Kekerasan kepada Masyarakat Adat Sihaporas akibat Pemerintah Abai
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 24 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tindak kekerasan yang dilakukan para pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) kepada masyarakat adat di Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menuai kecaman dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Auriga Nusantara menganggap konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dan PT TPL ini terjadi akibat permasalahan yang diciptakan pemerintah.
Berdasarkan pemantauan lapangan yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), penyerangan tersebut mengakibatkan sebanyak 33 orang mengalami luka parah. Mereka terdiri dari 18 perempuan dan 15 laki-laki, termasuk di antaranya mahasiswi IPB yang sedang melakukan penelitian dan seorang anak penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, sejumlah rumah masyarakat adat juga turut dirusak, 10 sepeda motor dan satu mobil dibakar, serta posko yang dibangun oleh warga turut dirusak.
“Tragedi penyerangan ini telah menambah panjang daftar konflik yang antara PT TPL dengan masyarakat adat,” kata Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, dalam siaran persnya, Rabu (24/9/2025).
Roni menguraikan, PT TPL sudah beroperasi sejak 1992. Kala itu perusahaan milik Sukanto Tanoto ini masih bernama PT Inti Indorayon Utama (PT IIU). Selama lebih dari empat dekade, PT TPL telah memonopoli tanah seluas 269.060 hektare hutan di Sumatera Utara.

Monopoli lahan oleh PT TPL ini sekaligus juga merampas wilayah adat milik 23 komunitas masyarakat adat yang ada di 12 Kabupaten, dengan luas 33.422,37 hektare yang telah dijaga selama 11 generasi sejak awal 1800-an. Padahal pada 1916, pemerintah kolonial bahkan menerbitkan peta enclave untuk lahan di kawasan ini, hampir tiga dekade sebelum Indonesia merdeka.
Sejak PT TPL beroperasi, lanjut Roni, konflik terus terjadi. Berdasarkan catatan Auriga Nusantara, terdapat sebanyak 13 kasus kekerasan terhadap komunitas lokal dan masyarakat adat
sekitar. Secara rinci bentuk ancaman yang dihadirkan oleh PT TPL di antaranya 5 kasus kekerasan atau ancaman fisik, kemudian sebanyak 8 kasus kriminalisasi.
“Kondisi tersebut mengartikan bahwa tragedi penyerangan yang menyebabkan puluhan masyarakat adat mengalami luka parah pada Senin lalu merupakan fenomena efek bola salju,” ujar Roni.
Menurut Roni, konflik berkepanjangan di Tanah Batak ini terjadi akibat permasalahan struktural yang diciptakan oleh pemerintah yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, termasuk di antaranya memberikan pengakuan dan perlindungan. Konflik ini tidak bersifat sporadis, melainkan merupakan manifestasi dari sebuah masalah struktural yang berakar pada sengketa agraria dan model bisnis ekstraktif yang mengabaikan hak-hak dasar manusia.
Roni bilang, kasus ancaman terhadap masyarakat adat yang terjadi dengan PT TPL seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera bersikap tegas dengan mencegah potensi konflik terjadi kembali di masa yang akan datang. Pembiaran konflik yang terus menerus dan membenturkan karyawan (yang notabene juga rakyat) dengan masyarakat adat semakin menunjukkan ketiadaan itikad baik dari pemerintah maupun perusahaan untuk menyelesaikan konflik ini.
“Salah satu janji yang perlu ditagih adalah wacana Komisi XIII DPR RI untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bersama dengan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komnas HAM yang sempat terlontar pada saat agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPIC) Kapusin Medan, pada 9 September 2025 lalu,” kata Roni.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, imbuh Roni, Auriga Nusantara mendesak Komisi XIII DPR RI segera meresmikan TGPF bersama Kementerian HAM dan Komnas HAM untuk melakukan investigasi dan mendalami dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT TPL terhadap masyarakat adat.
Kemudian, Auriga juga mendesak Kementerian Kehutanan melakukan penataan ulang terhadap izin PT TPL dan mengeluarkan izin dari wilayah dan/atau hutan adat masyarakat setempat, dan mendesak PT TPL menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga dan masyarakat adat, serta menghormati hak-hak masyarakat adat.
“Memprioritaskan dan mempercepat proses pemetaan partisipatif dan pengakuan hukum atas wilayah-wilayah adat di sekitar konsesi PT TPL. Ini akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan menjadi dasar untuk penyelesaian sengketa tenurial,” ucap Roni.
Roni bilang, pemerintah harus secara proaktif terlibat dalam mekanisme penyelesaian sengketa yang dimediasi oleh pihak ketiga yang independen dan dipercaya oleh kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk mencapai solusi yang adil dan permanen yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
“Secara konsisten dan bermakna menerapkan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC) untuk semua operasi saat ini dan di masa depan yang berpotensi berdampak pada masyarakat adat, bukan hanya sebagai formalitas prosedural tetapi sebagai prasyarat fundamental untuk beroperasi,” kata Roni.
SHARE