Di Hutan Rakyat Belum Merdeka - Koalisi Masyarakat Sipil
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Selasa, 19 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat transparan dalam revisi peraturan tersebut. Koalisi khawatir, hilangnya partisipasi dalam proses legislasi ini akan berdampak pada hilangnya tanah milik petani dan masyarakat adat.
Sejak dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2024-2029, proses konsultasi tidak terbuka luas bagi publik dan tidak sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna. Menurut juru bicara Koalisi dari Indonesia Parliamentary Center, Arif Adi Putro, konsultasi revisi UU Kehutanan telah berlangsung tiga kali. Dua di antaranya digelar tertutup dan tanpa dokumentasi publik, dan tidak tersedia rekaman di kanal YouTube parlemen.
“Publik tidak tahu apa yang dinegosiasikan Komisi IV dengan asosiasi pengusaha. Dokumen rancangan undang-undang pun tidak dibuka, sementara forum dengan masyarakat sipil sangat terbatas. Proses legislasi ini jauh dari prinsip keterbukaan,” kata Arif.
Arif mengatakan, proses revisi dan pengesahan UU Kehutanan tanpa partisipasi publik berisiko menghilangkan tanah masyarakat. Masyarakat adat juga bisa kehilangan kebun, rumah, dan hutan mereka yang sepihak diklaim sebagai kawasan hutan negara.

Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa mengatakan, UU Kehutanan saat ini menjadikan hutan dimonopoli negara dan swasta. Negara bertindak seolah pemilik tunggal hutan dengan obral izin, lisensi, dan konsesi skala besar kepada korporasi, sehingga rakyat tersingkir dari tanah dan sumber kehidupannya.
Akibatnya, semua tanah tanpa bukti kepemilikan (eigendom) dianggap sebagai landsdomein atau tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh negara. Akibatnya rakyat bisa diusir, dikriminalisasi, dan hukum adat diabaikan. Model penjajahan ini, kata Rendy, masih terlihat saat negara sepihak mengklaim kawasan hutan sebagai milik negara.
“Penjajahan modern tampak ketika rakyat dilarang hidup di dalam kawasan hutan. Karena itu, UU Kehutanan harus direvisi secara paradigmatik karena gagal mewujudkan tujuan pembangunan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Tsabit Khairul Auni mengatakan UU Kehutanan masih mewarisi pola kolonial yang membelenggu rakyat. Konsep Hak Menguasai Negara (HMN) dalam Pasal 4 UU Kehutanan ditafsirkan seolah menjadi hak kepemilikan mutlak negara, mirip asas domein verklaring era Belanda yang merampas tanah rakyat.
Tsabit mengatakan, data FWI 2025 menunjukkan 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara. Proses penunjukan hingga penetapannya berlangsung tanpa keterbukaan dan partisipasi. Sementara itu, hutan terus menyusut dengan rata-rata deforestasi 2,01 juta hektare per tahun selama periode 2017–2023.
“Tekanan meningkat, kerentanan dan bencana ekologis bertambah, sementara hak dan akses rakyat tetap diabaikan. Semua ini membuktikan tata kelola hutan gagal memerdekakan rakyat,” tegas Tsabit.
Nora Hidayati dari Perkumpulan HuMa mengatakan fakta di lapangan menunjukkan bahwa UU Kehutanan gagal melindungi hutan alam tersisa. “Revisi UU harus menegaskan kembali fungsi hutan sebagai penopang kehidupan, bukan sekadar objek eksploitasi,” katanya.
Koalisi mendesak perombakan total UU Kehutanan Nomor 41/1999 dan pembentukan UU Kehutanan baru yang menjamin keadilan agraria-ekologis, mengakui hak masyarakat adat dan komunitas lokal, serta disusun secara transparan dengan partisipasi publik yang bermakna.
SHARE