Hijau Tapi Hitam Pembiayaan Bank di Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Aryo Bhawono
Lingkungan
Senin, 25 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Praktik keuangan hijau perbankan 2017-2023 mencatat angka baik. Namun kenyataan lapangan justru sebaliknya, bank-bank nasional Indonesia ditengarai membiayai investasi berbasis lahan yang merusak lingkungan.
Sebanyak 13 bank nasional dan internasional di Indonesia mendapat nilai mengesankan dalam laporan Indeks Investasi Hijau II yang disusun oleh Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) dan Forest Watch Indonesia (FWI). Bank-bank tersebut adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Permata, Panin, Danamon, Citibank, CIMB Niaga, OCBC, DBS, dan BSI.
Environment and Forestry Expert IWGFF yang juga duduk sebagai peneliti kajian ini, Marius Gunawan, menyebutkan laporan ini menilai lima prinsip utama praktik perbankan hijau dalam rentang 2017–2023. Prinsip itu adalah pengelolaan risiko sosial dan lingkungan, pengembangan sektor ekonomi berkelanjutan, tata kelola dan pelaporan, kemitraan dan peningkatan kapasitas, serta rencana aksi keuangan berkelanjutan.
Basis data yang mereka gunakan adalah Focus Group Discussion bersama PPATK, akademisi, dan PPATK. Sedangkan data milik bank yang digunakan adalah laporan keberlanjutan dan laporan tahunan bank sejak 2017-2023 dan kebijakan pemerintah.
Para peneliti memberikan skor berdasar bobot prinsip, indikator, dan sub indikator. Hasilnya adalah seluruh bank, kecuali BSI karena baru terbentuk pada 2021, tidak ada yang berada pada posisi skor kurang ataupun sangat kurang dalam komitmen keuangan hijau.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) meraih skor tertinggi dengan nilai indeks 82,85 dan satu-satunya bank yang dikategorikan “sangat bagus”, diikuti oleh Bank Negara Indonesia (BNI), Bank BTPN, dan Bank OCBC dalam kategori “bagus”. Sedangkan Bank Permata mencatat skor terendah, mencerminkan masih rendahnya komitmen terhadap pembiayaan hijau dan pelaporan ESG.
Namun Marius menyebutkan adanya kendala penelitian yang terletak pada transparansi dan keberanian lembaga keuangan untuk menyasar proyek hijau yang sesungguhnya berdampak. Misalnya saja soal prinsip free, prior and informed consent (FPIC) yang belum diberikan dalam skema pendanaan.
“Padahal ini masalah penting karena masyarakat jangan sampai jadi korban investasi. Ke depan lembaga keuangan harus memperhatikan ini,” ujarnya dalam seminar bertajuk Pemantauan Green Financial Crime (GFC) dan Peluncuran Buku Index Investasi Hijau II: Sektor Perbankan pada Industri Berbasis Lahan Tahun 2017-2023, yang digelar di Jakarta, pada Selasa (29/7/2025).
Selain itu transparansi informasi debitur dan nilai investasi masih tertutup. Bank beralasan bahwa informasi ini merupakan rahasia perusahaan. Padahal informasi ini penting apalagi jika mereka memberikan pendanaan investasi berbasis lahan seperti industri kayu. Pengawasan membutuhkan informasi itu.
“Bank masih enggan mempublikasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) mereka. Ini menunjukkan bahwa prinsip keberlanjutan belum benar-benar menjadi inti strategi bisnis,” jelasnya.
Ia mengatakan, regulasi memang belum mewajibkan informasi ini untuk dipublikasikan. Tetapi jika beritikad melakukan investasi hijau maka RAKB seharusnya dibuka. Ia pun menyebutkan RKAB ini baru wajib dilaporkan bank kepada OJK.
Kendala transparansi dalam laporan ini beriringan dengan temuan monitoring lapangan IWGFF atas Green Finance Crime (GFC) di tiga provinsi, yakni Jambi, Kalimantan Timur, dan Gorontalo. Mereka mencatat setidaknya terdapat enam temuan kasus.
Enam kasus itu adalah pertambangan emas tanpa izin (Peti) dalam kawasan cagar alam, tambang emas ilegal, kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang, limbah PLTU, aktivitas pelabuhan angkut batu bara yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku, dan kerusakan lingkungan sekitar khususnya ekosistem mangrove akibat aktivitas jetty batu bara.
Direktur IWGFF, Willem Pattinasarany, menyatakan hasil ini memperlihatkan gap atau celah serius antara kepatuhan administratif dengan transformasi substansial. Menurutnya, banyak bank telah mematuhi kewajiban administratif seperti pelaporan keberlanjutan, tetapi sangat sedikit yang benar-benar mengubah orientasi bisnisnya untuk mendukung transisi ekonomi hijau.
“Padahal, sektor jasa keuangan bisa menjadi motor utama perubahan menuju pembangunan berkelanjutan,” kata dia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ekonomi Universitas Trisakti, Juniati Gunawan, menyebutkan leg antara secondary data dan laporan investasi hijau di atas kertas terjadi karena kecenderungan perbankan sekedar memenuhi regulasi. Sedangkan itikad perbankan pada investasi hijau diduga masih belum kuat.
“Yang menarik di Indonesia sangat regulated driven, diatur dalam regulasi sedangkan apakah ada itikad menerapkan investasi hijau harus dilihat lebih jauh lagi,” kata dia.
Analis Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), M. Afdal Yanuar, menyebutkan secara legal objek kerahasiaan bank mencakup dua hal, yakni nasabah dan simpanannya. Selain dua hal itu bank menentukan domain rahasia, sangat rahasia, terbatas, dan biasa.
“Biasanya bank menutup akses data karena kepentingan bisnisnya,” ucap dia.
Ia memberikan catatan, pada saat ini industri perbankan pun juga melakukan diversifikasi bisnis. Konsekuensinya adalah penerima manfaat (beneficial ownership/BO) bank akan sama dengan pelaku industri sumber daya alam.
Jika terdapat temuan conflict of interest atas penerima manfaat yang sama ini, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator dapat melakukan pelaporan untuk ditindaklanjuti hingga penegakan tindak pidana lingkungan hidup.
Direktur Climate and Market Transformation Program World Wild Fund (WWF) Indonesia, Irfan Bakhtiar, menyebutkan hasil riset keuangan berkelanjutan yang dilakukan lembaganya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan laporan IWGFF. Namun dirinya mencermati tren investasi hijau yang menurun.
“Kami mencermati trennya sempat naik tapi jadi turun. Bahkan ada bank yang tahun 2021 mereka menentukan standar, kalau mau hanya investasi ke perusahaan sawit harus yang sudah RSPO. Tapi di tahun berikutnya, justru berubah ke perusahaan yang sekedar berkomitmen untuk RSPO,” kata dia.
IWGFF sendiri merekomendasikan langkah strategis untuk memperkuat adopsi perbankan hijau, termasuk mewajibkan publikasi RAKB secara terbuka, mendorong adopsi FPIC dalam pembiayaan sektor berbasis lahan, memberikan insentif fiskal untuk investasi hijau, serta memperkuat regulasi agar tidak hanya bersifat administratif.
Mereka berharap berharap regulator, industri keuangan, dan masyarakat sipil mendorong praktik pembiayaan yang lebih bertanggung jawab dan berpihak pada kelestarian lingkungan serta perlindungan hak masyarakat terdampak.
Hingga berita ini selesai ditulis, pihak OJK yang kami hubungi tak juga memberikan komentar atau pendapatnya tentang persoalan konflik kepentingan antara pemilik manfaat perbankan yang juga merupakan pelaku industri sumber daya alam, dan adanya dugaan lembaga perbankan di Indonesia yang masih membiayai investasi yang mengakibatkan penghancuran lingkungan.
SHARE