Auriga: Tak Boleh Cabut Pilih Izin Tambang di Pulau Kecil
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Rabu, 27 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pencabutan perizinan lingkungan untuk kegiatan pertambangan di Pulau Kabaena, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Pulau Gebe, Provinsi Maluku Utara (Malut), oleh Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, mendapat apresiasi masyarakat sipil. Tapi pencabutan perizinan seperti itu mestinya juga dilakukan kepada kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil lainnya, dan jangan tebang pilih.
Auriga Nusantara menilai terdapat sejumlah persoalan penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat luas di balik pencabutan izin pertambangan di Pulau Kabaena dan Pulau Gebe.
Pertama, pencabutan itu dilakukan setelah adanya aksi demonstrasi masyarakat yang menolak pertambangan di Pulau Kabaena karena dipandang memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Seharusnya, Pemerintah Indonesia, tidak menunggu masyarakat melakukan protes dan viral. Seluruh pertambangan di pulau-pulau kecil harus segera dicabut karena sejak 2007 telah dilarang oleh UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.
“Sayangnya, pertimbangan ini absen dalam putusan pencabutan tambang yang dilakukan oleh Menteri Hanif,” kata Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Senin (25/8/2025).
Roni menjelaskan, Pasal 35 huruf K, UU No. 27 Tahun 2007, menyebutkan bahwa dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Tak hanya itu, Pasal 73, UU No. 27 Tahun 2007 juga menyebutkan sanksi pidana terhadap pelaku pertambangan di pulau kecil. Pasal itu menyebut, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar setiap orang yang dengan sengaja melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf K.
Kedua, lanjut Roni, pasal tersebut telah dipertegas oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 57 Tahun 2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2023. Poin-poin Putusan MA itu menyatakan, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan adalah terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Kemudian, secara yuridis, Pasal 4 huruf a UU 27/2007, yang dengan jelas mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
“Ketentuan tersebut, secara expressive verbis menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setidak-tidaknya dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjaga sistem ekologis secara berkelanjutan,” kata Roni.
Selanjutnya, secara sosiologis, pemberlakuan objek permohonan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan melahirkan kebijakan yang kontraproduktif, seperti kebijakan kegiatan usaha pertambangan. Jelas, hal ini sangat tidak sesuai dengan landasan sosiologis, karena masyarakat di wilayah pulau kecil, khususnya di Pulau Wawonii dan pulau kecil umumnya, telah lama hidup dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan.
Sejalan dengan itu, masih kata Roni, Putusan MK No. 35 Tahun 2023 menegaskan bahwa pertambangan berpotensi memperparah kerusakan ekosistem pulau kecil dan kawasan pesisir. Merujuk ketentuan undang-undang, yang tergolong pulau kecil adalah pulau yang luasnya tidak lebih dari 2.000 kilometer persegi.
“Aktivitas tambang bisa berdampak pada ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap keanekaragaman hayati hingga berpotensi menghilangkan potensi ekowisata yang dapat memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan masyarakat,” ucap Roni.
Roni melanjutkan, menurut amar putusan MK, berdasarkan aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta secara sosiologis, kegiatan penambangan dapat merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Putusan Mahkamah juga menyatakan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil merupakan abnormally dangerous activity. Terbukti kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terjadi hingga saat ini, telah merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat.
Direktur Pesisir dan Kelautan Auriga Nusantara, Parid Ridwanuddin, menambahkan, persoalan yang ketiga, secara ekologis pulau-pulau kecil mempunyai daya dukung sumber daya alam yang terbatas dan sangat rentan, terutama terkait kenaikan permukaan air laut sebagai dampak dari krisis iklim. Saat ini tren kenaikan air laut secara global tercatat setinggi 0,8-1 meter.
“Dengan demikian, penambangan skala besar akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil,” katanya.
Persoalan keempat, imbuh Parid, masyarakat di pulau-pulau kecil akan semakin menderita karena adanya proyek pertambangan. Terbatasnya daya dukung sumber daya alam jika habis karena proyek pertambangan akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil.
“Seperti diketahui, masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan akses dan mobilitas, terutama dalam hal pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih hilang, bencana kemanusiaan akan meledak,” katanya.
Yang terakhir, kelima, pertambangan di pulau-pulau kecil akan memperparah ancaman bencana, terutama banjir dan longsor akibat perubahan bentang alam yang sangat cepat. Dengan demikian, proyek pertambangan di akan memperburuk ancaman bencana ekologis yang diperburuk oleh krisis iklim.
Tak boleh tebang pilih
Auriga menganggap penghentian aktivitas pertambangan di Pulau Kabaena dan Pulau Gebe patut dipertanyakan secara serius. Pasalnya, izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan oleh pemerintah di pulau tersebut jelas tidak hanya satu, melainkan banyak. Di pulau yang luasnya hanya 894,2 km persegi atau 89.420 hektare itu terdapat lebih dari 15 IUP untuk banyak perusahaan tambang.
“Sementara itu, Pulau Gebe, dengan luas hanya 224 km persegi atau 2.240 hektare, dibebani sebanyak 8 IUP,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Direktur Pertambangan dan Energi, Auriga Nusantara.
Lebih jauh, sambung Ki Bagus, Auriga menemukan adanya 380 IUP yang aktif berada di 289 pulau kecil di seluruh Indonesia, dengan total luas 1,9 juta hektare. Pertambangan di pulau-pulau kecil ini juga memicu deforestasi yang sangat luas.
Forest Watch Indonesia (FWI, 2024) mencatat telah terjadi deforestasi di pulau-pulau kecil sepanjang 2017-2021. Luasan kehilangan hutan mencapai 318,6 ribu hektare atau setara dengan 3% dari deforestasi nasional.
“Data-data Perusahaan pemegang IUP tersebut di atas harus menjadi dasar Pemerintah Indonesia untuk tidak tebang pilih dalam menghentikan aktivitas pertambangan dan atau mencabut izin pertambangan di pulau kecil. Semua izin pertambangan di pulau kecil harus dicabut tanpa kecuali,” ucap Ki Bagus.
Ki Bagus melanjutkan, pemerintah juga harus mengeluarkan wilayah pulau kecil, termasuk juga pesisir dan laut dari kategori wilayah hukum pertambangan, sebagaimana yang tertera dalam UU No. No. 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), khususnya pasal 28a.
“Pada titik inilah, keberadaan UU Minerba wajib untuk dievaluasi karena mengkategorikan semua ruang sebagai wilayah hukum pertambangan,” ujarnya.
SHARE