Gugatan Omnibus Law: Pemerintah Abai Soal Konstitusi dalam PSN

Penulis : Kennial Laia

Hukum

Selasa, 26 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sidang keempat uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi, Senin, 25 Agustus 2025. Agenda sidang yang digelar Senin, 25 Agustus 2025, tersebut adalah mendengarkan keterangan pemerintah. 

Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) Proyek Strategis Nasional–yang terdiri dari warga korban, organisasi masyarakat sipil, dan individu menilai, keterangan pemerintah pada sidang kali ini menunjukkan bagaimana PSN dipaksakan dengan mengabaikan masalah mendasar konstitusional.  

Menurut catatan Geram PSN, kuasa hukum presiden menyampaikan sejumlah poin dalam keterangannya. Di antaranya, secara eksplisit menyamakan PSN sebagai “kepentingan umum” dan berpendapat bahwa para pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pihak dengan kedudukan hukum. 

“Geram PSN menilai cara pandang pemerintah ini berbahaya karena menempatkan peningkatan investasi dan infrastruktur sebagai dasar tunggal kepentingan umum. Padahal, UUD 1945 jelas mengamanatkan bahwa pembangunan harus menghormati hak warga negara, keberlanjutan lingkungan, serta prinsip keadilan sosial,” kata kuasa hukum pemohon serta advokat di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Edy K. Wahid. 

Aksi masyarakat adat dan komunitas lokal korban PSN bersama organisasi masyarakat sipil usai sidang peninjauan kembali Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025. Dok. Istimewa

Edy mengatakan, keterangan pemerintah pada sidang tersebut juga menunjukkan sikap abai terhadap substansi konstitusional. “Dengan menyempitkan masalah PSN menjadi sekadar isu teknis implementasi, pemerintah mengabaikan fakta bahwa norma-norma PSN dalam UU Cipta Kerja telah membuka ruang pelanggaran hak atas tanah, pangan, dan lingkungan,” katanya. 

Sementara itu Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin mengatakan, menyamakan PSN dengan “kepentingan umum” adalah bentuk pemaksaan definisi yang dapat berujung pada legitimasi penggusuran dan perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat. 

“Kami mendesak MK untuk benar-benar menempatkan konstitusi sebagai ukuran utama dalam menilai norma PSN dalam UU Cipta Kerja. Negara tidak boleh hanya menjadi mesin pembangunan infrastruktur, melainkan harus memastikan keadilan ekologis, penghormatan hak asasi manusia, dan perlindungan ruang hidup rakyat,” ujarnya. 

Masyarakat adat dan komunitas lokal yang ikut menggugat di antaranya masyarakat adat dari Tanah Papua, Pulau Rempang, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara. Adapun organisasi masyarakat sipil 

Pemohon yang terdaftar dalam peninjauan kembali ini diantaranya 12 korban PSN dari berbagai provinsi, delapan organisasi masyarakat sipil, satu individu, dan akademisi. Mereka secara khusus menggugat norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang memberi legitimasi pada “kemudahan dan percepatan PSN”. 

Agenda sidang berikutnya dijadwalkan pada Rabu, 3 September 2025. 

SHARE