Tari, Anak Gajah Sumatera di TN Tesso Nilo Itu telah Pulang
Penulis : Kennial Laia
Konservasi
Kamis, 11 September 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Anak gajah itu asyik memamah daun-daun tumbuhan di sebelah induknya. Tak jauh darinya, terdengar seorang mahout memberikan instruksi agar si anak gajah memakan gedebog (batang) pisang dan kelapa, pakan yang disukai gajah. Rupanya gajah itu sedang belajar makan.
Gajah itu bernama Kalistha Lestari, anak gajah berusia dua tahun yang tinggal di Taman Nasional Tesso Nilo, Pelalawan, Riau. Sejak lahir pada 2023, Tari menjadi ikon media sosial Balai Taman Nasional Tesso Nilo. Videonya yang belajar makan dan berbagai tingkah polahnya yang lucu memenuhi feed Instagram, dengan ribuan komentar dan ratusan ribu likes. Rabu, 10 September 2025, adalah hari terakhirnya.
Tari ditemukan mati di Taman Nasional Tesso Nilo, Pelalawan, Riau. Ribuan ucapan duka mengalir di media sosialnya. Banyak orang mengaku patah hati karena kehilangan gajah tersebut. “Dedek Tari, tak pernah berhenti kami melihat videomu, dan kami berduka atas kepergianmu untuk selamanya,” tulis seorang netizen di kolom komentar akun Instagram @btn_tessonilo.
Geopix, organisasi pemerhati satwa dan lingkungan turut menyampaikan dukanya. “Geopix turut menyampaikan perasaan duka atas matinya seekor anak gajah bernama Tari yang selama ini dikenal luas sebagai ikon dan social media darling dari Taman Nasional Tesso Nilo.”

Menurut keterangan resmi dari Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Tari merupakan gajah betina hasil perkawinan gajah Lisa (dalam penangkaran) dengan gajah liar. Tari mati tepatnya di Camp Elephants Flying Squad SPTN Wilayah I Lubung Kembang Bunga, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan, pada Rabu, 10 September tahun 2025, pukul 08.00 WIB.
Gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis) merupakan satwa dilindungi, dengan populasi hanya 1.100 individu yang tersebar di beberapa provinsi. Sejak 2011, satwa ini dinyatakan sangat terancam punah dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) karena hewan sangat terancam punah karena kerusakan habitat yang pesat.
Balai Taman Nasional Tesso Nilo mengatakan, gajah Tari masih sehat pada hari sebelumnya. Saat diperiksa pada pukul 07.43 WIB, Tari terlihat aktif bermain seperti biasa dengan nafsu makan normal, feses baik, serta tanpa tanda kelemasan. “Hanya intensitas menyusu yang sedikit berkurang. Kondisi sore hari sekitar pukul 17.00 WIB juga tetap stabil tanpa gejala sakit.” Banyak juga komentar lainnya yang meminta penjelasan penyebab kematian Tari.
Keesokan harinya, pukul 08.00 WIB, mahout yang bertugas menemukan anak gajah tersebut dalam keadaan berbaring tanpa gerakan. Tari lalu dinyatakan mati. Mahout kemudian menghubungi Dokter Hewan Teguh untuk melakukan pemeriksaan fisik.
“Hasil pemeriksaan awal menunjukkan tidak adanya luka atau trauma pada tubuh, namun perut terlihat sedikit menggembung. Untuk memastikan penyebab kematian, dokter melakukan tindakan nekropsi (bedah bangkai) dan mengambil sampel organ untuk pemeriksaan laboratorium. Sampel tersebut akan dikirim ke Bogor untuk analisis lebih lanjut,” kata Kementerian Kehutanan.
Balai Taman Nasional Tesso Nilo akan mengumumkan hasil resmi setelah proses analisis selesai.
“Kehilangan Tari menjadi pengingat betapa rentannya satwa langka ini, sekaligus memperkuat komitmen kami dalam upaya perlindungan dan perawatan gajah di Tesso Nilo,” kata Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo Heru Sutmantoro.
Gajah Tari ditemukan mati di Camp Elephants Flying Squad, TN Tesso Nilo, 10 September 2025. Dok. Istimewa
Kematian gajah Tari harus menjadi bahan evaluasi
Di balik popularitasnya, kematian Tari menjadi memantik kesadaran kita bersama bahwa Tari tetaplah satwa liar yang semestinya tumbuh bebas di hutan, menurut Senior Wildlife Campaigner Geopix Annisa Rahmawati.
“Kejadian ini akan menjadi pengingat bahwa gajah memiliki kemungkinan hidup yang lebih layak ketika berada di hutan, habitat alaminya yang terjaga dengan baik,” kata Annisa.
“Jika kita gagal melihat kejadian yang dialami Tari sebagai sebuah tragedi, maka sulit membangun dukungan publik terhadap perlindungan gajah di alam liar. Lebih jauh, menangani gajah dalam pemeliharaan merupakan proses yang kompleks, kemungkinan kontak fisik berlebihan antara manusia dan satwa liar seperti gajah berpotensi meningkatkan risiko penularan penyakit zoonotik yang dapat membahayakan manusia, satwa liar itu sendiri maupun ekosistem hutan secara keseluruhan,” kata Annisa.
Annisa mengatakan, kematian Tari harus menjadi bahan evaluasi terhadap strategi konservasi gajah hasil penyelamatan (rescue). “Selama ini di Indonesia, gajah-gajah tersebut berakhir dalam pemeliharaan. Sudah saatnya muncul pilihan untuk mengubah arah strategi konservasi gajah menuju upaya-upaya rehabilitasi dan pelepasliaran ke habitat alaminya di hutan, sebagaimana banyak negara sudah melakukannya seperti di Laos dan Srilanka,” katanya.
“Hal ini bahkan dapat melengkapi kegiatan pemulihan ekosistem yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Hutan-hutan yang telah dipulihkan dapat diisi dengan gajah-gajah yang telah diselamatkan sebagai “rumah” yang baru” bagi populasi mereka,” kata Annisa.
SHARE