Walhi dan Kiara Ajukan Banding Perkara Reklamasi Teluk Manado

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Kamis, 18 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) atas terbitnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa (MUP), ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN ) Jakarta. Tidak puas dengan itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil tersebut mengajukan permohonan Banding.

Dalam riwayatnya, pada 5 Agustus 2025, Majelis Hakim PTUN Jakarta memutuskan tidak menerima gugatan penerbitan Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 20062210517100001 tentang PKKPRL kepada PT MUP, dengan perkara No. 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. Pada 19 Agustus 2025 Walhi dan Kiara melalui kuasa hukumnya yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK) mengajukan permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta melalui PTUN Jakarta.

Sebagai tindak lanjut dari permohonan Banding, pada 26 Agustus 2026, Walhi dan Kiara melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Memori Banding terhadap Putusan PTUN Jakarta Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. tersebut.

Mulya Sarmono kuasa hukum dari TAPaK menyatakan Walhi dan Kiara mengajukan Banding karena terdapat kejanggalan dan dugaan manipulasi fakta dan keterangan persidangan yang diduga dilakukan oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. TAPaK menganggap Majelis Hakim PTUN Jakarta salah dan keliru menyatakan para Penggugat (Kiara dan Walhi) telah mengetahui adanya objek sengketa yaitu PKKPRL Manado Utara, setidak-tidaknya sejak 23 Juni 2024.

Aksi penolakan reklamasi Teluk Manado. Foto: Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi (ANTRA).

Hal tersebut disebutkan dalam alinea kelima halaman 201-202, yang menyatakan bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan, dapat diketahui bahwa objek sengketa a quo terbit pada 17 Juni 2022. Kemudian plang pengumuman proyek reklamasi yang memuat Izin PKKPRL dan Izin Pelaksanaan Reklamasi PT MUP telah terpasang sejak 23 April 2024. Selanjutnya para Penggugat melakukan penolakan terhadap proyek reklamasi di Teluk Manado tersebut pada 23-25 Juni 2024, sebagaimana postingan instagram para Penggugat yang telah diakui kebenarannya.

Mulya Sarmono menyatakan pertimbangan hukum Majelis Hakim PTUN Jakarta tersebut berdasarkan kesimpulan majelis hakim yang menyatakan, berdasarkan bukti T II Int.-27, T II Int.-28 dan T II Int.-29 dapat diketahui bahwa pada 23, 24 dan 25 Juni 2024, para Penggugat telah mem-posting di instagram terkait penolakan terhadap proyek reklamasi di Teluk Manado, kebenaran postingan instagram tersebut telah diakui oleh Penggugat pada persidangan 1 Juli 2025.

Hal tersebut bertolak belakang dengan fakta-fakta persidangan di PTUN Jakarta tepatnya pada agenda sidang pada 1 Juli 2025. Para Penggugat maupun kuasa hukumnya tidak pernah mengakui kebenaran baik tertulis maupun secara lisan di persidangan mengenai bukti yang diajukan PT MUP selaku Tergugat II Intervensi yaitu bukti T II Int.-27, T II Int.-28 dan T II Int.-29, yang pada pokoknya berisi hasil screenshot halaman instagram yang menurut kuasa hukum PT MUP adalah postingan para Penggugat.

“Pada saat itu sebagai kuasa hukum, kami menyatakan tidak tahu dan perlu menanyakannya ke Penggugat I yaitu Walhi. Setelah itu direspons oleh Hakim Ketua Majelis yang menyampaikan masa tidak tahu? Kemudian kami sebagai Kuasa Hukum kembali menyampaikan akan mengeceknya ke Penggugat I yaitu Walhi,” ujar Mulya, dalam sebuah siaran pers, Rabu (17/9/2025).

Mulya Sarmono lebih lanjut menyatakan bahwa isi postingan instagram yang disampaikan majelis hakim dalam putusannya telah dibantah oleh para Penggugat, yang kemudian diperkuat bantahan Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi (AMPLTR) yang menyatakan bahwa Walhi tidak diundang dan selama pelaksanaan kegiatan Aliansi di Manado. Tidak ada satupun pihak yang hadir mengatasnamakan Walhi dan Walhi bukan anggota AMPLTR.

“Selain itu PT MUP melalui Bukti T II Int.-27, T II Int.-28 dan T II Int.-29 menyatakan bahwa akun instagram Walhi adalah Walhi.INDONESIA. Hal tersebut merupakan kekeliruan karena akun resmi instagram Walhi adalah @Walhi.nasional. Berbagai kejanggalan dan kekeliruan ini telah dianggap kebenaran oleh majelis hakim sehingga menjadi pertimbangan dalam putusan,” katanya. 

Kuasa Hukum TAPaK lainnya, Yulianto Behar Nggali Mara, menyatakan kejanggalan dan kekeliruan tersebut menunjukkan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah secara nyata memanipulasi fakta dan keterangan persidangan yang sebenarnya sehingga majelis hakim beranggapan bahwa gugatan yang diajukan Walhi dan Kiara, telah melampaui tenggang waktu 90 hari.

Padahal, faktanya gugatan Walhi dan Kiara masih dalam tenggang waktu dan sesuai persyaratan yang ditentukan UU No 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sisi lain dalam hal ini menunjukkan majelis hakim menutup diri untuk untuk memeriksa pokok perkara. Padahal perkara ini sangat penting mempertimbangkan pokok perkara demi keselamatan lingkungan hidup dan masyarakat pesisir Manado Utara.

Laporan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung

Judianto Simanjuntak juga kuasa hukum TAPaK, mengatakan, oleh karena Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini diduga memanipulasi fakta dan keterangan persidangan, maka pada 25 Agustus 2025 pihaknya telah melaporkan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut ke Komisi Yudisial (KY) RI dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) RI.

“Laporan tersebut tentang dugaan Pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim,” kata Judianto.

Judianto melanjutkan, laporan ke KY dan Bawas MA dilakukan karena perbuatan majelis hakim yang memanipulasi fakta dan keterangan persidangan, menunjukkan majelis hakim tidak memiliki integritas serta tidak adil bagi para Penggugat dan jauh dari sikap profesional seorang hakim yang diharapkan. Hal ini merupakan dugaan Pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang menyatakan, hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum. Juga menyebutkan hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

“Perbuatan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memanipulasi fakta dan keterangan persidangan tersebut, menimbulkan kerugian bagi Walhi dan Kiara selaku Penggugat, yaitu tidak mendapatkan keadilan,” katanya.

Judianto bilang, atas dasar itu KY dan Bawas MA harus membentuk Majelis Kode Etik untuk menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim yang dilakukan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta tersebut, karena sikap dan tindakannya yang diduga memanipulasi fakta dan keterangan persidangan.

“Jika terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, maka harus ada sanksi baik dalam bentuk peringatan, teguran, sanksi dan tindakan disiplin kepada Majelis Hakim tersebut,” kata Judianto.

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menyatakan bahwa berkaitan dengan permohonan Banding terhadap Putusan PTUN Jakarta Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT ke PTTUN Jakarta, dalam hal ini Walhi, Kiara, dan masyarakat pesisir Manado Utara meminta Majelis Hakim PTTUN Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara PKKPRL Manado Utara ini, dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya dan berpihak terhadap keberlanjutan lingkungan dan profesi nelayan tradisional yang ada di pesisir Manado Utara.

“Perlindungan atas keberlanjutan lingkungan dan profesi nelayan tradisional yang hidup menggantungkan penghidupannya di lokasi objek sengketa harus diutamakan dan ditegakkan sebagaimana prinsip kehati-hatian (precautionary principle), keberlanjutan, peran serta masyarakat dan keadilan di dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” ujar Susan.

Ia berharap Majelis Hakim PTTUN Jakarta mengabulkan gugatan Walhi dan Kiara seluruhnya, membatalkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. Menurut Susan, ini adalah saat yang penting untuk memberikan kepastian hukum perlindungan lingkungan, akses pantai kepada publik, serta mengimplementasikan Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa nelayan kecil mempunyai hak konstitusional untuk mengakses dan melintas di laut, melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sesuai dengan adat istiadat yang telah dipraktikkan dan mendapatkan manfaat atas pengelolaan tersebut.

SHARE