Draf Perjanjian Plastik Global Masih Penuh Tanda Kurung
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Sabtu, 16 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perundingan global untuk mengakhiri pencemaran plastik yang berlangsung di Jenewa terus berlangsung. Memasuki hari terakhir, rancangan teks perjanjian negara-negara mengalami sejumlah perubahan, setelah menuai kritik keras dari delegasi dan aktivis, termasuk pengamat dari Indonesia.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang mengikuti perkembangan forum secara langsung mengatakan, Ketua Intergovernmental Negotiating Committee (INC) Luis Vayas Valdivieso merilis draf teks terbaru pada 15 Agustus 2025 pukul 01.57 waktu setempat. Draf terbaru itu memuat sejumlah kemajuan dibandingkan teks sebelumnya, termasuk pasal yang mengatur seluruh siklus hidup plastik, kembalinya rujukan chemicals of concern, dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat di beberapa bagian. Mekanisme pembiayaan baru juga dimuat ke dalam rancangan terbaru itu.
Namun Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengatakan, secara keseluruhan, teks tersebut masih jauh dari memadai karena tidak menekankan isu produksi plastik primer dan bahan kimia plastik.
“Produksi plastik primer dan bahan kimia plastik saat ini sudah melebihi batas daya dukung planet kita, mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki. Draft terbaru ini masih belum cukup kuat untuk melindungi kesehatan publik, keberlanjutan lingkungan, dan masa depan umat manusia,” kata Yuyun.

“Kami berharap para delegasi tidak menerima begitu saja draf yang ada sekarang, dan tetap berkomitmen untuk mengurangi pencemaran plastik demi masa depan anak-anak dan generasi mendatang,” ujarnya.
Rancangan teks tersebut keluar beberapa jam setelah Valdivieso menunda sidang pleno hingga Jumat, 15 Agustus 2025, tanpa kepastian jadwal penutupan sidang. Hingga saat ini, negosiasi belum dilanjutkan dan akan diperpanjang satu hingga dua hari ke depan.
Co-Coordinator AZWI Nindhita Proboretno mengatakan, tersisa 14 halaman dan 120 tanda kurung yang menandakan perbedaan antarnegara dalam rancangan teks tersebut. Teks ini juga menunjukkan kelemahan mendasar seperti tidak adanya pasal khusus tentang pengurangan produksi plastik, tidak menyebut keterkaitan plastik dengan krisis iklim maupun prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
“Pasal-pasal yang sudah dinegosiasikan selama seminggu terakhir, dari pagi sampai larut malam, dalam empat Contact Groups, semuanya masih belum diakomodasi dalam draf teks terbaru. Para delegasi hanya punya kesempatan satu hari atau kurang dari 24 jam untuk menyepakati banyak hal,” kata Nindhita. “Tetapi kami menyambut baik draf ini karena beberapa pasal yang terkait dengan solusi semu, seperti pemanfaatan plastik untuk energi, tidak terlihat lagi.”
Adapun aturan dan sistem yang mengikat untuk produk guna ulang belum dimuat dalam rancangan teks terbaru tersebut. “Praktik guna ulang, yang telah berkembang pesat di berbagai negara, bukan hanya membantu mengurangi kemasan plastik, tetapi juga menciptakan lingkungan lebih sehat, lapangan kerja baru, dan nilai ekonomi bagi negara,” kata Deputy Director Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara.
“Karena krisis plastik global tidak bisa lagi ditunda penanganannya, kami mendesak agar treaty ini segera disepakati dengan mengenali dan mendukung perkembangannya,” ujarnya.
Penggunaan diksi dalam draf teks terbaru itu pun masih cukup lemah. Menurut Rahyang, banyak pasal berpotensi tidak mengikat karena menggunakan kata “shall” atau “should” yang bersifat menganjurkan, serta disertai berbagai klausul pengecualian seperti “as appropriate” atau “taking into account national capacities”.
AZWI menilai langkah-langkah dalam negosiasi tersebut kurang ambisius, serta mendesak negara-negara untuk menunjukkan kepemimpinan dengan memperjuangkan pengurangan produksi plastik secara global, melindungi kesehatan publik dari bahan kimia beracun, serta memastikan perjanjian ini memprioritaskan pencegahan pencemaran, bukan sekadar daur ulang.
“Tanpa langkah-langkah ambisius tersebut, perjanjian ini akan gagal menjawab akar krisis plastik dan hanya memperpanjang dampaknya bagi generasi mendatang,” kata Nindhita.
SHARE