MK Uji PSN: Para Korban Datang, Pemerintah Minta Penundaan

Penulis : Kennial Laia

Hukum

Rabu, 20 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat adat dan komunitas lokal dari berbagai provinsi Indonesia mendatangi Mahkamah Konstitusi, Selasa, 19 Agustus 2025. Mereka adalah warga yang tergusur dari tanahnya akibat proyek strategis nasional (PSN). Mereka datang untuk bersaksi tentang bagaimana proyek tersebut menghancurkan ruang hidup dan lingkungan mereka.

“PSN menghancurkan kehidupan kami, merampas sumber hidup, menyiksa, mengkriminalisasi dan memenjarakan kami,” kata Yasinta Moiwend, perempuan adat Malind, yang terdampak proyek lumbung pangan (food estate) Merauke. 

“PSN hanya untuk melindungi dan memperbesar kepentingan bisnis korporasi dan menguntungkan kepentingan birokrat korup,” ujarnya. 

Hari itu adalah sidang ketiga dari perkara peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja di MK. Agendanya mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Gugatan itu sendiri didaftarkan pada 4 Juli 2025. 

Aksi masyarakat adat dan komunitas lokal korban PSN bersama organisasi masyarakat sipil usai sidang peninjauan kembali Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025. Dok. Istimewa

Kuasa hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Edy K. Wahid dan kuasa hukum warga mengatakan, fakta persidangan menunjukkan bahwa pemerintah tidak siap memberikan keterangan substansi. Perwakilan dari Kemenko Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Hukum dan HAM hadir hanya untuk menyampaikan permohonan penundaan dengan alasan belum rampung menyusun jawaban. DPR juga absen.  

“Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa baik pemerintah maupun DPR abai terhadap kewajiban konstitusionalnya untuk mempertanggungjawabkan produk hukum yang mereka hasilkan,” kata Edy. 

Edy menyatakan kekecewaan karena warga terdampak telah jauh-jauh datang ke Jakarta namun tidak diberi kesempatan menyuarakan pendapatnya di hadapan majelis hakim. Akhirnya, persidangan ditunda hingga 25 Agustus 2025.

Permohonan peninjauan kembali itu diajukan oleh delapan organisasi masyarakat sipil, satu individu, dan 12 korban PSN, termasuk masyarakat adat, petani, nelayan, serta akademisi, secara khusus menggugat norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang memberi legitimasi pada “kemudahan dan percepatan PSN”. 

Juru Kampanye Pantau Gambut Abil Salsabila mengatakan, frasa tersebut bersifat abstrak dan multitafsir, yang memberi kewenangan berlebihan kepada pemerintah untuk meloloskan proyek besar tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. 

Selain itu, ketentuan mengenai kemudahan PSN juga berimplikasi pada penyalahgunaan konsep “kepentingan umum”. “Dalam praktiknya, konsep ini memberi dasar hukum bagi badan usaha untuk mengambil alih tanah warga, termasuk tanah adat. Dampaknya adalah terjadinya penggusuran paksa dan perampasan ruang hidup warga,” kata Salsabila. 

Masyarakat adat dan komunitas lokal yang ikut menggugat di antaranya masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, dan Yei yang terdampak proyek lumbung pangan; warga Pulau Rempang di Kepulauan Riau yang terancam penggusuran akibat proyek Rempang Eco City, masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdampak proyek tambang nikel, warga Kalimantan Timur yang terdampak pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta masyarakat Kalimantan Utara yang terimbas Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). 

SHARE