Sejarah Rumah Satwa dalam Ingatan Mapbiomas Indonesia

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Senin, 08 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hutan seluas 18,2 juta hektare atau kira-kira seluas Pulau Sulawesi, lenyap dalam rentang waktu 1990 hingga 2024 di Indonesia. Hutan yang hilang itu, sekitar 8,7 juta hektare berubah menjadi perkebunan sawit, 1,9 juta hektare menjadi kebun kayu, dan 211 ribu hektare lainnya menjadi lubang tambang. Demikian menurut Mapbiomas Indonesia Koleksi 4.0 yang baru saja dirilis pada 26 Agustus 2025.

Kehilangan hutan alam tersebut memberi pengaruh negatif pada sejumlah spesies satwa ikonik dan dilindungi di Indonesia, seperti badak, harimau, gajah, dan orangutan. Mengingat hutan merupakan habitat alami bagi satwa-satwa terancam punah tersebut.

Deforestasi bahkan membuat sebagian kecil populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) terpaksa diungsikan ke areal suaka, lantaran habitat aslinya mengalami tekanan berupa konversi lahan dan dianggap tak aman lagi. 

Dalam rentang 1990-2024, habitat badak di Indonesia, telah mengalami kehilangan tutupan hutan hingga 306.871 hektare. Kehilangan hutan alam itu disebabkan oleh terjadinya konversi lahan akibat pembangunan perkebunan sawit seluas 107.690 hektare, pertambangan 3.485 hektare, dan perkebunan kayu sekitar 2.105 hektare.

Tampak dua individu gajah sumatera bersama seorang mahout di Pusat Latihan Gajah di Way Kambas. Foto: Yudi Nofandi/Auriga Nusantara.

Hilangnya tutupan hutan itu terjadi di seluruh habitat tersisa badak Indonesia, yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas, belantara Mahakam Ulu, dan Taman Nasional Ujung Kulon. Areal-areal tersebut merupakan rumah bagi badak sumatera, sub spesies badak sumatera di Kalimantan, dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus).

“Dulunya bentang alam Kerinci Seblat juga pernah menjadi rumah badak sumatera. Tapi sekitar 2001, badak bercula dua tersebut tidak pernah lagi ditemui di sana,” kata Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara, Kamis (4/9/2025).

Nasib rumah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tak kalah mengenaskan. Mapbiomas mencatat terjadinya penyusutan hutan alam yang sangat besar, sekitar 2.541.741 hektare. Pada 1990 luas hutan di habitat kucing besar tersebut masih sekitar 11.982.243 hektare, namun pada 2024 luasnya menjadi sekitar 9.440.502 hektare.

Di kantong habitat harimau di Kampar misalnya, yang tercatat kehilangan hutan alam seluas sekitar 249.152 hektare. Mapbiomas menunjukkan bahwa kehilangan hutan di habitat yang berlokasi di Provinsi Riau itu sebagian besar diakibatkan oleh pembangunan perkebunan kayu yang luasnya mencapai 196.696 hektare, dan perkebunan sawit seluas 14.081 hektare. 

Peta kondisi tutupan lahan kantong habitat harimau sumatera Giam Siak Kecil pada 2024. Sumber: Mapbiomas Indonesia.

Kantong habitat harimau di Giak Siam Kecil bahkan lebih parah. Di sana hutan seluas 369.143 hektare hilang. Dulunya, pada 1990, hutan di Giam Siak Kecil luasnya sekitar 534.513 hektare, namun menyusut menjadi 165.370 hektare pada 2024. Kehilangan hutan itu terjadi akibat konversi lahan, sebagian besar di antaranya menjadi kebun kayu seluas 145.013 hektare, dan kebun sawit 97.303 hektare.

Kisah serupa juga dialami habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Dalam rentang waktu 1990-2024, hutan alam seluas 3.560.374 hektare yang ada di habitat mamalia darat terbesar di dunia itu berkurang menjadi 2.219.439 hektare. Hilangnya hutan seluas 1.340.935 hektare itu, sebagian besar diakibatkan oleh pembangunan perkebunan kayu yang luasnya mencapai 418.734 hektare dan perkebunan sawit seluas 331.532 hektare.

Meski telah mengalami konversi, gajah cenderung tidak akan meninggalkan atau melupakan habitatnya. Dalam suatu waktu, gajah biasanya akan kembali ke habitatnya itu, walaupun areal tersebut telah berubah menjadi pemukiman atau perkebunan.

“Dia (gajah) akan tetap menganggap itu rumahnya atau wilayah jelajahnya. Itu sebabnya masih sering terjadi interaksi negatif antara gajah dan masyarakat atau perusahaan,” kata Riszki.

Taman Nasional Tesso Nilo, lanjut Riszki, merupakan salah satu contoh habitat gajah yang mengalami kehancuran terparah di Indonesia. Dari sekitar 81 ribu hektare total luas Taman Nasional Tesso Nilo, luas hutan alam yang tersisa hingga 2024 hanya sekitar 11.871 hektare. Sebagian besar kawasan konservasi tersebut justru didominasi oleh perkebunan sawit yang luasnya mencapai angka 24.982 hektare, dan lahan pertanian lainnya seluas sekitar 39.548 hektare.

Peta kondisi tutupan lahan Taman Nasional Tesso Nilo pada 2024. Sumber: Mapbiomas Indonesia.

Kehilangan hutan alam di Indonesia juga melanda habitat orangutan. Seperti diketahui, Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki tiga spesies orangutan sekaligus, yakni orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), orangutan sumatera (Pongo abelii), dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Populasi ketiganya tersebar di dua pulau besar di Indonesia, yakni Kalimantan dan Sumatera.

Pada 1990 hutan alam di habitat tersebut luasnya sekitar 14,9 juta hektare. Tapi pada 2024 luasannya berkurang menjadi 14,1 juta hektare. Bisa dibilang, dalam jangka waktu 35 tahun, orangutan kehilangan hutan alamnya sebesar 801 ribu hektare, lebih dari 12 kali luas DKI Jakarta. 

Data menunjukkan, hutan alam di habitat orangutan di Kalimantan pada 1990 luasnya kurang lebih 12.799.641 hektare, dan di Sumatera seluas 2.096.741 hektare. Sementara itu, pada 2024, luas hutan alam di habitat orangutan di Kalimantan menyusut menjadi 12.153.614 hektare, dan di Sumatera menjadi 1.940.895 hektare.

Berdasarkan hasil rekaman Mapbiomas Indonesia, penyusutan hutan alam di habitat orangutan di dua pulau tersebut dikarenakan adanya konversi lahan, seperti akibat pembangunan perkebunan, pertanian, dan pertambangan.

Di Kalimantan, habitat meta populasi orangutan di Kahayan-Kapuas di Kalimantan Tengah, mengalami kehilangan hutan alam sangat besar. Pada 1990 luas hutan alam di situ luasnya sebesar 371.257 hektare, namun hutan alam yang bertahan tidak mengalami konversi hingga 2024 luasnya berkurang menjadi 317.352 hektare. 

Peta kondisi tutupan lahan habitat meta populasi orangutan Sungai Rungau, Kalimantan Tengah, pada 2024. Sumber: Mapbiomas Indonesia.

Dengan lain perkataan, di habitat meta populasi tersebut ada 53.905 hektare hutan yang mengalami perubahan. Perubahan tersebut di antaranya karena pembangunan kebun kayu (hutan tanaman industri) sebesar 13.954 hektare, lubang tambang 4.041 hektare, dan seluas 3.903 hektare menjadi perkebunan sawit.  

Bergeser ke Sumatera. Bentang alam Bukit Tiga Puluh, menjadi salah satu rumah alami tersisa bagi orangutan sumatera. Terdapat dua meta populasi orangutan yang berhabitat di situ, yang satu berada di wilayah Riau dan yang satu lagi di wilayah Jambi. 

Habitat orangutan sumatera di Bukit Tiga Puluh wilayah Riau, tercatat mengalami kehilangan hutan seluas sekitar 6.439 hektare. Pada 1990 luas hutan meta populasi itu sekitar 113.449 hektare, dan pada 2024 menjadi 107.010 hektare. Mapbiomas menunjukkan bahwa hutan yang hilang itu sekitar 612 hektare di antaranya berubah menjadi perkebunan sawit, dan kurang lebih 2.249 hektare lainnya menjadi komoditas pertanian lainnya.

Sedangkan habitat orangutan di Bukit Tiga Puluh wilayah Jambi, mengalami kehilangan hutan alam cukup besar. Dalam rentang waktu tersebut, 1990-2024, hutan alam di sana hanya tersisa sekitar 84.284 hektare, dari yang awalnya seluas 166.047 hektare. Hutan-hutan itu sekitar 16.564 hektare di antaranya berubah menjadi perkebunan sawit, dan 140 hektare menjadi lubang tambang.

Tampak dari ketinggian fasilitas PLTA di bentang alam Batang Toru, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Yudi Novandi/Auriga Nusantara.

Adapun bentang alam Batang Toru yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang merupakan habitat asli meta populasi orangutan tapanuli, kondisi tutupannya masih terbilang baik. Populasi orangutan tapanuli di Batang Toru sendiri terbagi menjadi dua meta populasi, yakni Batang Toru barat dan Batang Toru timur atau Sarulla. 

Di Batang Toru bagian barat, luas hutan alam pada 2024 bertahan di angka 79.192 hektare, sedikit lebih rendah dari angka luas hutan alam yang tercatat pada 1990 yang sebesar 80.007 hektare. Mapbiomas menunjukkan, sekitar 172 hektare hutan alam di sana berubah menjadi lubang tambang, dan 251 hektare lainnya menjadi lahan pertanian. 

Kondisi serupa juga terjadi di habitat orangutan tapanuli di bentang alam Batang Toru bagian timur atau sektor Sarulla. Hutan alam yang awalnya seluas sekitar 23.739 hektare pada 1990, menyusut menjadi 23.257 hektare pada 2024. Sebagian besar penyusutan hutan alam tersebut diakibatkan konversi menjadi lahan pertanian seluas 314 hektare, dan menjadi tutupan tumbuhan non-hutan 329 hektare.

Ironi habitat satwa

Tapi masalahnya sebagian besar habitat orangutan tidaklah aman. Riszki menyebut habitat orangutan di Indonesia sebagian besar berada di luar kawasan konservasi. Kondisi itu pada dasarnya menjadikan habitat saudara jauh manusia tersebut sangat rentan mengalami gangguan atau konversi.

“Luas habitat orangutan di luar kawasan konservasi di Sumatera itu sekitar 63,51 persen dan di Kalimantan 88,1 persen. Jadi enggak heran kalau ada orangutan yang berkeliaran di kebun sawit, bahkan di areal pertambangan,” katanya.

Tampak bekas hutan alam yang ditebang di dalam konsesi PT Mayawana Persada. Lokasi perusahaan kebun kayu ini sebagian berada di habitat orangutan kalimantan. Foto: Auriga Nusantara.

Habitat gajah pun demikian. Riszki mengatakan, hampir 80 persen habitat gajah. Menurut hasil overlay, kantong habitat gajah yang tercatat dalam Rencana Aksi Darurat (RAD) Gajah 2020, banyak dibebani izin industri ekstraktif. 

Seluas sekitar 1.269.902 hektare habitat gajah di Sumatera sudah dalam cengkeraman izin perkebunan kayu tanaman industri, 152.545 hektare masuk dalam konsesi hutan alam, 121.838 hektare dalam konsesi tambang dan 101.398 hektare dalam izin perkebunan sawit.

“Meski begitu, bukan berarti habitat di dalam kawasan konservasi lebih aman dan terjaga. Dalam beberapa kasus, habitat dalam kawasan konservasi malah tidak aman,” kata Riszki.

Gajah sumatera jantan bernama Rahman di Taman Nasional Tesso Nilo mati diduga akibat keracunan, dengan gading sebelah kiri sudah hilang. Foto: Balai Taman Nasional Tesso Nilo.

Di Tesso Nilo misalnya. Hutan alam di Tesso Nilo luasannya justru lebih besar saat kawasan tersebut belum ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004. Menurut analisis Mapbiomas, pada 1990, hutan di Tesso Nilo luasnya sekitar 77.995 hektare, dan pada 2004 menjadi sekitar 59.988 ribu hektare.

Artinya dalam periode itu, Tesso Nilo hanya kehilangan kurang lebih 18 ribu hektare saja. Sementara pada periode setelah ditetapkan menjadi taman nasional, luas kehilangan hutan alam di Tesso Nilo justru mencapai angka 49.048 hektare. 

“Fakta tersebut cukup ironis sebenarnya. Setelah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, mestinya Tesso Nilo bisa lebih aman dan hutan alamnya lebih terjaga. Tapi faktanya tidak,” ucap Riszki. 

Peta kondisi tutupan lahan Kawasan Ekosistem Leuser pada 2024. Sumber: Mapbiomas Indonesia.

Meski mampu menjaga sebagian besar hutan alamnya, namun TN Gunung Leuser yang merupakan rumah 4 satwa ikonik dan dilindungi sekaligus, yakni badak, harimau, gajah dan orangutan, ternyata juga mendapat tekanan. Menurut perhitungan, dalam 35 tahun taman nasional yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser itu hanya kehilangan sekitar 24.439 hektare saja. 

Pada 1990, luas hutan alam di sana seluas 813.099 hektare dan berkurang menjadi 789.660 hektare pada 2024. Sebagian besar hutan yang hilang itu teridentifikasi berubah menjadi tutupan tanaman non-hutan yang luasnya sekitar 23.822 hektare. Menurut data yang ditunjukkan Mapbiomas Indonesia, terdapat perkebunan sawit yang terbangun di dalam kawasan konservasi itu seluas 2.308 hektare, sekitar 1.240 hektare di antaranya berasal dari konversi hutan alam.

SHARE