Bagaimana Pasal UU Cipta Kerja Mengistimewakan PSN

Penulis : MA Mahruz, YAYASAN PUSAKA BENTALA RAKYAT

OPINI

Senin, 29 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

KOALISI Masyarakat Sipil Gerakan Rakyat Menggugat Proyek Strategis Nasional (GERAM PSN) mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK), terutama mengenai frasa kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (Tempo, 2025). Sejak semula UU CK dibentuk untuk memerankan hukum sebagai instrumen pembangunan negara. Peran hukum dalam pembangunan telah berlangsung lama dan membantu pembentukan rezim keruk SDA tanpa henti di Indonesia.

Kala itu, pertanyaan apakah hukum dapat mendukung pembangunan, dan hukum dengan karakter khas seperti apa yang dapat menjadi fondasi kuat pertumbuhan ekonomi, merupakan pertanyaan yang harus dijawab oleh pembentuk kebijakan pembangunan. Sejak lama hukum memang dipandang sebagai sebuah institusi sosial yang diperlukan untuk berkembangnya aktivitas ekonomi. Ide ini salah satunya disampaikan Weber yang berargumen bahwa hukum formal yang rasional (rational law) dibutuhkan untuk mendukung tumbuhnya aktivitas ekonomi pasar. Menguatkan pandangan Weber, Ekonom Douglas North beragumen bahwa pasar membutuhkan institusi penopang. Kegagalan ide pasar sebagai aktor pertumbuhan ekonomi bukan karena idenya,  tetapi institusi penopangnya kurang berfungsi (Tor Krever, 2018).

Di Indonesia pasca 1965, pertanyaan serupa mengemuka di rezim Orde Baru. Arsitektur hukum Orde Baru menjawab dengan mengidentifikasi masalah dan memberikan solusi praktis sektor hukum mana yang paling cepat mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai agenda pembangunan rezim Soeharto. Hasilnya reformasi hukum bersejarah era Orba mewujud dalam banyak rupa regulasi yang mempermudah investasi asing masuk dan mengakses sumberdaya alam seperti pertambangan dan kehutanan (Soetandyo Wignjosoebroto, 2014).

Itu muncul kembali menaiki kuda Troya - metode Omnibus - pada 2020, berupa UU Cipta Kerja yang diinisiasi Presiden Jokowi bersama pendukungnya dalam Satgas dan Panja RUU di DPR RI, yang terdiri dari elit bisnis dan politik (Tempo, 2020). Di dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dinyatakan, “Infrastruktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum memberikan keamanan, kepastian, dan prediksi atas investasi para investor.”

Alat berat membongkar hutan di Kampung Salam Epe, Distrik Ngguti, Merauke, untuk PSN Merauke, September 2025. Dok. Istimewa

Apa yang dikutip tersebut merupakan manifestasi dari paradigma hukum dan pembangunan second moment atau disebut neoliberal law and development (David Trubek, 2006), di mana proyek pembaruan hukum untuk pembangunan (legal reform) memerlukan kerangka regulasi seperti kemudahan berusaha dan investasi, keamanan modal (capital confidences), dan regulasi yang memudahkan akses sumberdaya.

Kunci epistemologi rezim hukum pembangunan neoliberal ini dapat dipahami dari perannya memberi kemudahan pada entitas swasta untuk terlibat dalam ekonomi, bukan semata apakah berkeadilan hukum atau tidak. Kepastian hukum di sini menjadi kunci. Kepastian hukum dimaknai sebagai cara negara menyediakan aturan yang dapat dikalkulasi oleh entitas swasta dan membuat mereka terjamin dalam mendapatkan segala kebutuhan untuk berbisnis dan memaksimalkan keuntungan. Dalam mode ini negara sangat aktif berperan (tidak disingkirkan sama sekali) dalam membentuk aturan yang berintensi kemudahan perizinan, insentif pajak, dan akses bahan materil. Negara seperti bekerja menyiapkan infrastruktur jalan tanpa hambatan bagi entitas swasta untuk menarik minat investasi. Dalam diskursus neoliberalisasi menyeluruh pada aspek sosial, politik dan ekonomi, neoliberalisasi hukum juga termasuk aspek penting di dalamnya, yang menopang institusionalisasi pembangunan kapitalis (Honor Brabazon, 2017).

Melalui pandangan itu, UU CK memerankan hukum sebagai pemandu pembangunan dengan mendorong entitas swasta untuk terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi. Dalam BAB II tentang Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup Pasal 3 yang mengatur tentang tujuan, terutama huruf (d) berbunyi “penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional…” menunjukkan maksud kebijakan ini dibentuk. Tetapi tidak berhenti di situ, UU CK harus dibaca dalam keterhubungan dengan realitas ekonomi politik rezim yang hendak menjadikan kelimpahan sumberdaya alam sebagai bahan baku (raw materil) untuk mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industri keruk SDA. Dalam keterangan ahlinya di Mahkamah Konstitusi (2025), Herlambang P Wiratraman menyebutnya sebagai fenomena Embedded Oligarch Politics, kondisi di mana politik oligarkis yang memadukan diri (terorganisir) dengan kuasa modal yang menumpangi agenda pembaruan hukum untuk membentuk institusionalisasi rezim ekstraktif SDA.

Membaca frasa kemudahan dan percepatan PSN dalam konteks hukum sebagaimana dijelaskan di atas menjadi masuk akal tidak sebagai tujuan, tetapi sebagai cara mencipta institusionalisasi perekonomian berbasis ekstraksi SDA yang melekat pada agenda politik-ekonomi oligark Indonesia. Mari melihat operasinya di bawah ini.

Tabel I. Fitur Pasal-pasal Pengistimewa PSN yang Di-Judicial Review oleh Pemohon

UU Cipta Kerja

UU Asal

Keterangan

Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja

Pasal Asli UU Cipta Kerja

Mengenai tujuan mengatur penyesuaian berbagai aspek pengaturan untuk kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 diubah Pasal 123 Angka 2 UU Cipta Kerja

Mengubah UU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Mengatur mengenai tanah untuk Kepentingan Umum yang salah satunya digunakan untuk kawasan industri, KEK, Kawasan pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah;

Pasal 173 Ayat (1), (2) dan ayat (4) UU Cipta Kerja di atur spesifik di BAB X Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional

Pasal asli UU CK menyangkut UU Pengadaan Tanah

Konstruksinya mengatur mengenai pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh Badan Usaha – BADAN USAHA di sini menurut UU Pengadaan Tanah merujuk ke Badan Usaha Milik Swasta.

Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan yang diubah melalui Pasal 31 Angka 1 UU Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan

Konstruksi norma perubahannya mencantumkan frasa “Proyek Strategis Nasional” yang disetarakan dengan norma “Kepentingan Umum”.

Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diubah dalam Pasal 124 Angka 1 UU Cipta Kerja

UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Konstruksi norma perubahannya mencantumkan frasa “Proyek Strategis Nasional” yang disetarakan dengan norma “Kepentingan Umum”.

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah melalui Pasal 36 Angka 3 UU Cipta Kerja

UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Konstruksi norma perubahannya terkait ketentuan Pasal 19 yakni menghapus persetujuan DPR apabila pemerintah akan melakukan perubahan peruntukan kawasan hutan

Pasal 17 A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah dalam Pasal 18 Angka 15 UU Cipta Kerja:

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Konstruksinya mengatur bahwa pemerintah dapat memberikan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut pada kebijakan nasional yang bersifat strategis karena posisinya belum terakomodasi dalam alokasi ruang atau rencana zonasi atau bahkan rencanan tata ruang dan/atau RZ belum ditetapkan oleh pemerintah Pusat atau pemerintah daerah.

Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 17 angka 18 UU Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Konstruksinya mengatur apabila terdapat perubahan kebijakan strategis nasional yang tidak tecantum dalam Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi maka tetap dapat dilaksanakan dengan syarat mendapatkan rekomendasi kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang dari Pemerintah Pusat.

Mengoperasikan Fitur Kemudahan untuk Perusahaan

Judicial Review yang diajukan GERAM PSN atas frasa kemudahan dan percepatan PSN  Pasal 3 UU CK dan perubahan regulasi pendukungnya semakin masuk akal. Tetapi bagaimana memahami bekerjanya pasal-pasal a quo menjadi penting, salah satunya melalui kerangka pendekatan hukum yang menopang pembangunan. Dalam pembacaan kritis atas logika hukum ramah pasar dapat dijelaskan melalui dua hal. Pertama, pasal-pasal a quo diperankan sebagai pengakses kemudahan sumberdaya. Kedua, pasal-pasal a quo diperankan sebagai pengoperasi ketersumbatan (hambatan institusional). Dua peran ini saling terkait dan berfungsi secara simultan membantu operasi PSN.

Pertama, fitur kemudahan akses sumberdaya diperlukan untuk menyediakan keberlimpahan bahan untuk produksi. Hukum negara melalui UU CK harus menyediakan ini untuk menarik minat investasi. Beberapa pasal yang diubah oleh UU CK diperankan untuk memudahkan akses sumberdaya alam seperti perubahan Pasal 19 UU Kehutanan, perluasan makna pengadaan tanah, dan perubahan regulasi tata ruang.

Pada perubahan regulasi pengadaan tanah untuk PSN Pasal 173 ayat 2 UU CK yang merupakan Pasal baru, kemudahan diwujudkan dengan mereformasi makna Hak Menguasai Negara Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi dasar filosofis pengelolaan tanah melalui pelibatan entitas bisnis swasta dalam pengadaan tanah untuk PSN. Apa yang dapat dipahami dari reformasi ini adalah penyesuaian penguasaan negara atas tanah terhadap kepentingan korporasi.

Tetapi fitur-fitur kemudahan mengakses sumberdaya sebagai bahan baku tersebut tidak bisa beroperasi tanpa ketentuan operasional yang menjalankannya. Imperatif Pasal 3 UU CK - kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional - membutuhkan penerjemahan teknis dalam wujud aturan yang berfungsi jalan pintas.

Peran kedua diperlukan sebagai wujud institusional bypass (jalan pintas) untuk lepas dari hambatan birokrasi. Perubahan beberapa Pasal di UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memiliki imperative institusional bypass (jalan pintas) seperti dalam ketentuan “rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari pemerintah pusat” merupakah salah satu wujud kemudahan dan percepatan PSN. Contoh fitur institusional bypass tertera dalam Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 17 angka 18 UU Cipta Kerja. Seperti ini formulasi normanya: “Apabila terdapat perubahan kebijakan strategis nasional yang tidak tecantum dalam Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi maka tetap dapat dilaksanakan dengan syarat mendapatkan rekomendasi kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang dari Pemerintah Pusat.”

Hukum terkadang dipahami dari sudut pandang artefak yang berarti bertugas memberi informasi atau pesan untuk apa suatu aturan dibentuk (Tamanaha, 2022). Dalam konteks ini, keartefakan UU CK yakni jelas dipesan untuk kemudahan berusaha. Menyangkut itu dapat diperiksa dalam BAB II Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha Pasal 6 UU CK, yang secara sistematis terkait dengan Pasal 3 UU CK, yang menjelaskan bahwa peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha memiliki empat strategi. Salah satunya: Penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Bagaimana strategi “menyederhanakan” itu dapat dijelaskan Pasal 13 UU CK yang mengatur macam-macam cara, salah satunya adalah kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang – salah satu bentuk jalan pintas.

Apa yang menjadi hambatan birokrasi dalam keruangan biasanya merujuk pada RTRW Pemda yang belum memiliki pembagian rinci tata ruang atau disebut rencana detail tata ruang (RDTR). Dalam mengatasi situasi ini, akses ruang dapat diperoleh pelaku usaha dengan mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) kepada pemerintah pusat (Pasal 14 dan 15 UU CK). Perubahan normatif lain sektor penataan ruang yang memerankan jalan pintas dengan memanfaatkan peran pemerintah pusat misalnya dapat menetapkan Perda RTRW daerah Prov/Kab/Kota apabila dalam waktu paling lama 4 (empat) bulan belum ditetapkan oleh kepala daerah (Pasal 23 ayat 9 dan Pasal 26 ayat 10).

Dua contoh dalam regulasi tata ruang di atas yang diperbarui oleh UU CK dapat dibaca sebagai wujud jalan pintas institusional untuk mengatasi ketersumbatan birokrasi (the bottlenecking) dengan memanfaatkan pembesaran/sentralisasi kekuasaan eksekutif.

Fitur ini sebenarnya tidak hanya akan menguntungkan program pembangunan atas nama negara yang ditetapkan sebagai PSN, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk memudahkan bisnis ekstraktif lainnya, misalnya mempercepat perolehan tanah untuk industri ekstraktif. Di lapangan, perusahaan bisa memanfaatkan fitur ini untuk menyelesaikan masalah keruangan dan hambatan birokrasi dalam institusi pemerintah. Selain sebagai jalan pintas, hal lain yang dapat dipahami dari kondisi ini adalah adanya pembesaran kekuasaan eksekutif yang bisa didayagunakan untuk memudahkan suatu proyek pembangunan serta menjadi solusi kepastian bagi badan usaha/korporasi.

Sebagai regulasi yang membuka ketersumbatan ruang, UU Cipta Kerja menjadi istimewa karena Pasal 16-nya secara terang menyatakan perubahan beberapa regulasi terkait keruangan yang bermaksud memudahkan perizinan berusaha dan memberi kepastian bagi pelaku usaha seperti UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kelautan dan UU Informasi Geospasial. Ini pula yang semakin menguatkan argument Santos, Blomley, dan Mahmud bahwa ada keterhubungan hukum dan ruang yang membantu bekerjanya sistem yang dominatif serta memuluskan eksploitasi atas manusia dan alam (Agung Wardhana, 2024).

Menariknya norma spesifik Proyek Strategis Nasional dalam UU Cipta Kerja hanya tercantum dalam BAB X mengenai Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional pada Pasal 173 yang hanya terdiri lima (5) ayat dan fokus pada mekanisme penyediaan tanah.

Pengistimewaan PSN nyatanya tak didesain dengan norma yang rigid dalam UU Cipta Kerja. Seolah menguatkan tesis autocratic legalism yang tersemat dalam prosesnya, ditambah banyak memanfaatkan pendelegasian pengaturan ke dalam PP untuk mengatur perihal hidup matinya orang banyak. Ini sekaligus menunjukkan bentuk pembesaran kekuasaan eksekutif yang berarti pembentukan hukumnya tidak demokratis karena otoritasnya dimonopoli oleh eksekutif semata. Namun hemat penulis, pengistimewaan PSN jangan semata dipandang sebagai ketidakjelasan atau ketidakpastian norma, namun melampaui itu, harus dipahami sebagai bagian dari proyek menyeluruh dari penggunaan hukum untuk kekuasaan politik dan ekonomi yang eksploitatif.

SHARE