidaritas Merauke Franky Samperante mengkritisi percepatan proses hingga penerbitan berbagai kebijakan untuk memuluskan perubahan status kawasan hutan tersebut, yang melibatkan pemerintahan pusat, kementerian, serta DPRD Papua Selatan, termasuk perubahan rencana tata ruang wilayah Papua Selatan.
“Semua itu dilakukan secara kilat, senyap dan tidak ada partisipasi bermakna yang melibatkan masyarakat adat, serta tidak mendapatkan persetujuan yang bebas oleh masyarakat adat sebagaimana Prinsip Free Prior Informed Consent,” kata Franky.
Peta klaster PSN overlay SK Kementerian Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025. Dok. Pusaka Bentala Rakyat
Menurut Franky, perubahan tersebut dilakukan secara sewenang-wenang mengakomodasi kepentingan proyek perluasan modal dan lahan usaha dengan mengatasnamakan PSN Pengembangan Kawasan Pangan dan Energi. Di antaranya proyek cetak sawah baru; pengembangan perkebunan dan industri minyak kelapa sawit; perkebunan dan tebu dan industri bioetanol; peternakan hewan; industri amunisi propelan; dermaga dan bandara, termasuk landasan pacu pesawat tempur; dan sarana dan prasarana pendukung.
Solidaritas Merauke menuntut pemerintah untuk menghentikan total kebijakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, revisi RTRW Provinsi Papua Selatan dan izin usaha untuk Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan proyek strategis nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat dan lingkungan hidup.
SHARE