Banjir, Sawit, dan HTI itu Tetangga Buruk: Studi Pantau Gambut
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Jumat, 22 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivitas ekstraktif perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri telah merusak jutaan hektare ekosistem gambut, serta berkontribusi signifikan meningkatkan risiko banjir asam dan kebakaran hutan di berbagai wilayah di Indonesia.
Studi terbaru dari Pantau Gambut mengungkap, 41% atau 1,76 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit sangat rentan terhadap banjir. Sementara untuk konsesi HTI, terdapat 27% atau 687.786 hektare lahan memiliki kerentanan banjir yang tinggi. Keduanya berada di area kesatuan hidrologis gambut.
“Ada korelasi kuat antara aktivitas korporasi ekstraktif dengan peningkatan kerentanan banjir dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla),” kata Manajer Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana.
Kerusakan gambut di lahan gambut dimulai ketika perusahaan pemegang izin mengeringkan lahan gambut yang seharusnya tetap basah dengan menggali kanal. Menurut Pantau Gambut, terdapat lebih dari 280.000 kanal yang membelah ekosistem gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sebagian besar ditemukan di konsesi kebun sawit dan kebun kayu milik perusahaan swasta. Panjang ini setara dengan 120 kali bolak-balik tol Trans Jawa.

Gambut yang rusak kehilangan kemampuannya menyerap air, serta melepaskan emisi karbon yang besar. Fenomena pengeringan yang tidak dapat dibalikkan ini menyebabkan genangan air menjadi limpasan yang tidak terkontrol dan menciptakan daya rusak lingkungan di sekitarnya.
“Banjir di lahan gambut bukanlah fenomena alam biasa. Ini adalah indikasi perubahan dalam sistem hidrologis alam yang seringkali berkaitan dengan alih fungsi lahan oleh perusahaan pemegang izin eksploitasi,” kata Wahyu.
Banjir akibat kerusakan ekosistem gambut salah satunya terjadi di Kalimantan Selatan. Pada 2021, banjir merendam 226.905 hektare lahan di provinsi tersebut, menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp1,34 triliun dan memaksa lebih dari 39.000 orang mengungsi.
Analisis citra satelit menunjukkan bahwa wilayah banjir tersebut berada di dalam KHG yang telah dikuasai oleh konsesi tambang dan sawit, kata Pantau Gambut.
Sejumlah provinsi menjadi sangat rentan terhadap banjir asam ini. Diantaranya Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatra Selatan.
Konsesi kebun sawit dominasi peta kerentanan banjir
Menurut Pantau Gambut, konsesi HGU sawit menyumbang risiko kerentanan banjir di area seluas lebih dari 4,31 juta hektare. “Model produksi sawit secara monokultur dan drainase intensif menjadi penyebab utama penurunan fungsi resapan gambut.” kata Wahyu.
“Sistem ini, tidak hanya mengalirkan air keluar dari blok tanam melalui kanal, tetapi juga menurunkan muka air tanah secara signifikan, mengeringkan lapisan gambut dan menghilangkan daya serapnya,” katanya.
Menurut Pantau Gambut, terdapat 243 konsesi HGU perkebunan sawit yang secara signifikan merusak kesatuan hidrologis gambut (KHG) dan memiliki kerentanan banjir yang tinggi. Tiga perusahaan utama di antaranya PT Global Indo Agung Lestari (Genting Group), PT Jalin Valeo (Pasifik Agro Group), dan PT Kalimantan Agro Lestari (Best Agro Group).
Sementara itu terdapat 145 konsesi PBPH-HTI di atas area KHG dengan luas lebih dari 3 juta hektare, yang umumnya menanam akasia dan eukaliptus. Di antaranya PT Bumi Andalas Permai,PT SBA Wood Industries, dan PT Bumi Mekar Hijau (BMH). Ketiga perusahaan ini disinyalir sebagai “biang kerusakan gambut” di area KHG Sungai Sugihan–Lumpur, Sumatera Selatan.
Menurut laporan tersebut, kerentanan banjir yang tinggi di wilayah ini disebabkan oleh volume air yang tidak tertampung akibatnya hilangnya fungsi penyangga hutan.
Pantau gambut menilai bahwa kerusakan lahan gambut akibat pengeringan di area konsesi sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, praktik pengeringan ini terus berlangsung. Contoh terbaru terjadi pada 2023-2024, ketika perusahaan PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat, melakukan deforestasi dan pengeringan lahan lewat kanalisasi untuk mengubahnya perkebunan monokultur.
“Melalui pantauan citra satelit, kami menemukan bahwa PT Mayawana Persada melakukan pembukaan lahan di area gambut lindung dengan kedalaman lebih dari tiga meter dan membangun jaringan kanal secara masif,” kata Wahyu.
Ekosistem gambut yang rusak rentan mengalami banjir, mulai dari tingkat rendah hingga tinggi. Dok. Pantau Gambut
Kerusakan gambut berpangkal pada lemahnya aturan
Menurut Wahyu, kerusakan gambut berpangkal pada aturan perlindungan ekosistem yang masih pincang. Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016, katanya, tidak banyak mengubah pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut. Aturan lainnya, seperti Undang-Undang Cipta Kerja pasal 110A dan 110B ikut memperparah kondisi tersebut.
Kerusakan di lahan gambut juga menjadi penyebab bencana kebakaran menahun di Indonesia. Pantau Gambut mencatat sepanjang 2015 hingga 2023, terdapat tiga juga hektare dari total 24 juta hektare area KHG di seluruh Indonesia terbakar. Luas ini setara dengan 45 kali Jakarta.
Lemahnya penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan pembakar lahan ini turut menyumbang pada buruknya tata kelola perkebunan monokultur di Indonesia.
“Ini adalah sebuah ironi besar bagi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan di Indonesia, mengingat ancaman asap dan banjir yang juga berkelanjutan,” tulis laporan tersebut.
SHARE